Salam Kasih
Oleh: I W. Sudarma
Om Swastyastu
Untuk memahami lebih jauh tentang simbol-simbol dalam agama Hindu terlebih dahulu akan kami uraikan tentang hakekat ketuhanan dalam agama Hindu. Hakekat ketuhanan atau teologi seperti pula halnya dengan ajaran agama Hindu pada umumnya, yang menjadi sumber utama adalah kitab suci Veda, yang merupakan himpunan sabda Tuhan Yang Maha Esa atau wahyu-Nya yang diterima oleh para mahaṛṣi di masa yag silam. Bila kita mengkaji kitab suci Veda maupun praktek keagamaan di India dan Indonesia (Bali) maka Tuhan Yang Maha Esa disebut dengan berbagai nama. Berbagai wujud digambarkan untuk Yang Maha Esa itu, walaupun sesungguhnya Tuhan Yang Maha Esa tidak berwujud, dan di dalam bahasa bahasa Sanskerta disebut Acintyarūpa yang artinya: tidak berwujud dalam alam pikiran manusia, dan dalam bahasa Jawa Kuno dinyatakan: "Tan kagrahita dening manah mwang indriya" (tidak terjangkau oleh akal dan indriya manusia). Bila Tuhan Yang Maha Esa tidak berwujud (Impersonal God), timbul pertanyaan mengapa dalam sistem pemujaan kita membuat bangunan suci, arca, pratima, parlingga, mempersembahkan bhusana, sesajen dan lain-lain. Bukankah semua bentuk perwujudan maupun persembahan itu ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berwujud dalam alam pikiran manusia? Sebelum kita lebih jauh membahas tentang Tuhan Yang Maha Esa, marilah kita tinjau difinisi atau pengertian tentang Tuhan Yang Maha Esa yang dikemukakan oleh mahaṛṣi Vyāsa yang dikenal juga dengan nama Badarāyaṇa dalam bukunya: Brahmāsūtra, Vedantasāra atau Vedāntasāra, sebagai berikut: Janmādyasya yataḥ (I.1.2), yang oleh Svami Śivānanda diterjemahkan sebagai berikut: Brahman adalah asal muasal dari alam semesta dan segala isinya (janmādi = asal, awal, penjelmaan dan sebagainya, asya = dunia/alam semesta ini, yataḥ = dari padanya). Jadi menurut sūtra (kalimat singkat dan padat) ini, Tuhan Yang Maha Esa yang disebut Brahman ini adalah merupakan asal mula segalanya. Penjelasan ini sesuai dengan bunyi mantram Puruṣa Sūkta Ṛgveda, berikut:
Puruṣa evedaṁ sarvaṁ yadbhūtaṁ yacca bhavyam, utāmātatvasesā no yadannenati rohati - Tuhan sebagai wujud kesadaran agung merupakan asal dari segala yang telah dan yang akan ada. Ia adalah raja di alam yang abadi dan juga di bumi ini yang hidup dan berkembang dengan makanan. Ṛgveda X.90.2.
Demikian pula, Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber segalanya dan sumber kebahagiaan hidup, dinyatakan pula di dalam mantra Veda berikut:
Yo bhūtaṁ ca bhavyam ca sarvaṁ yaś cadhitisthati, svar yasyaca kevalam tasmai jyesthāya Brahmāne namaḥ - Tuhan Yang Maha Esa hadir dimana-mana, asal dari segalanya yang telah ada dan yang akan ada.Ia penuh dengan rakhmat dan kebahagiaan. Kami memuja Engkau, Tuhan Yang Maha Tinggi. Atharvaveda X.8.1.
Selanjutnya dalam Narāyaṇa Upaniṣad 2, yang kemudian dijadikan mantram bait ke-2 dari mantram Tri Sandhyā, juga menjelaskan tentang Tuhan Yang Maha Esa sebagai asal segalanya, maha suci tidak ternoda, sebagai berikut:
Narāyaṇa evedaṁ sarvaṁ yad bhūtaṁ yacca bhavyam, niskalaṅko nirañjano nirvikalpo
nirākhyātaḥ suddho devo eko Narāyaṇo na dvityo'sti kaścit - Ya Tuhan Yang Maha Esa, dari Engkaulah semua ini berasal dan kembali yang telah ada dan yang akan ada di alam raya ini. Hyang Widhi Maha Gaib, mengatasi segala kegelapan, tak termusnahkan, maha cemerlang, maha suci (tidak ternoda), tidak terucapkan, tiada duanya). Narāyaṇa Upaniṣad 2.
Difinisi atau pengertian tentang Tuhan Yang Maha Esa tersebut di atas tentu sangat terbatas, oleh karena itu kitab-kitab Upaniṣad menyatakan difinisi atau pengertian apapun yang ditujukan untuk memberikan batasan kepada Tuhan Yang Tidak Terbatas itu tidaklah menjangkau kebesaran-Nya, oleh karena itu kitab-kitab Upaniṣad menyatakan tidak ada difinisi yang tepat untuk-Nya, NETI-NETI (Na + iti, na+iti), BUKAN INI, BUKAN ITUi. Bila tidak ada difinisi yang tepat untuk-Nya, bagaimanakah kita dapat memuja-Nya? Untuk memahami Tuhan Yang Maha Esa, maka tidak ada jalan lain kecuali mendalami ajaran agama, memohon penjelasan para guru yang ahli di bidangnya yang mampu merealisasikan ajaran ketuhanan dalam kehidupan pribadinya. Tentang kitab suci atau sastra agama sebagai sumber atau ajaran untuk memahami Tuhan Yang Maha Esa, kitab Brahmā Sūtra, secara tegas menyatakan: Śāstrayonitvat (I.1.2), yang artinya: kitab suci/ sastra agama adalah sumber untruk memahami-Nya.
Kembali pada permasalahan yang dikemukakan pada awal tulisan ini, apakah Sang Hyang Widhi sama dengan Śiva atau Brahmā? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka marilah kita kaji berdasarkan tinjauan etimologis maupun leksikal sebagai berikut: Kata Widhi (Sanskerta Vidhi) berasal dari urat kata Vidh yang artinya: sebuah aturan, peraturan atau kekuasaan, rumus, perintah, keputusan, ordonansi (peraturan setempat), undang-undang, ajaran, hukum, perintah, petunjuk (teristimewa petunjuk tentang persembahan sesuai kitab-kitab Brāhmṇa, kitab suci Veda, yang menurut Sāyaṇa terdiri dari 2 bagian, yaitu (1). Vidhi, yaitu petunjuk atau aturan seperti "yajate", ia yang mempersembahkan upacara Yajña, "kuryāt", ia yang menyajikan, dan (2) Artha-vāda, penjelasan tentang asal/makna upacara dan penggunaan mantra, yang dipadukan dengan legenda-legenda dan ilustrasi-ilustrasi) seperti disebutkan dalam Gṛhyaśrautasūtra, Manusmṛti, Mahābhārata dan lain-lain, aturan tata bahasa atau perintah, Pāṇini 1.I.57; 72, petunjuk pelaksanaan upacara atau ritual, dan lain-lain. Di dalam Mahābhārata dan kitab-kitab Purāṇa juga dalam kitab-kitab Kāvya lainnya, Vidhi disebut sebagai Sang Pencipta (creator), juga dalam Pañcarātra. Vidhi adalah salah satu nama dari Brahma sebagai pencipta atau penguasa hukum. Vidhi juga berarti hukum atau pengendali dan lain-lain. Di dalam kitab-kitab Purāṇa, Vidhi adalah nama lain dari Brahma sebagai telah disebutkan di atas, yakni sebagai Sang Pencipta. Di dalam kitab Amarakoṣa dijelaskan satu śloka tentang nama-nama Brahma di antaranya adalah Vidhi, sebagai berikut:
"Dhātābjayonir druhino Virañciḥ kamalāsanaḥ, Srṣṭhā prajāpatir vedhā Vidhātḥ viśvasṛtvidhiḥ- Brahma adalah Dhātā (yang memegang atau menampilkan segala sesuatu), Abjayoni (yang lahir dari bunga teratai, Druhiṇa (yang membunuh raksasa), Virañci (yang menciptakan), Kamalāsana (yang duduk di atas bunga teratai), Srsthā (yang menciptakan), Prajāpati (raja dari semua mahluk/ masyarakat), Vedhā (ia yang menciptakan), Vidhātā (yang menjadikan segala sesuatu), Viśvasṛt (ia yang menciptakan dunia) dan Vidhi berarti yang menciptakan atau yang menentukan, juga berarti yang mengadilinya.
Di Bali kita temukan lontar-lontar susastra Jawa Kuno di antaranya Ādiparwa (109), Udyogaparwa (5; 103), Uttarakaṇḍa (130), Sārasamuccaya (505.1), Wṛhaspatitattwa (22.8), Rāmāyana (7.22; 17.45), Ghatotkacāśraya (34.5), Sumanasāntaka (7.3), Sutasoma 11.7; 12.2), Ārjunawijaya (2.1; 68.4), Tantri Kāmaṇḍaka (62.19), Kidung Harsa Wijaya (1.6; 1.11; 2.121), Kidung Suṇḍa (3.2), Ranggalawe (8.33), Malat (7.109), Tantri Kadiri (2.124) dan Sorāndaka (1.14) yang secara jelas menyatakan kata Widhi (sanskerta Vidhi) berarti: "aturan atau perintah tertinggi, tertib alam semesta, nasib (takdir), penguasa tertinggi (Sang Hyang Widhi), pencipta (alam semesta)" dan sejenisnya.
Di samping itu kita mewarisi pula beberapa lontar bernama Vidhi Panpiñcatan yang berisi keputusan-keputusan hukum/pengadilan semacam yurisprudensi, juga lontar Widhiśāstra yang berarti pengetahuan tentang Widhi (teologi), dan lain-lain. Dengan demikian Sang Hyang Widhi adalah Tuhan Yang Maha Esa sebagai Pencipta alam semesta. Tuhan sebagai Widhi disebut bersthana di Luhuring Ākāśa, yakni di atas angkasa, nun jauh di sana. Dalam pengertian ini, tentunya Tuhan Yang Maha Esa digambarkan tidak berwujud (Impersonal God). Kapan Sang Hyang Widhi dimohon turun dan hadir untuk menerima persembahan, maka saat itu juga Beliau telah terwujud dalam alam pikiran. Wujud-wujud utama-Nya itu disebut Tri Mūrti (Brahmā, Viṣṇu dan Śiva).
Kata Śiva berarti: yang memberikan keberuntungan (kerahayuan), yang baik hati, ramah, suka memaafkan, menyenangkan, memberi banyak harapan, yang tenang, membahagiakan dan sejenisnya. Sang Hyang Śiva di dalam menggerakkan hukum kemahakuasaan-Nya didukung oleh śaktinya Durgā atau Parvatῑ. Hyang Śiva adalah Tuhan Yang Maha Esa sebagai pelebur kembali (aspek pralaya atau pralina dari alam semesta dan segala isinya). Śiva yang sangat ditakuti disebut Rudra (yang suaranya menggelegar dan menakutkan). Śiva yang belum kena pengaruh Maya (berbagai sifat seperti Guna, Śakti dan Svabhava) disebut Paramaśiva , dalam keadaan ini, disebut juga Acintyarūpa atau Niskala dan Tidak berwujud (Impersonal God).
Kata Brahman (adalah bentuk neutrum dari Brahmā) yang berarti: yang tumbuh, berkembang, berevolusi, yang bertambah besar, yang meluap dari diri-Nya, dan sejenisnya. Ciptaan-Nya muncul dari diri-Nya, seperti halnya Veda yang muncul dari nafas-Nya. Kemahakuasaan Hyang Brahmā sebagai pencipta jagat raya didukung oleh śakti-Nya yang disebut Sarasvatῑ, dewi pengetahuan dan kebijaksanaan yang memberikan inspirasi untuk kebajikan umat manusia. Bila disebut sebagai Brahmā, maka Ia adalah manifestasi utama Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta, dengan demikian Brahmā saat ini adalah Tuhan Yang Berperibadi (Personal God). Brahmā digambarkan berwajah empat (Caturmukha) dan lain-lain. Dengan demikian Hyang Widhi adalah Brahman, Tuhan Yang Tidak Berwujud dalam alam pikiran manusia (Impersonal God) sedang disebut Brahmā, ketika Ia telah mengambil wujud dalam menciptakan alam semesta beserta segala isinya.
Manifestasi utama-Nya lainnya adalah Viṣṇu. Viṣṇu manifestasi Tuhan Yang Maha Esa memelihara jagat raya dan segala isinya. Ia yang menghidupkan segalanya. Kata Viṣṇu berarti: pekerja, yang meresapi segalanya dan sejenisnya (Ibid:999). Kemahakuasaan Sang Hyang Viṣṇu dalam memelihara alam semesta beserta segala isinya didukung oleh úaktinya yang bernama Śrῑ dan Lakṣmῑ.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, jelaslah bagi kita bahwa Hyang Widhi Wasa adalah Tuhan Yang Maha Esa, Ia disebut juga Brahman dan berbagai nama lainnya. Bila Tuhan Yang Maha Esa dipuja dengan aneka persembahan, maka Ia dipuja sebagai Tuhan Yang Personal, yang berperibadi.
Untuk memahami lebih jauh hakekat ketuhanan dalam agama Hindu, telebih dahulu akan diuraikan tentang ketuhanan dalam kitab suci Veda. Di dalam kitab suci Veda, Tuhan Yang Maha Esa dan para Deva disebut deva atau devatā. Kata ini berarti: cahaya, berkilauan, sinar gemerlapan yang semuanya itu ditujukan kepada manifestasi-Nya, juga ditujukan kepada matahari atau langit, termasuk api, petir atau fajar. Deva juga berarti mahluk sorga atau yang sangat mulia.
Demikianlah, Sang Hyang Widhi adalah Tuhan Yang Ācinthyarūpa (impersonal God) dan ketika dipuja oleh umat diwujudkan sebagai Sang Hyang Brahma, Viṣṇu atau Śiva dan kepada-Nya dengan jalan Bhakti dipersembahkan aneka persembahan untuk memohon karunia-Nya. Dan semoga tidak muncul berbagai bentuk egoisme, dengan mengatakan Tuhanku lebih baik, yang lain lebih rendah.
Om Santih Santih Santih Om
No comments:
Post a Comment