Om Swastyastu
Hung
Ahung
Sampurasun
Orang
Sunda diketahui sudah memiliki keadaban konsep tersendiri tentang jagat raya.
Konsep tersebut merupakan perpaduan antara konsep Sunda asli dan ajaran agama
Hindu. Uraian mengenai hal ini antara lain terdapat dalam naskah lontar
Sunda Kropak 420 dan Kropak 422 yang kini tersimpan
sebagai koleksi Perpustakaan Nasional di Jakarta. Kedua naskah yang ditulis
pada daun lontar dengan menggunakan aksara dan bahasa Sunda kuna itu berasal
dari kabuyutan Kawali, termasuk daerah Kabupaten Ciamis sekarang.
Kosmologi Sunda |
Dulu
di kabuyutan Kawali tersimpan sejumlah naskah lontar Sunda dan barang pusaka
lainnya peninggalan kerajaan Sunda. Lokasi tersebut selain pernah menjadi ibu
kota Kerajaan Sunda-Galuh, juga menjadi tempat pengungsian sejumlah pejabat dan
rakyat Kerajaan Sunda-Pajajaran, setelah ibu kota kerajaan mereka (Pakuan
Pajajaran) di sekitar Kota Bogor sekarang diserang dan diduduki oleh pasukan
Islam Banten-Cirebon. Bersama dengan naskah-naskah lontar lainnya, kedua naskah
lontar tersebut diserahkan oleh Bupati Galuh R.A. Kusumadiningrat (memerintah
tahun 1839-1886) kepada Museum Gedung Gajah (Museum Nasional sekarang) pada
perempatan ketiga abad ke-19.
Kosmologi
Sunda Kuna membagi jagat raya ke dalam tiga alam, yaitu:
1.
Bumi
Sangkala (dunia nyata, alam dunia),
2.
Buana
Niskala (dunia gaib, alam gaib), dan
3.
Buana
Jatiniskala (dunia atau alam kemahagaiban
sejati).
Ada
juga yang membaginya sebagai berikut:
1.
Buana Nyungcung
tempat bersemayam para roh;
2.
Buana Pancatengah
tempat manusia hidup; dan
3.
Buana
Larang tempat segala jin, setan, dan mahluk halus yang dianggap rendah
lainnya
Bumi
Sangkala adalah alam nyata di dunia tempat
kehidupan mahluk yang memiliki jasmani (raga) dan rohani (jiwa).
Mahluk demikian adalah yang disebut manusia, hewan, tumbuhan, dan benda lain
yang dapat dilihat baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
Buana
Niskala adalah alam gaib sebagai tempat
tinggal makhluk gaib yang wujudnya hanya tergambar dalam imajinasi manusia,
seperti dewa-dewi, bidadara-bidadari, apsara-apsari, dan lain sebagainya.
Jumlah dan ragam mahluk tersebut banyak dan bisa bergabung satu dengan lainnya
serta berkedudukan lebih tinggi daripada manusia. Buana Niskala yang
disebut juga Kahyangan yang terdiri atas sorga dan neraka, serta
dimensi-dimensi astral lainnya.
Naskah
Kropak 422 menyebutkan Pwah Batari Sri,
Pwah Lengkawati, Pwah Wirumananggay, dan Dayang Trusnawati
sebagai penghuni buana niskala. Di samping itu, penghuni Buana
Niskala lainnya di antaranya 9 Dewi, seperti Dewi Tunjung Herang, Dewi Sri
Tunjung Lenggang, Dewi Sari Banawati, dan 45 bidadari yang disebutkan namanya,
antara lain Bidadari Tunjung Maba, Bidadari Naga Nagini, Bidadari Endah Patala,
Bidadari Sedajati.
Buana
Jatiniskala adalah alam kemahagaiban sejati
sebagai tempat tertinggi di jagat raya. Penghuninya adalah zat Maha Tunggal
yang disebut Sang Hyang Manon, zat Maha Pencipta yang disebut Si Ijunajati
Nistemen. Zat inilah yang tingkat kegaiban dan kekuasaannya paling tinggi.
Dialah pencipta batas, tetapi tak terkena batas. Dengan demikian, tiap-tiap
alam mempunyai penghuninya masing-masing yang wujud, sifat, tingkat, dan
tugas/kewenangannya berbeda.
Konsep Lingga |
Kosmologi
Sunda kuna mencerminkan gambaran jenis penghuninya dan tingkat kegaibannya.
Karena itu kosmologi Sunda kuna menggambarkan pula tinggi-rendah kedudukannya,
baik kosmosnya maupun penghuninya. Kosmologi Sunda kuna tidak mengungkapkan
adanya alam yang dihuni oleh roh manusia sebelum lahir ke alam dunia (bumi
sakala). Walaupun tempat hidup manusia di alam dunia, tapi setelah kematian
ada dua kemungkinan tempatnya, yaitu:
(1)
kembali ke alam dunia dalam wujud
yang derajatnya lebih rendah (menjadi hewan, tumbuhan atau benda lainnya sesuai
dengan kepercayaan reinkarnasi) dan
(2)
menuju alam niskala, bahkan terus ke alam
jatiniskala (menyatu dengan kehidupan dewa dan kemudian mahadewa).
Yang
menentukan tempat seseorang sesudah kematian adalah sikap, perilaku, dan
perbuatannya selama hidup di dunia. Jika sikap, perilaku, dan perbuatannya
buruk, bertentangan dengan perintah dan sesuai dengan larangan ajaran agama, ia
akan kembali lagi ke alam dunia dalam wujud yang lebih rendah derajatnya
(kepercayaan reinkarnasi) atau masuk ke dalam siksa neraka. Jika sikap,
perilaku, dan perbuatannya baik, sesuai dengan perintah dan bertentangan dengan
larangan ajaran agama, ia (rohnya) akan naik menuju alam niskala yang
menyenangkan (surga) dan bahkan ke alam jatiniskala yang paling menenteramkan.
Kejadian tersebut disebut moksa dan merupakan jalan ideal yang selalu
didambakan oleh manusia. Dalam hal ini prinsip dampak kehidupan sesudah manusia
mati mengandung kesejajaran dengan konsep Islam, yaitu bertalian dengan situasi
dan kondisi kehidupan manusia di alam akhirat ditentukan oleh sikap, perilaku,
dan perbuatannya di alam dunia.
Sehubungan
dengan adanya jalan ideal yang menghubungkan bumi sakala (alam dunia) dengan
buana niskala dan buana jatiniskala (alam akhirat), maka dalam naskah lontar
Kropak 420 diutarakan secara panjang lebar tentang ciri-ciri dan sifat
kehidupan di bumi sakala, sedangkan dalam Kropak 422 dikemukakan
ciri-ciri dan sifat kehidupan di buana niskala dan buana jatiniskala yang
menggiring manusia agar memilih jalan ideal yang lurus menuju buana niskala
yang berupa surga yang menyenangkan, bahkan buana jatiniskala yang paling
tinggi derajatnya.
Kropak
420 membuka penuturannya dengan
pernyataan dan pertanyaan: “Lampah tunggal na rasa ngeunah, paduum na
bumi prelaya, maneja naprewasa, ka mana eta ngahingras?”
(Berjalan teriring rasa senang, saling bagi saat dunia binasa, tembus
memancarkan sinar. Ke manakah harus meminta tolong?).
Jawaban
atas pertanyaan tersebut dijelaskan oleh Pwah Batara Sri, penghuni
Kahyangan (buana niskala): “Ka saha geusan ngahiras, di sakala
di niskala, manguni di kahyangan, mo ma dina laku tuhu, na
jati mahapandita,” (Kepada siapakah mohon pertolongan, baik di sakala
maupun di niskala, terlebih lagi di kahyangan, kecuali dalam perilaku setia,
pada kodrat mahapandita).
Mahapandita adalah pandita (pemimpin/ahli agama) yang hidup di
bumi sakala dan paling tinggi tingkatannya. Ia mengemukakan ciri-ciri kehidupan
di bumi sakala bahwa: “Samar ku rahina sada, kapeungpeuk ku langit
ageung, kapindingan maha linglang, ja kaparikusta ku tutur, karasa
ku sakatresna, kabita ku rasa ngeunah, kawalikut ku rasa kahayang,
bogoh ku rasa utama, beunang ku rasa wisisa.” (Samar oleh keadaan
pagi hari, tertutup oleh langit yang luas, terhalangi keluasan langit sebab
terjebak oleh cerita, terasa oleh segala kecintaan, tergiur oleh rasa nikmat,
tergugah lagi oleh keinginan, senang oleh perasaan luar biasa, terpikat oleh
perasaan mulia).
Ajaran
moral keagamaan dibahas dalam bentuk dialog antara pendeta utama dengan Pwah
Batara Sri (penguasa alam Kahyangan) dan Pwah Sanghyang Sri (penjaga
alam kasurgaan). Ditekankan bahwa setiap mahluk yang ada di jagat raya, baik di
bumi sakala maupun di buana niskala, hendaknya mampu menjalankan tugasnya
masing-masing sesuai dengan kadar bayu (kekuatan), sabda (suara),
dan hedap (iktikad) yang diterima dari Sang Pencipta. Manusia pun
hendaknya mampu menyeimbangkan bayu, sabda, dan hedapnya
masing-masing melalui berbagai kegiatan tapa (pengabdian) lahir dan
batin agar kelak bisa kembali ke kodratnya bagaikan dewa.
Selain
itu, dalam melaksanakan tapa manusia hendaknya diiringi oleh penuh rasa
keikhlasan, jangan rakus, jangan mengambil hak yang lain supaya tidak tersesat
kembali ke bumi sakala dan mengalami sengsara. Apabila hendak berbuat
kebajikan, janganlah setengah hati! Itulah kodrat pendeta dan hakikat
pertapaannya yang dilakukan tak kenal siang dan malam. Perhatikanlah orang yang
benar! Carilah orang yang menjalankan tapa! Semoga berhasil berbuat kebaikan.
Janganlah
menjalankan tapa yang salah! Yaitu tapanya orang yang suka menyiksa badan,
berlebihan dalam hal kekuasaan, terperdaya oleh isi hati, dan tersesat karena
berahi. Itulah perilaku yang tak bermanfaat. Menjadi pendeta, janganlah hanya
mengaku-aku, melainkan hendaknya disertai kekuasaan sejati.
Saat Sowan Di Situs Cengkuk-Sukabumi |
Nasihat
pendeta utama yang lain adalah: “Mulah cocolongan bubunian, jadi budi
nupu manglahangan, ngagetak ngabigal, mati-mati uwang sadu, ngajaur
nu hanteu dosa, hiri dengki nata papag, pregi ngajuk ngajalanan,”
(Janganlah mencuri sembunyi-sembunyi, berpikiran tamak menghalangi, menggertak
merampok, suka membunuh orang suci, memeras yang tak berdosa, iri dengki
melukai memukul, berani mengawali berutang). Adapun berbagai kenikmatan dunia
antara lain lumut rumput dan berbagai umbi, berbagai dedaunan tak pernah
kurang, ilalang arak dan berbagai buah-buahan (lukut jukut sarba beuti, tangtarukan
tada kurang, kusa madi sarba pala).
Adapun
ciri dan sifat kehidupan di Buana Niskala dan Buana Jatiniskala,
tempat tinggalnya para dewa-dewi, batara-batari, Sanghyang Manon, dan mahluk
halus lainnya mencerminkan kehidupan tingkat tinggi yang tak dibatasi oleh
keperluan dan kepentingan duniawiah, sebagaimana diutarakan pada teks Kropak
422 yang berjudul Jatiraga. Penjelmaan yang paling sempurna, menurut naskah
ini, adalah umat manusia. Karenanya manusia diwajibkan untuk berusaha berbuat
amal kebaikan agar kelak sukmanya bisa kembali ke kodrat sejati di Kahyangan (surga).
Sementara manusia yang terlalu terbawa nafsu angkara murka, akan menjadi
raksasa serakah, tamak, dan rakus terhadap hak-hak yang lain. Sukma mereka
hanya bisa kembali ke alam niskala sebagai penghuni neraka. Kalaupun mendapat
keringanan dari penjaga neraka, sukma itu harus mengalami reinkarnasi di bumi
sakala yang bisa jadi derajatnya lebih rendah dari manusia.
Bahwa
yang berada di buana jatiniskala itu (Si Ijunajati) terlalu
tangguh dan kuasa, karena dia adalah pemilik keesaan, kebijakan, kekuasaan,
kesentosaan, pengabdian, tenaga, ucapan, dan nuraninya sendiri. Rumusannya
adalah: “Ah ini Si Ijunajati. Ah lain kasorgaanna, Sang Hyang
Tunggal Premana. Muku ita leuwih, ja tunggal tunggal aing, premana
premana aing, muku ita leuwih, ja wisisa wisisa aing, muku ita leuwih teuing,
ja hurip hurip aing, tapa tapa aing, bayu bayu aing, sabda sabda
aing, hdap hdap aing.” (Ah inilah Si Ijunajati. Ah bukan surga yang
dikuasai oleh, Sang Hyang Tunggal Premana. Kalaulah itu tangguh, sebab keesaan
keesaanku sendiri, kebijakan kebijakanku sendiri, kalaulah itu unggul, sebab
kekuasaan kekuasaanku sendiri, kalaulah itu terlal u berkuasa, sebab
kesentosaan kesentosaanku sendiri, pengabdian pengabdianku sendiri, tenaga
tenagaku sendiri, ucapan ucapanku sendiri, nurani nuraniku sendiri).
“Ah
wisisa teuing aing, hamwa waya nu wisisa manan aing, hamwa waya nu leuwih manan
aing, hamwa waya nu diwata manan aing, tika hanteu nu ngawisisa aing, ka
pangikuna aci jatinistmen.” (Ah begitu berkuasanya aku, tak mungkin ada
yang berkuasa melebihi aku, tak mungkin ada yang unggul melebihi aku, tak
mungkin ada yang suci lebih dariku, sehingga mustahil ada yang menguasaiku,
sebagai pengikut hakikat kebenaran sejati).
Batara
Jatiniskala berkuasa di mana-mana dan wujud
kekuasaannya luar biasa sehingga: “Wijaya ta sira hasta, na bumi tan hana
pretiwi, na dalem tan hana angkasa, na rahina tan hana aditya, na candra tan
hana wulan, na maruta tan hana angin, na tija tan hana maya, na akasa tan hana
pemaga, na jati tan hana urip.” (Berhasillah dia memerintah, pada bumi
tanpa tanah, pada ruangan tanpa udara, pada siang hari tanpa matahari, pada
purnama tanpa bulan, pada tiupan tanpa angin, pada cahaya tanpa bayangan, pada
angkasa tanpa langit, pada kodrat tanpa kehidupan).
Salah
satu kelompok penghuni buana niskala teridentifikasi berwujud jenis
wanita, seperti dewi, apsari, bidadari. Hakikat kewanitaan, menurut naskah ini,
adalah kekuasaan yang berada di tangan Sang Hyang Sri dengan
ciri-cirinya: “Ti nu wisisa leuwih, ti nu leuwih bidito, ti nu bidito
hurip, ti nu hurip adras, ti nu adras indah, ti nu indah alit, ti nu alit
niskala, ti nu niskala rampis, ti nu rampis diwata, ti nu diwata.” (Dari
yang berkuasa unggul, dari yang unggul mengasuh, dari yang mengasuh sejahtera,
dari yang sejahtera tak tampak, dari yang tak tampak indah, dari yang indah
halus, dari yang halus gaib, dari yang gaib sempurna, dari yang sempurna
bersifat kedewaan, dari yang bersifat kedewaan).
Di
dalamnya diungkapkan pula tentang makna benar. Bahwa benar itu artinya, jika: “Bayu
dibaywan deui, sabda disabdaan deui, hdap dihdapan deui, hurip dihuripan deui,
hirang dihirangan deui, jati dijatyan deui, niskala diniskalaan deui, alit
dialitan deui, lenyep dilenyepkeun deui, talinga ditalingakeun deui, leumpang
dileumpangkeun deui, geuing digeuingkeun deui.” (Kekuatan diper kuat lagi,
ucapan diucapkan lagi, perasaan dirasakan lagi, hidup dihidupkan lagi, jernih
dijernihkan lagi, sejati disejatikan lagi, kegaiban digaibkan lagi, halus
dihaluskan lagi, lenyap dilenyapkan lagi, pengawasan diawasi lagi, berjalan
diberjalankan lagi, sadar disadarkan lagi).
Berdasarkan
seluruh uraian di atas tampak bahwa konsep kosmologi Sunda Kuna bukan hanya
dimaksudkan untuk pengetahuan semata-mata mengenai struktur jagat raya,
melainkan lebih ditujukan sebagai media agar kehidupan manusia jelas tujuan
akhir-nya, yaitu kebahagiaan dan ketenteraman hidup di Buana Niskala dan Buana
Jatiniskala yang abadi.
Rahayu Rahayu Rahayu
Om Santih Santih Santih Om
*Disarikan
dari: Yuganing Raja Kawasa, Milik: Museum Nasional RI
Oleh: I Wayan Sudarma
Ketua
Bidang Kebudayaan dan Kearifan Lokal PHDI Pusat
No comments:
Post a Comment