Salam Kasih
“sada dari drairapi hi sakyam praptum naradhipa, Tirthabhi ga manam punyam yajnerapi visisyate - apan mangke kottamaning tirthayatra atyanta pavitra luih sangkeng kapavaning yajna venang ulahakena ring daridra”
“Sebab keutamaan Tirthayatra, amat suci, lebih utama dari melaksanakan yajna, dapat dilakukan oleh orang miskin” Sarasamuccaya 279
Om Swastystu
Marak Twain dalam bukunya “More Tramp Abroad” menyebutkan bahwa orang yang bertirthayatra datang dari berbagai negara untuk berziarah selama berbulan-bulan dengan penuh kesabaran, dalam suasana panas dan berdebu, merasakan letih dan lapar. Namun perjalanan seperti itu dapat menggugah semangat spiritual.
Apa yang dimaksud dengan Tirtha-yatra?
Istilah tirthayatra sudah tidak asing lagi bagi umat Hindu di Indonesia. Sebelumnya, bahkan sekarang pun beberapa orang tua Hindu di Indonesia, khususnya orang-orang tua di Bali masih suka menyebutkan perjalanan mengunjungi tempat-tempat suci tersebut dengan istilah dharma-yatra, istilah yang tidak berbeda arti dan makna dengan tirthayatra.
Istilah dharmayatra dihubung-hubungkan dengan istilah yang dipergunakan untuk menyebutkan perjalanan Resi Agastya dari India ke Bali. Namun, perjalanan Maharesi Agastya tersebut bertujuan untuk menyebarkan ajaran-ajaran suci Veda. Karenanya, istilah dharmayatra tersebut walaupun tidak salah, ia kurang tepat dipergunakan untuk menyebutkan istilah mengunjungi tempat-tempat suci. Oleh karena ada istilah yang lebih tepat, maka istilah tirthayatra kami anjurkan, perkenalkan, kembangkan dan mantapkan pemakaiannya, dan istilah tersebut memang telah melekat kuat dalam masyarakat Hindu di Indonesia khususnya. Di India sendiri istilah untuk menyebutkan perjalanan mengunjungi tempat-tempat suci adalah tirthayatra. Istilah tersebut kalau kita adakan penelitian lebih jauh di dalam lontar-lontar ajaran leluhur kita, pasti akan dijumpai keselarasan dan kesamaannya. Sarasamuccaya sendiri mengatakan, keutamaan tirthayatra tersebut sebagai teramat suci (atyanta pawitra), lebih utama daripada pensucian dengan yajna; sebab tirthayatra, yakni kunjungan ke tempat-tempat suci dapat pula dilakukan oleh si miskin (wenang ulahakena ring daridra – Sarasamuccaya. 279). Karena itu, orang yang tidak dapat melakukan tirthayatra, dinyatakan sebagai orang yang sesungguhnya dapat dikatakan sangat miskin (Sarasamuccaya. 278)
Tirtha-yatra berasal dari kata tirtha dan yatra. Tirtha berarti air suci, air kehidupan, atau nectar, tempat-tempat suci yang ada air sucinya dan lain-lain. Tirtha juga berarti orang-orang suci, sebab orang-orang suci umumnya berada di tempat-tempat suci yang ada air sucinya. Atau, orang-orang suci juga disebut sebagai tirtha karena orang-orang suci mempunyai kekuatan suci untuk menyucikan orang, seperti halnya kekuatan yang dimiliki oleh tempat-tempat suci dan/atau tirtha. Yatra berarti perjalanan. Jadi, tirthayatra berarti perjalanan suci mengunjungi tempat-tempat suci, perjalanan suci untuk menyucikan diri, perjalanan suci untuk bertemu dengan orang-orang suci, perjalanan suci untuk penyucian diri dari dosa-dosa.
Kata tirtha secara tata bahasa Sanskerta disebutkan berasal dari akar kata “tr” yang berarti “tiryate anena” (dengan mana diseberangkan), dengan mana orang diseberangkan dari lautan dosa. Amarsingh menyebutkan kata tirtha sebagai Nipana, Agama, Resijusta dan Guru (nipanagamayor tirtham rsirjustajale gurau). Nipana menunjukkan tempat untuk menyeberangi sungai, atau danau atau kolam. Agama dimaksudkan kitab-kitab suci, air sisa atau pemberian dari para resi, dan Guru menunjukkan Guru-Guru suci.
Selain istilah Dharmayatra dan tirthayatra, istilah lain juga yang dikenal adalah Tirthatana, Tirthabhigamana, yang juga mengandung pengertian yang sama dengan pengertian tirthayatra. Sesungguhnya, satu-satunya tujuan hidup manusia di alam MAYA ini adalah untuk mencapai keuntungan tertinggi berupa Bhagavatprapti atau mencapai keinsyafan diri dalam hubungan sejati dengan Tuhan Yang Maha Esa, atau yang orang-orang biasa mempraktekkan kerohanian/meditasi/samadhi biasanya menyebutkan dengan istilah “menyatu dengan Tuhan”, “anunggaling kawula lawan Gusti”, “sangkang-paraning dumadhi” dan lain-lain istilah. Untuk mencapai tujuan hidup tertinggi tersebut, orang-orang perlu merenungkan hal-hal sebagai di bawah, yaitu :
Tidak ada orang yang dapat mengetahui dan/atau menghindarkan diri dari datangnya kematian; entah ia masih muda, rambut sudah uban alis usia sudah lanjut, entah ia sehat walafiat ataukah sakit-sakitan – jika saat kematian sudah ditentukan oleh Hyang Maha Kuasa, tidak ada makhluk di Tri-loka atau di tiga alam semesta ini yang dapat menyelamatkan dirinya dari jemputan kematian tersebut. Oleh karena itu, kitab-kitab suci menganjurkan agar orang-orang segera mengambil perlindungan atau menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa - jnatva-mrityum anistiryam harim sharanam-avrajet. Jnatva mrityum, setelah orang mengetahui bahwa kematian adalah suatu kepastian bagi dirinya, harim sharanam avrajet, bahwa hendaknya ia segera berlindung pada Tuhan YME. Orang-orang hendaknya tekun melakukan pemujaan serta pemujian Nama-Nama Suci Tuhan Yang Maha Esa. Orang-orang hendaknya melelapkan batin atau keseluruhan sang dirinya di dalam bhakti Pada Hyang Maha Kuasa dan bukan kepada hal-hal yang bersifat sementara.
Untuk mendapatkan pengetahuan-pengetahuan dan semangat-semangat suci tentang hal-hal tersebut di atas, orang-orang dianjurkan agar menyempatkan diri untuk melakukan sadhhu-sangga atau berkumpul dengan orang-orang suci. Para sadhu adalah orang-orang yang telah bebas dari dosa-dosa serta mempunyai kekuatan untuk membebaskan orang dari dosa-dosa. Seorang sadhu tidak ditentukan oleh hal-hal atau ciri-ciri luar, seperti misalnya memelihara rambut atau kumis, jenggot yang panjang, memakai atau tidak memakai topi, menggundul kepala, memakai pakaian-pakaian dengan berbagai ciri-ciri yang cepat dapat menarik perhatian publik, memakai tanda-tanda kesucian di badan seperti tilaka, abu-abu suci dan lain-lain.
Tidak, sadhu tidak ditentukan oleh ciri-ciri luar atau ciri-ciri lahiriah tersebut. Akan tetapi apabila seorang Sadhu mengenakan tanda-tanda lahiriah tersebut di badannya harus dimengerti sebagai kewajiban suci yang telah mengikatnya secara tradisi, bukan sebagai pamer diri untuk menarik perhatian publik semata-mata. Sebab, seorang Sadhu adalah ia yang sudah tidak terikat pada hal-hal “loka-paraloka” atau hal-hal yang duniawi atau bersifat gaib, kesadarannya sudah tidak dicengkeram oleh hawa nafsu, tidak terikat kepada harta benda dan wanita (lawan jenis).
Para sadhu atau orang-orang suci seperti itu dapat dijumpai di tempat-tempat suci (tirtha). Bertemu dengan orang-orang suci seperti itu mampu memberikan pengaruh bagaikan siraman air kedalam api yang membara. Oleh karena itu, kitab-kitab suci menganjurkan agar orang-orang yang menginginkan untuk mendapatkan keuntungan tertinggi menjadi manusia berupa pembebasan dari keduniawian untuk mencapai moksa atau pembebasan, dianjurkan agar mengunjungi orang-orang suci di tempat-tempat suci “tasmat tirthesu gantavyam”. Tasmat – oleh karena itu, gantavyam – hendaknya kalian pergi mengunjungi, tirthesu – tempat-tempat suci.
Jadi, itulah sebabnya mengapa orang-orang dianjurkan pergi mengunjungi tempat-tempat suci. Melakukan kunjungan ke tempat-tempat suci tidaklah seperti kita mengunjungi tempat-tempat biasa, atau seperti kita berekreasi. Kunjungan wisata lebih cendrung menunjukkan pemuasan indria-indria luar kita. Sedangkan perjalanan tirthayatra atau boleh dikatakan wisata rohani, cendrung mengarah kepada pemuasan indria-indria rohani. Sebab, hanya dengan kepuasan indria-indria rohani saja orang bisa mendapatkan kebahagiaan yang sejati, kebahagiaan rohani yang tiada batas dan akhirnya, kebahagiaan yang tidak disusul oleh kedukaan. Untuk itu, sebelum orang-orang memantapkan diri untuk melakukan perjalanan tirthayatra atau wisata rohani, mereka dianjurkan untuk merenungkan bahwa segala sesuatu di dunia material ini seperti misalnya suami, istri, anak, harta benda dan lain-lain hanyalah bersifat sementara dan tidak kekal.
Setelah mencapai perenungan seperti itu, bahwa semua itu bersifat asatya atau tidak kekal, orang hendaknya mengingat Nama Tuhan Yang Maha Esa (asatya-bhutam tajjnatva, harim tu manasa smaret). Ketika di dalam batin/pikiran kita telah mendengung terus menerus Nama-Nama Suci Tuhan, setelah melangkahkan kaki beberapa jauh dari halaman rumah, para yatri (wisatawan rohani) dianjurkan agar mulai mengucapkan Nama-Nama Suci Tuhan tersebut (rama rameti ca bruyat). Memperhatikan petunjuk-petunjuk seperti tersebut di atas akan menyebabkan kemantapan rohani terpercik didalam batin para tirthayatri. Untuk lebih mempermantap dan menjaga suasana/kemantapan rohani, orang-orang sebisa-bisanya dianjurkan pula untuk memakai pakaian yang layak untuk bertirthayatra (tirtha-vesadharo narah).
Sering kita mengantarkan orang-orang bertirthayatra. Kadang-kadang terdapat mereka yang begitu semangat bertirthayatra, tetapi sampai di tempat suci/di sungai suci mereka tidak mandi. Bahkan ada yang menyebutkan diri bertirthayatra namun datang hanya untuk mengambil foto saja. Seharusnya, jika orang benar-benar ingin bertirthayatra, mereka harus mandi di tempat/di sungai suci (tatra tirthadisu snatva). Para tirthayatri hendaknya sangat berhati-hati dan dianjurkan untuk dengan patuh dan mantap mengikuti aturan-aturan orang bertirthayatra (tasmat sarva-prayatnena tirthayatra-vidhim caret).
Selama melakukan tirthayatra, jika para tirthayatri menguasai kedua tangannya, kedua kaki dan pikirannya, maka ia akan menjadi orang yang berhak untuk mendapatkan hasil dari pelaksanaan tirthayatra. Menguasai kedua tangan dan kaki maksudnya menyibukkan diri didalam pelayanan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atau melayani orang-orang suci, serta menguasai pikirannya, yang berarti ia harus selalu mengingat Tuhan (dan bukan hal-hal yang bersifat duniawi), maka ia akan mendapatkan pahala dari orang melakukan tirthayatra. Jika petunjuk-petunjuk di atas dilakukan maka secara pasti orang yang melakukan tirthayatra tersebut akan mengalami kemajuan hidup lahir-batin, duniawi dan rohani.
Selama melakukan tirthayatra, orang-orang dianjurkan sebisa-bisanya untuk mengembangkan sifat-sifat yang agung dan mulia, yang beberapa mungkin bisa disebutkan antara lain sebagai berikut:
1). selalu berbicara yang baik, benar dan suci (satya). Oleh karena itu, kitab suci mengatakan satyam tirtham, bahwa satya atau kebenaran itu adalah tirtha.
2). orang-orang hendaknya bersedia untuk saling memaafkan, berusaha untuk tidak melihat kesalahan-kesalahan orang lain. Sifat pengampun seperti itu namanya ksama. Oleh karena itu, kitab-kitab suci mengatakan bahwa sifat pengampun tersebut adalah tirtha (ksama tirtham)
3). selama melakukan tirthayatra, orang-orang hendaknya selalu berusaha mengontrol indria-indrianya, mengontrol hawa nafsu dan lain-lain. Oleh karena itu, kitab-kitab suci mengatakan tirtham-indriyanigrahah, bahwa pengontrolan indria-indria adalah tirtha.
4). Tirthayatri hendaknya senantiasa berusaha mengembangkan sifat mencintai setiap makhluk hidup (daya). Oleh karena itu, sarva-bhuta-daya tirtham, bahwa mencintai seluruh makhluk hidup adalah tirtha.
5). Kadang, jika melakukan perjalanan keluar daerah, pada umumnya orang terpancing untuk menunjukkan bahwa dirinya mampu atau memiliki kelebihan dari yang lain, atau bahkan ada pula yang sangat bangga menunjukkan bahwa ia memiliki segala sesuatu, bahwa ia gampang memperoleh segala sesuatu. Jarang orang bisa menunjukkan kesederhanaan. Bagi mereka yang tidak terbiasa hidup sederhana, bagi mereka yang miskin di dalam hatinya, mereka akan menganggap kesederhanaan itu sebagai penunjukkan kemiskinan. Padahal, untuk pencapaian hal-hal yang bersifat rohani, termasuk tirthayatra, kesederhanaan sangat diperlukan. Oleh karena itu, kesederhanaan juga adalah tirtha, tirtham arjavam eva ca.
6). Sifat pelit cendrung membuat kesadaran orang menjadi sempit. Untuk menghilangkan sifat pelit tersebut, orang-orang dianjurkan untuk melakukan kedermawanan seperti memberikan pertolongan orang-orang miskin dengan memberikan makan-minum, pakaian, bahan-bahan makanan, pendidikan dan lain-lain. Selain itu, secara teratur memberikan sumbangan kepada orang-orang yang tepat dan membutuhkan, -- juga akan menyucikan uang atau harta yang didapatkan entah dengan cara bagaimana. Tidak semua harta yang didapat selalu dengan cara yang bersih dan murni. Khususnya ketika melakukan tirthayatra, orang dianjurkan juga melakukan dana-punia atau sedekah. Oleh karena itu, kedermawanan atau sedekah juga adalah tirtha.
7). Selama melakukan tirthayatra orang-orang dianjurkan sebisa-bisanya menguasai pikiran. Apabila orang alpa menguasai pikiran, pikiran tersebut akan mengajak orang menjauh dari tujuan tirthayatra. Dalam keadaan seperti itu, pikiran akan menjadi musuh bagi yang bersangkutan. Oleh karena itu, penguasaan pikiran juga disebut tirtha.
8). Kadang orang terpancing pula untuk menganggap tirthayatra-nya berhasil kalau keinginan atau kehendaknya selalu terkabul. Tidak, perjalanan suci sering harus atau merupakan keharusan untuk melewati berbagai cobaan dan halangan. Jika orang tetap berpuas hati terhadap hasil dan keadaan perjalanan sucinya, maka ia disebutkan berhak mendapatkan hasil melakukan tirthayatra. Oleh karena itu, kepuasan diri juga adalah tirtha.
9). Tirthayatra juga berarti melakukan pengekangan hawa nafsu birahi. Dianjurkan agar orang tidak melakukan hubungan badan, bahkan dengan pasangan sekali pun jika sedang melakukan perjalanan suci, apalagi jika berusaha memuaskan hawa nafsu dengan cara-cara yang tidak wajar, misalnya melihat tari telanjang (yang bagi orang-orang tertentu dipergunakan sebagai kesempatan mencari hiburan), mencari pasangan, atau bahkan “jajan”. Pengekangan hawa nafsu birahi selama melakukan tirthayatra akan sangat membantu keberhasilan tirthayatra. Oleh karena itu, brahmacarya atau pengekangan hawa nafsu seks juga disebut sebagai tirtha. Bahkan ia disebut sebagai tirtha utama (param tirtham).
10). Saling bentak atau mempergunakan kata-kata kasar atau “canda-canda cabul” juga tidak dianjurkan. Oleh karena itu, berkata-kata yang manis, halus, penuh didalam kesucian, mendiskusikan ajaran-ajaran suci, menyanyi lagu-lagu suci/kekidungan, semua akan sangat membantu perolehan hasil tirthayatra yang sempurna. Maka, kata-kata yang manis dan penuh mengandung kebenaran serta kesucian seperti itu juga dinamakan tirtha.
11). Ajaran-ajaran kitab suci Veda menyebutkan bahwa ketabahan juga disebutkan sebagai tirtha.
12). Dalam perjalanan tirthayatra, orang memang dipaksa untuk melakukan berbagai macam tapa-brata. Oleh karena itu pertapaan serta pantangan-pantangan juga disebutkan sebagai tirtha.
Diantara tirtha-tirtha yang disebutkan tersebut, jika orang berhasil melaksanakan dengan patuh dan ketulusan rohani tentang segala persyaratan, aturan dan peraturan suci, maka dengan pelaksanaan tirthayatra tersebut orang akan mampu menyucikan batinnya yang terdalam (antah karana) dengan segera. Oleh karena itu, kesadaran batin terdalam orang yang sangat suci murni juga disebutkan bukan hanya sebagai tirtha melainkan sebagai Rajadiraja-nya tirtha, Rajadiraja-nya tempat-tempat suci. Dan itulah tujuan pelaksanaan tirthayatra, yaitu “nirmalaning manah.”
Om Santih Santih Santih Om
No comments:
Post a Comment