Oleh: Rasa Acharya Prabhuraja Darmayasa
Om Swastyastu
Dravya-yajnas tapo-yajna
yoga-yajnas tathapare
svadhyaya-jnana-yajnas ca
yatayah samsita-vratah
(Bhagavad-gita 4.28)
"Para Yati, orang-orang suci yang melakukan sumpah suci den-gan tegas, ada yang mengorbankan harta benda sebagai persembahan suci yajna, ada yang melaksanakan pertapaan berat sebagai persembahan korban suci yajna, ada yang mempraktikkan yoga sebagai persembahan suci yajna, ada yang mempelajari secara pribadi kitab-kitab suci Veda, dan ada pula yang melaksanakan korban suci yajna dengan menyebarkan pengetahuan-pengetahuan suci."
"Canang-Banten dan upacara keagamaan yang sangat unik menyebabkan Bali menjadi "the only one" di dunia. Tidak ada masyarakat lain di dunia yang memiliki tradisi keagamaan seindah ini. Tidak pula India yang dipandang sebagai asal mulanya agama Hindu di tanah air. Ia adalah warisan leluhur yang tidak dengan begitu mudah harus dilupakan."
Sloka Bhagavad-gita di atas menjelaskan tentang para Yati atau orang-orang suci dan juga beberapa jenis persembahan suci, yajna. Orang-orang suci yang dinamakan Yati adalah mereka yang terkenal tekad kerasnya dalam melaksanakan praktik-praktik spiritualnya. Mereka melakukan sumpah-sumpah suci Vrata dengan tegas dan penuh hati-hati (sam-sitani vratani). Para Yati seperti itulah yang bersungguh-sungguh melaksanakan persembahan suci yajna dalam pengertian serta makna yajna yang sesungguhnya.
Ada beberapa jenis yajna disebutkan secara umum. Umat pada umumnya hanya memahami yajna sebatas melakukan upacara-upacara. Ada pula yang mempunyai pemahaman perihal yajna dihubungkan dengan biaya upacara. Jika tingkat pengeluarannya di atas sepuluh juta rupiah, maka itulah yang dinamakan yajna. Ada pula yang beranggapan kalau melak-sanakan upacara sampai menjual sawah, itu barulah namanya yajna. Jika hanya sebatas formalitas "ngaturang canang", atau "banten pejati", maka dianggap ia belum tentu sudah beryajna.
Terdapat pemahaman yajna yang dalam bentuk luar seperti itu, terutama terlihat pada umat yang tidak begitu akrab dengan ajaran-ajaran suci Veda, dan/atau mereka yang terpelajar secara ilmu pengetahuan dunia/akademis akan tetapi belum tertarik untuk mendalami pemahaman-pemahaman ajaran Veda lebih jauh lagi.
Yajna bukan hanya berupa upacara-upakara, atau banten-banten, melainkan terdapat sangat banyak jenis yajna yang lain. Menurut ajaran Veda, ada pula berbagai jenis yajna lain yang kita semua perlu ketahui dan pahami. Akan tetapi, untuk mengetahui yajna-yajna tersebut, hal pertama yang perlu dipastikan di dalam batin umat adalah bahwa kita tidak akan pernah melupakan yajna berupa bebantenan, karena di Bali pada khususnya, sebaiknya kita jangan meninggalkan banten. Hanya masalahnya sekarang, bagaimana kita memahami dan menerapkannya di dalam keseharian kita sebagai insan yang berbhakti kepada Ida Sang Hyang Parama Kawi.
Di Bali, hampir setiap aktivitas yang dilakukan oleh umat selalu mempergunakan Canang-Banten. Umat tidak melupakan tradisi indah ini. Canang-Banten dan upacara keagamaan yang sangat unik menyebabkan Bali menjadi "the only one" di dunia. Tidak ada masyarakat lain di dunia yang memiliki tradisi keagamaan seindah ini. Tidak pula India yang dipandang sebagai asal mulanya agama Hindu di tanah air. Ia adalah warisan leluhur yang tidak dengan begitu mudah harus dilupakan. Hal penting yang diperlukan hanyalah pemahaman akan arti dan maknanya serta disesuaikan dengan perkembangan zaman modern yang mau tidak mau sangat mempengaruhi kesempatan dan kemampuan umat dalam melaksanakan upacara-upacara keagamaan.
Keberhati-hatian juga diperlukan karena ternyata ada pula banten yang merupakan tambahan, kembangan, bahkan ada yang keluar menjauh dari pakem-pakem lontarnya. Lain Banjar, atau bahkan lain tempek lain jenis bebantenannya. Umat perlu menjaga batasan sastra-dresta untuk menjaga agar ia tidak terlalu keluar dari relnya, agar aktivitas bhakti tidak hanya menjadi persembahan kering yang menjauh dari sentuhan rasa bhakti.
Para Yati, Yogi, dan orang suci lainnya ada yang memilih melaksanakan Dravya-yajna (dravya di Bali menjadi druwe). Dravya berarti harta milik, uang, harta benda.
Persembahan-persembahan dalam bentuk harta benda seperti inilah yang banyak kita laksanakan di Bali. Harta yang kita miliki, kita persembahkan, seperti buah-buahan, makanan-makanan, dan lain-lain yang disebut dengan bebantenan. Yang termasuk juga ke dalam Dravya-yajna adalah memberi makan kepada sapi atau menyumbangkan sapi untuk dipelihara.
Semua orang, baik kaya atau miskin, semuanya bisa melakukan yajna dan semuanya harus meyajna karena alam ini disebutkan diciptakan melalui yajna. Jadi kita juga harus "membalas" nya melalui yajna. Artinya, setiap orang, setiap umat itu wajib me-yajha. Yajna di sini bisa dipilih. Bagi yang tidak begitu punya harta benda ada yajna-yajna yang lain yang dikedepankan. Jangan paksakan diri sampai harus menjual sawah hanya untuk me-yajna. Ini Karena kita tidak mengerti bahwa ada yajna-yajna yang lain yang kita yang kita kedepankan maka Dravya-yajna menjadi jauh. Ternyata ada yajna lainnya, misalnya Tapa-yajna.
"Tapa" artinya memanaskan, mematangkan, memasakkan, yaitu me-yajna dengan cara memasak diri, mematangkan diri dengan cara "menyiksa" diri dalam praktik spiritual. Zaman dahulu, orang-orang pergi ke hutan tidak makan dan tidak minum. Ada yang bertapa di sebuah pohon. Bertapa keras, menyiksa diri. Ada juga yang bertapa sekian tahun seperti Dhruva. Ia adalah putra mahkota raja yang masih kecil. Dhruva pergi ke hutan, 6 bulan hanya makan daun-daunan sambil mengucapkan mantra "Om namo bhagavate vasudevaya". Kematangan tapa-yajna dan japa-yajna-nya menyebabkan Tuhan hadir di hadapan Dhruva kecil. Tuhan sangat berkarunia. Beliau memang tidak dapat dilihat tapi bukan berarti Beliau tidak berkenan memperlihatkan diri. Hanya saja, layak tidak kita diperlihatkan kemuliaan oleh Beliau? Yang membuat kita tidak layak adalah indria-indria kita masih terpengaruh oleh kesenangan-kesenangan duniawi. Ketika kesenangan duniawi itu mengisi seluruh indria, maka tertutuplah indria-indria spiritual kita.
Bertapa juga termasuk yajna. Akan tetapi, sering pula orang keseleo bertapa justru untuk menumbuhkan ego. Ternyata tidak semua orang bertapa itu untuk ber-yajna. Banyak orang ke Pura membawa gebogan, pejati dan sarana beban-tenan yang lain, itu "belum tentu" sudah me-yajna. Dalam arti sesungguhnya, memohon dan meminta banyak kepada Tuhan, ke Pura hanya untuk bernegosiasi dengan Tuhan, bukan mebhakti dalam arti sebenarnya bhakti, maka ia bukanlah yajna dalam arti sesungguhnya.
Demikian juga, tidak setiap orang bertapa itu sama dengan ber-yajna. Ada juga orang bertapa itu untuk menyiksa diri karena patah hati. Seperti contoh di negara Thailand yang pernah saya baca, ada seorang anak muda yang patah hati. Dia menyiksa dirinya dengan menggores bagian-bagian tubuhnya seperti lengan, tangan dan wajahnya dengan menggunakan pisau dan itu di videokan. Itu karena patah hati. Ada pula orang yang tidak makan, berpuasa karena patah hati. Ada juga Tapa/puasa itu karena politik. Akan tetapi, dalam sastra Veda disebutkan Tapa itu adalah untuk ber-yajna. Bertapa hendaknya demi Sattva-guna sehingga bisa layak bertemu dengan Tuhan.
Banyak pertapaan yang keseleo dilakukan beralih untuk mengembangkan ego, dan bukan untuk mengembangkan spiritual dengan menundukkan ego. Spiritual itu sederhana. Ia adalah aktifitas menurunkan ego sampai "Ego Less" sampai tidak ada ego. Itulah yang namanya spiritual. Mempelajari kitab suci sampai pintar tetapi ego masih tinggi itu bukan spiritual. Itu pula alasan Pendeta/Brahmana itu tidak boleh bekerja, hanya boleh menerima "Daksina", atau meminta-minta. Melalui meminta-minta orang akan menengadahkan tangan, artinya orang siap diejek dan dihina sehingga egonya bisa ditekan turun. Svami Rama diinisiasi sebagai seorang Sannyasi, tidak boleh bekerja dan harus meminta-minta. Beliau masih muda berperawakan tinggi gagah, ganteng, lalu pergi meminta-minta. Kemana pun pergi selalu diejek. "Bintang film begini meminta-minta. Mau tidak dengan putriku?", kata seseorang mengejek. Yang lain juga ada yang mengatakan, "Lenganmu kuat sekali, mau ikut saya memotong kayu?"
Ejekan dan sindiran seperti itu membuat beliau patah hati. Behau bersedih di tepi sungai Gangga dan berjanji tidak akan melanjutkan hidup dengan memmta-minta. Egonya menjadi tinggi. Dalam keadaan sangat bersedih seperti itu di tepi sungai Gangga, akhirnya Dewi Gangga muncul di hadapannya dan memberikan karunia sebuah mangkok yang selalu berisi makanan. Svami Rama tidak lagi pergi meminta-minta, dan juga tidak perlu memasak. Beliau senang sekali. Akan tetapi, ada "bawaan" lain dari mangkok ajaib itu.
Beliau menjadi tidak punya waktu untuk mempelajari kitab suci, tidak punya waktu untuk bermeditasi, dan tidak punya waktu untuk melakukan kegiatan-kegiatan spiritual lainnya. Karena apa?! Karena banyak orang yang datang hanya untuk melihat mangkok ajaib itu, bukan untuk duduk mendengarkan pelajaran suci atau bermeditasi. Ini adalah kisah nyata. Jadi teringat pula kasus batu Ponari di Jawa Timur waktu itu. Orang-orang datang dari jauh-jauh hanya untuk melihat batu.
Lama-kelamaan Svami Rama berpikir, "Wah, ini namanya musibah untuk hidup spiritual". Akhirnya beliau mengembalikan mangkok ajaib itu kepada Dewi Gangga dengan cara menghanyutkannya di sungai Gangga. Beliau mulai pergi meminta-minta lagi dan tidak perduli dengan omongan orang. Semua ejekan dan hinaan behau tahan hanya untuk menurunkan ego, demi egonya hilang. Hanya setelah menundukkan egonyalah beliau menjadi Guru. pergi ke negara Barat.
Apa yang seharusnya dilakukan ketika orang bertapa adalah Tapa itu di-yajna-kan. Bertapa bukan untuk mencari kesaktian tapi untuk menurunkan ego dan mempersembahkan yajna kepada Tuhan. Selanjutnya ada pula Yoga Yajna. Yoga sekarang ini sudah diobrak-abrik dari tujuan sebenarnya. Ada yoga untuk melangsingkan tubuh, ada juga yoga untuk seks, juga ada yoga untuk menurunkan penyakit diabetes dan lain-lain. Tentu saja semua itu tidak salah melainkan belum mengarah pada tujuan daripada Yoga yang sebenarnya.
Segala ajaran Veda selalu bisa dikenali dari namanya. Seperti contohnya nama "Sumerta". Orang tua pasti selalu mengharapkan yang baik-baik dari pemberian nama tersebut. Nama "Sumerta" itu, "merta" dimaksudkan amerta. Di Bali, merta itu artinya rejeki, padahal arti sebenarnya adalah racun atau mati. Amerta adalah minuman kekekalan, yang membuat hidup orang kekal. Ia adalah ajaran-ajaran indah, berkah-berkah indah yang membuat hidup kita kekal abadi dan mengantarkan kepada moksa. Maka dari itu nama tirta suci adalah Tirtha Amerta. Dengan diperciki Tirtha Amerta Gangga maka hidup orang akan dihantarkan kepada hidup yang kekal, yaitu moksa. Arti yoga sebenarnya adalah untuk menghubungkan Atma dengan Paramatma. Maharesi Patanjali mendefinisikan Yoga, "Yogas citta-vrtti nirodhah" - Yoga adalah pengontrolan kerlap-kerhp pikiran. Seorang spiritualis sejati tidak akan melakukan yoga untuk tujuan langsing dan lain-lain tujuan duniawi yang sedang "ngetren" sekarang ini. Orang bijak melakukan yoga hanya untuk ber-yajna.
Om Santih Santih Santih Om
Source: Koran Bali Post, Minggu Pon 12 Juni 2016
@gatrahindu