Om Swastyastu
"Gadis-gadis berumur 7 dan 8 tahun sudah melahirkan anak-anak dan anak-anak laki berumur 10 atau 12 tahun telah menjadi ayah (60)".
Oeh: I Wayan Sudarma
Oṁ
Hyang Widhi Semoga pikiran yang benar datatang dari segala penjuru dan
menyelimuti kami semua
Di dalam berbagai kitab Purāṇa ditengarai bahwa sejak
penobatan prabhu Parikṣit cucu Arjuna sebagai maharaja Hastina pada tanggal 18
Februari 3102 SM., umat manusia telah mulai memasuki jaman Kaliyuga
(Gambirananda, 1984 : XIII). Kata Kaliyuga berarti jaman pertengkaran yang
ditandai dengan memudarnya kehidupan spiritual, karena dunia dibelenggu oleh
kehidupan material. Orientasi manusia hanyalah pada kesenangan dengan memuaskan
nafsu indrawi (Kāma) dan bila hal ini terus diturutkan, maka nafsu itu ibarat
api yang disiramdengan minyak tanah atau bensin, tidak akan padam, melainkan
menghancurkan diri manusia.
Ciri
jaman Kali (Kaliyuga) semakin nyata pada era globalisasi yang ditandai dengan
derasnya arus informasi, dimotori oleh perkembangan teknologi dengan muatan
filsafat Hedonisme yang hanya berorientasi pada material dan usaha untuk
memperoleh kesenangan nafsu berlaka. Dengan tidak mengecilkan arti dampak
postif globalisasi, maka dampak negatifnya nampaknya perlu lebih diwaspadai.
Globalisasi menghapuskan batas-batas negara atau budaya suatu bangsa. Budaya
Barat yang sekuler sangat mudah diserap oleh bangsa-bangsa Timur dan bila hal
ini tidak terkendalikan tentu menghancurkan budaya atau peradaban bangsa-bangsa
Timur.
Seperti
telah dijelaskan secara sepintas tentang arti kata Kaliyuga atau jaman
pertengkaran atau masyarakatnya suka bertangkar dan kemudian mengarah kepada
peperangan, kini dapat kita rasakan, di mana-mana nampaknya masyarakat mudah
tersulut pada pertengkaran.
Pusat-pusat
pertengkaran yang menghancurkan kehidupan manusia digambarkan dalam kitab
Skanda Purāṇa, XVII.1, antara lain pada : minuman keras, perjudian, pelacuran,
dan harta benda/emas (Vettam Mani, 1989 : 373). Hal ini adalah logis, karena
pada tempat-tempat tersebut merupakan arena yang sering mengobarkan
pertengkaran. Minuman keras menjadikan seseorang mabuk dan bila mabuk maka
pikiran, perkataan dan tingkah lakunya sulit untuk dikendalikan. Demikian di
tempat judian, pelacuran dan persaingan mencari harta benda yang tidak
dilandasi oleh Dharma (kebenaran), di tempat-tempat tersebut sangat peka meletupnya
pertengkaran yang kadang-kadang berakibat fatal, yaitu pembunuhan.
Kehidupan
modern yang sekuler,mengantarkan manusia pada kehancuran dan hal ini semakin
nyata pengaruhnya dewasa ini. Nilai-nilai moralitas, nilai kemasyarakatan dan
ritual Hindu menghadapi tantangan, apakah hal-hal tersebut mampu dipertahankan
atau sebaliknya ditinggalkan oleh umatnya? Solusi untuk mengantisipasi
permasalahan tersebut hendaknya dikaji secara seksama, sehingga agama Hindu
sesuai dengan namanya yakni Sanatana Dharma, agama yang abadi atau berlaku
sepanjang jaman benar-benar menjadi pedoman, suluh penerang yang memberikan
kebahagiaan kepada umatnya.
Di
antara berbagai bentuk tantangan dalam menghadapi globalisasi yang bercirikan
filsafat Hedonisme yang berorientasi pada usaha mencari kekayaan material
sebanyak-banyak sebagai sarana untuk memperoleh kesenangan duniawi, maka
tantangan yang berat bagi umat beragama adalah menegakkan nilai-nilai
moralitas, di samping etika dan spiritual seperti yang diamanatkan dalam kitab-kitab
suci agama Hindu.
Kondisi
masyarakat dewasa ini nampaknya persis sama dengan penggambaran
Viṣṇu Purāṇa, sebagai berikut :
Viṣṇu Purāṇa, sebagai berikut :
"atha evā
bhijana hetuḥ, dhanam eva aśesadharma hetuḥ abhirucir eva dāmpatyasaṁbandha
hetuḥ, aṇrtam eva vyavahjayaḥ strītvam eva'pabhoga hetuḥ......................
........brahma sūtram eva vipratve hetuḥ liṅga dhāraṇam eva aśrama hetuḥ" - Masyarakat hancur
karena harta benda hanya berfungsi meningkatkan status sosial/kemewahan bagi
seseorang,materi menjadi dasar kehidupan kepuasan hidup hanyalah kenikmatan
seks antara laki-laki dan wanita,
dusta menjadi sumber kesuksesan hidup. Seks merupakan satu-satunya sumber kenikmatan dan kesalahan merupakan hiasan bagi kehidupan spiritual. Viṣṇu Purāṇa IV. 24. 21-22.
dusta menjadi sumber kesuksesan hidup. Seks merupakan satu-satunya sumber kenikmatan dan kesalahan merupakan hiasan bagi kehidupan spiritual. Viṣṇu Purāṇa IV. 24. 21-22.
Demikian
pula di dalam kitab Vānaparva, Mahābhārata keterangan serupa dapat kita jumpai
sebagai berikut :
"Pada
jaman Kaliyuga para Brahmana tidak lagi melakukan upacara yajña dan mempelajari kitab suci Veda. Mereka
meninggalkan tongkat dan kulit
menjangannya dan menjadi pemakan segala (sarvabhākṣa). Para Brahmana berhenti melaksanakan pemujaan
dan para Sudra
menggantikan hal itu (32-33)".
menggantikan hal itu (32-33)".
"Kelaparan
membinasakan kehidupan manusia, jalan-jalan raya dipenuhi oleh wanita yang
reputasinya jelek.Setiap perempuan bertengkar/bermusuhan dengan suaminya dan
tidak memiliki sopan santun (42)"
"Para
Brahmana diliputi oleh dosa dengan membunuh para dwijati dan menerima sedekah
dari para pemimpin yang tidak jujur (43)"
"Pada
jaman itu orang - orang bertentangan hidupnya dengan nilai-nilai moralitas,mereka
kecanduan dengan minuman keras, mereka melakukan penyiksaan walaupun di tempat
tidur gurunya. Mereka sangat terikat keduniawian.
Mereka hanya mencari kepuasan duniawi terutama daging dan darah (48)"
"Pada
jaman itu ashram-ashram para pertapa dipenuhi oleh orang-orang berdosa dan orang-orang angkara murka yang
malang yang selalu mengabdikan hidupnya pada ketergantungan duniawi (49)"
"Pada
jaman itu orang-orang tidak suci baik dalam pikiran dan perbuatan nya karena
mereka iri hati dan dengki. Bumi ini dipenuhi oleh orang- orang yang penuh dosa
dan tidak bermoral (51)".
"Pada jaman Kaliyuga para pedagang melakukan berbagai bentuk peni- puan, menjual barang-barangnya dengan ukuran dan timbangan yang tidak benar (53)".
"Pada jaman Kaliyuga para pedagang melakukan berbagai bentuk peni- puan, menjual barang-barangnya dengan ukuran dan timbangan yang tidak benar (53)".
"Pada
jaman Kaliyuga orang-orang budiman hidupnya miskin dan umurnya pendek. Orang-orang
yang penuh dosa menjadi kaya raya dan memiliki umur panjang (55)".
"Gadis-gadis berumur 7 dan 8 tahun sudah melahirkan anak-anak dan anak-anak laki berumur 10 atau 12 tahun telah menjadi ayah (60)".
"Orang-orang
ketika berumur 16 tahun sudah jompo dan segera setelah itu ajalpun menjemput
(61)"
"Para
wanita mudah celaka, melakukan perbuatan yang tidak pantas dan melakukan
perbuatan yang tidak terpuji, menipu suami-suami mereka yang berbudi pekerti
luhur, melupakan mereka bahkan berhubungan dengan pelayannya dan atau dengan
binatang sekalipun (63)". Vānaparva, CLXXXVIII.
Lebih
jauh di dalam kakawin berbahasa Jawa Kuno, Nītiśāstra yang rupanya merupakan
saduran dari Cāṇakya Nītiśāstra dalam bahasa Jawa Kuno dinyatakan sebagai
berikut :
"Singgih yan
tekaning yugānta Kali tan hana lewiha sakeng mahādhana tan waktan guṇaśura
paṇḍita widagdha pada mangayapiing dhaneśwara sakwehning rinahasya sang wiku
hilang kula ratu pada hīna kāsyasih putrādwe pīta niṇḍa ring bapa si śūdra
banija wara wīrya paṇḍita" - Sesungguhnya bila jaman Kali datang pada
akhir yuga, hanya kekayaan /harta benda yang sangat dihargai. Tidak perlu
dikatakan lagi, bahwa orang yang
saleh,orang-orang yang pandai akan mengabdi kepada orang- orang yang kaya.
Semua ajaran rahasia kepanditaan lenyap, keluarga- keluarga dan para pemimpin
yang bijaksana menjadi hina papa. Anak- anak menipu dan mengumpat orang tuanya.
Orang - orang hina akan menjadi saudagar kaya, mendapat kemuliaan dan
kepandaian. Nītiśāstra IV.7
Renungan:
Bila
pada era globalisasi ini nilai-nilai moralitas tidak diindahkan lagi oleh
orang-perorangan (individu) maupun oleh masyarakat, maka ciri-ciri yang
digambarkan pada jaman Kaliyuga itu merupakan kebenaran. Nilai-nilai moralitas
semestinya menjadi pegangan hidup setiap orang, namun karena trend jaman Kali
lebih menekankan pleasure oriented ,
maka hal itu akan mudah ditinggalkan.
Bila
kita melihat diturunkannya ajaran agama, yang maksudnya adalah untuk mensejahtrakan
manusia, maka manusia hendaknya kembali kepada ajaran agama sebagai basis
kehidupan. Manusia yang taat untuk mengamalkan ajaran agama, akan berhasil
mengarungi samudra kehidupan dengan berbagai gelombangnya, apakah dahsyat atau
lembut. Seorang yang berhasil meniti gelombang kehidupan adalah ibarat seorang
peselancar yang mahir, sesekali tenggelam dihantam gelombang, namun tidak lama
kemudian ia tersenyum riang di atas alunan pasang.
Oṁ Śāntiḥ Śāntiḥ
Śāntiḥ Oṁ
No comments:
Post a Comment