Thursday, December 15, 2011

Kecantikan, Nilai Sesungguhnya Dalam Kehidupan

Salam Kasih

Dewasa ini, dalam menilai “kecantikan” seseorang, masyarakat umum cenderung untuk melihatnya dari segi jasmaniah saja. Dampak negatif dari pengertian masyarakat umum ini terbukti dengan adanya sikap hidup yang terlalu “memanja-manjakan” diri. Perawatan dan pemeliharaan jasmaniah sangat diutamakan, sedangkan perawatan dan pemeliharaan batiniah ditempatkan pada tempat yang paling rendah – kalau tidak boleh dikatakan diabaikan sama sekali.

Secara langsung maupun tidak langsung, pengertian masyarakat umum itu dapat dituduh sebagai pemacu usaha banyak orang dalam berlomba-lomba mempercantik badan jasmani. Penyakit kronis ini kelihatannya tidak hanya melanda orang-orang di kalangan elit saja, tetapi juga menghinggapi orang-orang di kalangan rendah. Apabila operasi plastik dengan pelbagai peralatan yang canggih menjadi suatu bisnis yang menguntungkan di kota-kota besar, maka kapsalon-kapsalon kecil tumbuh dengan subur di desa-desa bagai tumbuhnya jamur di musim penghujan.


“Kegila-gilaan” sebagian besar umat manusia pada kecantikan jasmaniah itu sebenarnya bukanlah suatu catatan baru dalam sejarah kehidupan manusia. Kecenderungan seperti itu bukan hanya bisa timbul dan berkembang di abad modern ini saja. Ada suatu syair yang berusaha memberikan pujian tentang kecantikan jasmaniah yang dimiliki seorang wanita : “Di dunia ini, tidak ada suatu bentuk apapun yang seindah wajah seorang wanita; tidak ada benda apapun yang selembut kulit wanita; tidak ada bau apapun yang seharum bau seorang wanita; dan tidak ada rasa apapun yang senikmat rasa seorang wanita”.

Penghargaan yang terlalu berlebih-lebihan itulah yang makin memperkuat kemelekatan seseorang. Karena itu bahaya-bahaya yang bisa ditimbulkan dari seorang wanita terhadap orang-orang yang belum terbebas dari rangsangan nafsu indera (kāmachanda), agaknya dapat digolongkan sebagai permasalahan yang perlu diperhatikan secara khusus. Dalam berbagai teks sumber dapat ditemukan pernyataan yang berkenaan dengan nafsu-nafsu indera:
“Melalui masa dua puluh lima tahun penuh, Selama saya berada dalam latihan lebih tinggi, Saya tidak pernah memiliki pikiran tentang nafsu indera. Lihatlah ! Betapa perkasa bekerjanya Kebenaran” (Buddha)

Sebaliknya, bagi kaumrohaniwan, spiritualis yang belum mempunyai pengertian benar tentang hakikat sesungguhnya dari badan jasmani, kecantikan jasmaniah seringkali menjadi penghalang utama bagi dirinya dalam menempuh kehidupan suci. Bayangan bekas istri dan atau pacar yang cantik selalu terbayang-bayang dalam lamunan kita, Kita tidak pernah merasa bahagia dalam menempuh hidup kerohanian. Hanya penyesalan, ketidakpuasan, kekecewaan dan penderitaanlah yang kita alami.

Menyitir Kitab Dharmmapada 284 tertulis: “Selama belukar nafsu birahi lelaki terhadap wanita belum dihancurkan betapapun kecilnya, maka selama ini pula ia akan terikat pada kehidupan, bagaikan seekor anak sapi yang masih menyusu / terikat pada induknya.”

Sebagai penekun spiritual tentu kita tidak menginginkan keadaan itu berlarut-larut. Kita mesti tanpa henti mengadakan penelisikan diri dan juga meminta nasehat yang berguna dalam mengatasi persoalan itu. Dengan penuh semangat dan keyakinan, kita harus berusaha untuk menjalani hidup sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran.

Lenyapkanlah segala kemelekatan pada badan jasmani. Maka selanjutnya akan muncullah kebahagiaan dan kedamaian sejati. “Setelah mengetahui bahwa tubuh ini bagaikan busa, dan setelah menyadari sifat mayanya, maka hendaknya seseorang mematahkan panah nafsu berujung bunga.”

Ada suatu cerita lain yang bisa memberikan gambaran tentang nilai sesungguhnya dari kecantikan jasmaniah. Pada suatu ketika, dengan membawa piring emas berisi perhiasan-perhiasan yang terbuat dari emas. Sakkadevaraja berusaha menggoda Ratu Udaya Bhadda yang cantik jelita. Gagal dalam godaan pertama, pada malam selanjutnya ia datang dengan membawa piring perak berisi perhiasan-perhiasan yang terbuat dari perak. Meski godaan ini juga mengalami kegagalan, Sakkadevaraja tidak pernah patah semangat. Dengan membwa piring perunggu berisi perhiasan-perhiasan yang terbuat dari perunggu, ia datang untuk ketiga kalinya. Pada saat itu Ratu Udaya Bhadda memberikan pernyataan, “Anda datang dalam upaya mendapatkan cinta saya dengan suatu cara yang aneh sekali. Persembahan yang anda berikan dengan tujuan menaklukkan cinta saya, mulai dari persembahan emas, ke persembahan perak, dan kemudian ke persembahan perunggu, itu sesungguhnya suatu sikap dan dungu. Sebab, bila memberikan persembahan, seseorang biasanya memulainya pertama-tama dari perunggu, kemudian ke perak dan emas; sebagai tanda kesungguhan hasratnya.”
Menanggapi hal ini, Sakkadevaraja memberikan jawaban yang masuk akal, “Saya adalah seorang pedagang yang mengetahui dagangannya dengan teliti. Karena itu saya selalu memberikan harga yang sesuai. Penghargaan saya yang pertama terhadap anda itu seharga emas, yang kedua seharga perak dan yang keriga turun seharga perunggu. Ini semua tiada lain karena dengan berlalunya waktu, kehidupan anda kian merosot. Kecantikan anda kian memudar, dan usia anda dengan perlahan-lahan, namun tidak dapat dielakkan, melaju mendekati kematian. Sesungguhnya saya telah melihat dengan cermat penghargaan yang saya berikan terhadap anda, yaitu selalu menurun dalam nilainya.


Dari kisah di atas......"sebagaimana siang berpacu menuju malam, dan malam menuju siang, demikian juga halnya dengan alur kehidupan makhluk hidup, menjadi semakin pendek dan pendek.”

Dengan semakin pendeknya usia makhluk hidup, kecantikan jasmaniah menjadi semakin merosot harganya. Puncak dari ketidakberhargaan kecantikan jasmaniah dapat terlihat dengan jelas ketika seseorang telah dihadapkan pada kematian.

Sahabat....“Tidak lama lagi tubuh ini akan terbujur di atas tanah, dibuang, serta tanpa kesadaran, bagaikan sebatang kayu yang tidak berguna.”

Untuk menyadarkan orang yang terikat dengan nafsu birahi / kecantikan jasmani, Sang Buddha membabarkan Dharmma dengan mengucapkan syair sebagai berikut:
Lihatlah lukisan yang beruapa khayalan ini
Badan yang penuh luka, dirangkai menjadi satu
Tempat tumpukan penyakit
Tempat timbunan pikiran
Dimana tidak terdapat kekekalan dan kelanggenan.
Lihatlah badan jasmani ini yang berupa khayalan,
Disertai dengan perhiasan, cincin dan permata lainnya.
Tulang belulang yang dibungkus dengan kulit
Dalam pakaian yang gemerlapan.
Kakinya diwarnai dengan cat
Mukanya dilabur dengan bedak.
Rambut dikepang delapan
Mata disemir dengan salep mata
Bagaikan peti penyimpanan salep mata yang diberi perhiasan
Demikian juga tubuh yang kotor ini dipercantik dengan pelbagai cara
Cukup untuk memperdayai orang-orang bodoh
Namun tidak bagi seseorang pencari Pantai Seberang (Kebebasan).”

Dari syair tersebut....bila dipikirkan secara jujur, pepatah tua yang menyatakan bahwa, “Kecantiakn itu hanya sedalam kulit”, itu sebenarnya bukanlah suatu rekaan atau hasil ciptaan orang-orang yang tidak bisa menghargai kecantikan, melainkan suatu kenyataan yang tidak bisa dibantah, yang telah disadari dengan jelas oleh orang-orang yang dapat menembus hakikat sesungguhnya dari badan jasmaniah.
Oleh karena itu, sangatlah disayangkan bila ada pemuda/pemudi harapan dan tumpuan bangsa dan negara, dengan pikiran yang cepat mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri hanya karena tidak berhasil mendapat gadis/jejaka idaman hatinya.

Nilai kecantikan kelihatan seakan-akan membumbung tinggi di hadapan orang-orang yang matanya sedang terliputi oleh kabut nafsu inderawi. Sebaliknya, bagi orang yang sadar, kecantikan tidak lebih hanyalah rangkaian unsur yang berproses menuju kelapukan dan kefanaan.

Apabila nafsu birahi itu tidak dapat dikendalikan dan dilenyapkan, maka kehidupan yang penuh dengan ketenangan dan kedamaian tentunya tidak mungkin bisa terwujud; karena nafsu birahi itulah yang sesungguhhnya menjadi salah satu penyebab utama dari sebagian besar keonaran dan kekacauan.

Hanya orang-orang yang peradabannya masih rendah menyatakan bahwa mereka yang tidak memiliki nafsu birahi adalah orang-orang yang abnormal; sebaliknya, orang-orang yang peradabannya sudah cukup tinggi akan menyatakan bahwa mereka yang masih diperbudak oleh nafsu birahi itulah yang justru pantas disebut sebagai orang-orang yang abnormal.

Sesungguhnya kecantikan jasmaniah itu bukan jahat. Bahkan Awatara Rama mengakui kecantikan jasmaniah itu tiada lain disebabkan oleh perbuatan-perbuatan bajik di waktu yang lampau. Namun kemelekatan pada kecantikan jasmaniah itulah yang harus disingkirkan bila seseorang mendambakan kedamaian dan kebahagiaan sejati.

Salam rahayu
Bali, 15 Desember 2011_by: Goesde Tantrayana G

No comments: