Friday, September 22, 2023

Damai Dalam Kegelapan


Om Swastyastu
Siapa yang tak mau damai? Kedamaian sendiri melampaui kebahagiaan phisik, kebahagiaan material tak berarti apa apa dibandingkan kedamaian. Karena kedamaian adalah intisari dari semuanya, semua mengarah pada kedamaian, bahkan kematian saja Rest in Peace, surga pun adalah kedamaian. 

Dapatkah dengan mengetahui malam kita mengerti siang, dengan mengetahui siang kita memahami malam? Dalam spiritual kita belajar tentang kesadaran diri, kita bisa menolak bahwa semua bukan diri kita. Tubuh bukan diri kita,  pikiran dan perasaan, apa yang kita miliki dst bukan diri kita atau sebaliknya dengan cara menerima semua adalah diri kita. Dengan kedua cara ini kita akan berhasil mencapai kedamaian diri. 

Dimana esensi bahwa sisi gelap kehidupan pun adalah kedamaian? Sedih, sakit, duka, rugi, tamak, iri, segala penderitaan, dst juga adalah kedamaian?  Kita meringis dikala sakit, kita kesal saat dikecewakan dan saat seperti ini kita kehilangan kedamaian. Mungkin lebih sering kita kehilangan kedamaian dari pada merasakan damai. Beda pendapat saja kedamaian ikut sirna... 

Kita anggap semua yang menghilangkan kedamaian adalah sisi gelap, yang menggantikan kedamaian adalah sisi negatif. Mampukah kita tetap damai saat sisi gelap ini menghampiri hidup kita? Saat ini terjadi kita ikut gelap dan kelam. 

Yang perlu diingat adalah sadar diri. Seperti ke tempat gelap kita ikut gelap, tetapi jika kita sadar kita bukan kegelapan lilin kecilpun dapat menghalaunya. Kesadaran kecilpun dapat kembali mendamaikan. Kesadaran diri bagaikan lentera. Nasihat diri bagaikan pemantik agar lentera hidup. Jadi nasihat diri dan kembali sadar. Sadar diri justru lebih mudah saat disisi gelap. Terang lebih mudah terlihat saat disisi gelap. Maka semua latihan spritual untuk mencegah kegelapan atau dimulai dengan kesulitan. Orang mendekat pada Tuhan setelah sakit dan menderita karena percaya disisi gelap ada kesadaran dan Tuhan. Ada kebebasan. Semoga melihat terang dari kegelapan.. Manggalamastu

Om Santih  Santih Santih Om

Pilih Jalan Membebaskan

 

Om Swastyastu

Hampir semua orang ingin yang menyenangkan, yang nyaman, yang tanpa perjuangan, yang penuh kemudahan namun semua ini hanya menambah kecengengan dan kerentanan jiwa kita. Dengan adanya kalkulator dan sarana berhitung lainnya kita kehilangan kemampuan cara menghitung. Dengan adanya  memori penyimpanan perlahan kita kehilangan kemampuan mengingat bahkan lupa nomor penting dan nomor keluarga terdekat. 

Alam menyatakan," dia yang memilih jalan kesenangan dan kenyamanan tak akan pernah terbebaskan, dia akan terbelenggu dan ketergantungan atas objek kesenangannya." Biasa dengan AC tanpa AC kita akan kepanasan, terbiasa ada listrik mati listrik kita kelimpungan, biasa makan enak tat kala sakit merasa tersiksa dengan dietnya. Dan masih banyak lagi contoh lainnya. 

Jadi dengan landasan ini kita diajarkan yang seakan menyusahkan. Kita diajarkan puasa, kita diajarkan mengendalikan diri, diajarkan rohani, diajarkan ikhlas, berserah, diajarkan meditasi, dan lain sebagainya. Kita diajarkan melepaskan, tidak terikat tidak melekat dengan kesenangan dan kenyamanan. Semua kenyamanan dan yang menyenangkan perlu dikalibrasi apakah membebaskan atau membelenggu. Apakah akan membuat kita cengeng dan rentan atau mandiri dan sadar diri? 

Sering makan enak, akhirnya diet atau puasa. Punya penghasilan kita  diingatkan berbagi, ketika berbagi kita dingatkan ikhlas, ketika banyak karya dan andil kita diingatkan berserah diri tanpa keakuan. Ketika ingin berhasil kita diingatkan berkorban. Terbiasa dengan jabatan saat tak menjabat akan power sindrom, terbiasa dengan mendapatkan upah dan keuntungan saat di PHK dan merugi kita menderita. Demikianlah jalan kesenangan yang perlu dikalibrasi agar tidak terbelenggu dan tidak melekatinya. Latih dan pilihlah jalan yang membebaskan. 

Tidak mementingkan diri sendiri, miliki jiwa pengorbanan, ikhlas, berserah diri, tidak melekat dan tidak terikat, tidak ketagihan dan setwrusnya,  adalah jalan yang membebaskan. Semoga kita mampu menerapkan jalan yang membebaskan. 

Manggalamastu
Om Santih Santih Santih Om
#suluhhindu #mutiaradharma #PelitaBang 
@way_sudarma

📷 photo lukisan Jero Mangku Pura Hulun Danu-Songan

Wednesday, July 27, 2022

Kesempurnaan Itu Hari Ini

Om Swastyastu
Tantri bertanya pada gurunya 
Tantri: "Bagaimana caranya agar kita mendapatkan sesuatu yang paling sempurna dalam hidup?" 

Guru: "Berjalanlah lurus di taman bunga, lalu petiklah bunga yang paling indah menurutmu & jangan pernah kembali ke belakang".

Setelah berjalan dan sampai di ujung taman, Tantri kembali dengan tangan hampa . . . 

Lalu guru bertanya: "Mengapa kamu tidak mendapatkan bunga 1 pun?"
Tantri: "Sebenarnya tadi aku sudah menemukannya tapi aku tidak memetiknya karena aku pikir mungkin yang di depan pasti ada yang lebih indah, namun ketika aku sudah sampai di ujung, aku baru sadar bahwa yang aku lihat tadi adalah yang terindah, dan aku pun tak bisa kembali kebelakang lagi!"

Dengan tersenyum guru berkata: "Ya, itulah hidup, semakin kita mencari kesempurnaan, semakin pula kita tak akan pernah mendapatkannya, karena sejatinya kesempurnaan yang hakiki tidak pernah ada, yang ada hanyalah keikhlasan hati kita untuk menerima kekurangan".

Sahabat....Marilah kita sadari bahwa apa yang kita dapatkan hari ini adalah yang terbaik menurut Tuhan dan jangan pernah ragu, karena kesadaran itu akan menjadikan kita nikmat menjalani hidup ini.
Om Santih Santih Santih Om
I Wayan Sudarma
#mutiaradharma #SuluhHindu #kemenagbangli

Sunday, November 28, 2021

TOHLANGKIR NAN AGUNG


Saat Meletus Pun Engkau Sedemikian Agung, 
MenyaksikanMu berkarya-diri kecil ini semakin MengagumiMu

Karena hamba Yakin, KesucianMu akan Mendamaikan Persada

Karena hamba Yakin KaryaMu kali ini adalah untuk mengajak DamuhMu semakin dekat dalam Bhakti, dalam Persaudaraan 
Karena hamba Yakin kriyaMu di akhir akan memberi kami kehidupan yang lebih baik.

Suksma Agung atas perkenaanMu diri ini dapat MenatapMu dengan Penuh Jernih dari Ketinggian atas seijinMu

Om Ang Ah Iswara Nalih

Friday, January 8, 2021

Mengelola Anugerah

Om Swastyastu

Anak-anak akan senang sekali jika diberikan hadiah oleh orang tua atas usaha yang dilakukan anaknya. Demikian juga jiwa-jiwa yang dahaga akan mengalami sukacita tatkala ia diberkahi  sebuah waranugraha (tertentu) oleh para Dewa atas berbagai disiplin kerohanian yang dilakoninya. Namun mereka yang telah cerah dan sadar, ia tak lagi mengharapkan hadiah-hadiah temporer seperti itu, ia akan terus melangkah hingga dapat kembali Bersatu dengan Yang Esa. 


Tatkala kita diberkahi berbagai karunia olehNya, jadikanlah itu sebagai sarana pelayanan bagi kerahayuan semua mahluk, digunakan untuk terus meningkatkan kesadaran diri, dan bukan disalahgunakan untuk meninggikan keangkuhan dan menjauhkan kita dariNya. Karena seringkali Hadiah menjauhkan anak dari orang tuanya, demikian pula WaranugrahaNya tak jarang membuat seseorang justru menjadi insan penuh ahamkara sehingga Kesadaran Diri dan Budhinya Pekertinya kian merosot.

Om Santih Santih Santih Om
⚘ I Wayan Sudarma
#SuluhHindu
#catatanharian
#mutiaradharma


Tuesday, December 22, 2020

IBU


Om Swastyastu

"Jika ibu wajahnya selalu memancarkan keceriaan, seluruh rumah tangga berbahagia, tetapi jika  wajahnya cemberut,semuanya akan kelihatan suram" (Manavadharmaśāstra, III.62.)

Sewaktu masih kecil, aku sering merasa dijadikan pembantu olehnya. Ia selalu menyuruhku mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya setiap pagi dan sore. Setiap hari, aku ‘dipaksa’ membantunya memasak di pagi buta sebelum ayah dan adik-adikku bangun. Bahkan sepulang sekolah, ia tak mengizinkanku bermain sebelum semua pekerjaan rumah dibereskan. Sehabis makan, aku pun harus mencucinya  sendiri juga piring bekas masak dan makan yang lain. Tidak jarang aku merasa kesal dengan semua beban yang diberikannya hingga setiap kali mengerjakannya aku selalu bersungut-sungut. 

Kini, setelah dewasa aku mengerti kenapa dulu ia melakukan itu semua. Karena aku juga akan menjadi seorang istri dari suamiku, ibu dari anak-anakku yang tidak akan pernah lepas dari semua pekerjaan masa
kecilku dulu. Terima kasih ibu, karena engkau aku menjadi istri yang baik dari suamiku dan ibu yang dibanggakan oleh anak-anakku. 

Saat pertama kali aku masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak, ia yang mengantarku hingga masuk ke dalam kelas. Dengan sabar pula ia menunggu. Sesekali kulihat dari jendela kelas, ia masih duduk di seberang sana. Aku tak peduli dengan setumpuk pekerjaannya di rumah, dengan rasa kantuk yang menderanya, atau terik, atau hujan. Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu. Yang penting aku senang ia menungguiku sampai bel berbunyi. 

Kini, setelah aku besar, aku malah sering meninggalkannya, bermain bersama teman-teman, bepergian. Tak pernah aku menungguinya ketika ia sakit, ketika ia membutuhkan pertolonganku disaat tubuhnya melemah. Saat aku menjadi orang dewasa, aku meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga. 

Di usiaku yang menanjak remaja, aku sering merasa malu berjalan bersamanya. Pakaian dan dandanannya yang kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi. Bahkan seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter didepannya agar orang tak menyangka aku sedang bersamanya. 

Padahal menurut cerita orang, sejak aku kecil ibu memang tak pernah memikirkan penampilannya, ia tak pernah membeli pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia sisihkan semua untuk membelikanku pakaian yang bagus-bagus agar aku terlihat cantik, ia pakaikan juga perhiasan di tubuhku dari sisa uang belanja bulanannya. Padahal juga aku tahu, ia yang dengan penuh kesabaran, kelembutan dan kasih sayang mengajariku berjalan. Ia mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh, membasuh luka di kaki dan mendekapku erat-erat saat aku menangis. 

Selepas SMA, ketika aku mulai memasuki dunia baruku di perguruan tinggi. Aku semakin merasa jauh berbeda dengannya. Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan seringkali menganggap ibu sebagai orang bodoh, tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa. Hingga kemudian komunikasi yang berlangsung antara aku dengannya hanya sebatas permintaan uang kuliah dan segala tuntutan keperluan kampus lainnya. 

Usai wisuda sarjana, baru aku mengerti, ibu yang kuanggap bodoh, tak berwawasan dan tak mengerti apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih gelar sarjananya. Meski Ibu bukan orang berpendidikan, tapi do’a di setiap sujudnya, pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah kuraih. Tanpamu Ibu, aku tak akan pernah menjadi aku yang sekarang. 

Pada hari pernikahanku, ia menggandengku menuju pelaminan. Ia tunjukkan bagaimana meneguhkan hati, memantapkan langkah menuju dunia baru itu. Sesaat kupandang senyumnya begitu menyejukkan, jauh lebih indah dari keindahan senyum suamiku. Usai akad nikah, ia langsung menciumku saat aku bersimpuh di kakinya. Saat itulah aku menyadari, ia juga yang pertama kali memberikan kecupan hangatnya ketika aku terlahir ke dunia ini. 

Kini setelah aku sibuk dengan urusan rumah tanggaku, aku tak pernah lagi menjenguknya atau menanyai kabarnya. Aku sangat ingin menjadi istri yang baik dan taat kepada suamiku hingga tak jarang aku membunuh kerinduanku pada Ibu. Sungguh, kini setelah aku mempunyai anak, aku baru tahu bahwa segala kiriman uangku setiap bulannya tak lebih berarti dibanding kehadiranku untukmu. 

Aku akan datang dan menciummu Ibu, meski tak sehangat cinta dan kasihmu kepadaku. ( Untuk Semua Ibu Di Seluruh Dunia)

Om Santih Santih Santih Om
⚘ I Wayan Sudarma
Bali, 22 Desember 2020

Saturday, October 10, 2020

Jalinan Indah Itu Bernarma KARMA

Om Swastyastu

Hidup dan pengalaman hidup yang kita lakoni sekarangini, pada dasarnya diproyeksikan oleh karma-karma dalam hidup masa lalu kita. Dan apa yang kita lakukan sekarang, sebagian besar akan menjadi wujud hidup kita yang akan datang. kenyataan ini menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti berikut:

Mengapa orang yang hidup dengan penuh kebajikan, mengalami banyak kesulitan? Sampai-sampai ada orang yang kecewa terhadap kebajikannya.

Mengapa orang yang perilaku buruk dalam hidupnya, terus berjaya dan bahagia? Sehingga ragu akan kebenaran hukum karma.

Semeton Sedharma....Kebenaran hukum karma tidak akan pernah MELUPUTKAN satu hal pun, dibutuhkan PROSES untuk kematangannya, dibutuhkan WAKTU untuk memetik buahnya. Karena itu jangan kaitkan NASIB hidup dengan prinsip KEBENARAN yang kita jalani.

Jika kesulitan datang, masalah timbul, problematika terjadi, tetap yakinlah pada ajaran KEBENARAN tentang hukum sebab akibat.

Dengan demikian akan memberi kita optimisme dan keteguhan hati, bahwa keadaan bisa dan akan berubah.

Jika hidup kita terasa mudah, keberuntungan tiada putusnya, kebahagiaan tiada pernah usai. Janganlah mengabaikan KEBENARAN akan hukum sebab akibat (karma).

Dengan demikian kita bisa bagaikan petani yang panen raya, hanya petani yang dungu tapi juga takabur yang tidak menyemainya kembali, karena kelak hasil panennya tersebut betapapun banyaknya akan menyusut seperti air yang kering oleh terpaan matahari.

Semoga utain singkat saya ini bermanfaat bagi Indahnya untaian karma-karma kebajikan dalam hidup kita masing-masing.

Semoga semua mahluk berbagia. Manggalamastu.

Om Santih Santih Santih Om

❤  I Wayan Sudarma (Jero Mangku Danu)©

Thursday, March 26, 2020

Bhakti Kepada Guru Wisesa Adalah Yajña Uttama

Om Swastyastu

Berbhakti dengan Guru Wisesa (pemerintah) merupakan kewajiban masyarakat, karena sudah diberikan perlindungan, rasa aman dan juga kesejahteraan dalam hidup. 

Seorang pemimpin harus mampu mengayomi masyarakatnya dan menjadi pelindung bagi rakyatnya, tetapi apabila ada pemimpin yang tidak melaksanakan kewajibannya menjadi tercela dan hilang wibawanya.

Dalam Kitab Ramayana, Sarga XXIV Sloka 61, disebutkan bahwa "keharusan wibawa pelindung Negara yang akan dipuji-puji, tetap di bibir rakyat dan jadi kenang-kenangan mereka. Demikianlah keharusan dan kewajiban seorang raja perwira, tetapi jika lari dari medan perang (baca: permasalahan rakyat), nistalah, hinalah raja demikian. Itulah kewajiban seorang pemimpin bagi rakyatnya, dan kewajiban rakyat terhadap pemimpin adalah mematuhi segala peraturan (hukum dan undang-undang) yang ditetapkan sebagai wujud bhakti terhadap Guru Wisesa.Rakyat yang menghormati dan menjunjung tinggi wibawa pemimpinnya mendapatkan hidup yang bahagia, aman, nyaman, damai dan sejahtera".

Kisah tentang bhakti terhadap Guru Wisesa adalah contoh perbuatan Kumbakama yang merupakan adik dari Rahwana yang rela bekorban demi pemimpin, negara dan tanah airnya, walaupun diketahui bahwa tindakan Rahwana salah. Kisah yang sama dari Bhagawan Drona dan Bhagawan Bisma yang dengan penuh rasa bhakti dan hormat kepada pemimpin (raja) serta bhakti terhadap Negara (Dharma Negara). Bhakti yang mereka lakukan sungguh mulia, sehingga mendapat berkah dan anugerah yang luar biasa dan nama mereka tetap harum sepanjang zaman. Itulah bentuk bhakti kepada Guru Wisesa sebagai pemimpin yang perlu kita hormati dan patuhi, tetapi sepatutnya pemimpin mampu memberikan teladan yang mulia bagi rakyatnya. 

Demikian pula saat ini, dengan kasus Corona; ketika Pemerintah membatasi akses rakyat untuk beraktivitas di luar adalah dalam rangka Melindungi Keselamatan Rakyatnya.



AYO...Patuhi Anjuran Pemerintah....!!
Kalau Tidak Kita Siapa Lagi...??
Kalau bukan sekarang Kapan Lagi...??
INGAT....mematuhi Anjuran Pemerintah juga merupakan YAJÑA UTTAMA

Semoga bermanfaat
#KitaBisa
#stayhome

Om Santih Santih Santih Om
🙏I Wayan Sudarma

Friday, January 31, 2020

"Yajna Agung" di antara "Yajna Agung"

Oleh: Rasa Acharya Prabhuraja Darmayasa

Om Swastyastu

Dravya-yajnas tapo-yajna
yoga-yajnas tathapare
svadhyaya-jnana-yajnas ca 
yatayah samsita-vratah 
(Bhagavad-gita 4.28)

"Para Yati, orang-orang suci yang melakukan sumpah suci den-gan tegas, ada yang mengorbankan harta benda sebagai persembahan suci yajna, ada yang melaksanakan pertapaan berat sebagai persembahan korban suci yajna, ada yang mempraktikkan yoga sebagai persembahan suci yajna, ada yang mempelajari secara pribadi kitab-kitab suci Veda, dan ada pula yang melaksanakan korban suci yajna dengan menyebarkan pengetahuan-pengetahuan suci."

"Canang-Banten dan upacara keagamaan yang sangat unik menyebabkan Bali menjadi "the only one" di dunia. Tidak ada masyarakat lain di dunia yang memiliki tradisi keagamaan seindah ini. Tidak pula India yang dipandang sebagai asal mulanya agama Hindu di tanah air. Ia adalah warisan leluhur yang tidak dengan begitu mudah harus dilupakan."
Sloka Bhagavad-gita di atas menjelaskan tentang para Yati atau orang-orang suci dan juga beberapa jenis persembahan suci, yajna. Orang-orang suci yang dinamakan Yati adalah mereka yang terkenal tekad kerasnya dalam melaksanakan praktik-praktik spiritualnya. Mereka melakukan sumpah-sumpah suci Vrata dengan tegas dan penuh hati-hati (sam-sitani vratani). Para Yati seperti itulah yang bersungguh-sungguh melaksanakan persembahan suci yajna dalam pengertian serta makna yajna yang sesungguhnya.
Ada beberapa jenis yajna disebutkan secara umum. Umat pada umumnya hanya memahami yajna sebatas melakukan upacara-upacara. Ada pula yang mempunyai pemahaman perihal yajna dihubungkan dengan biaya upacara. Jika tingkat pengeluarannya di atas sepuluh juta rupiah, maka itulah yang dinamakan yajna. Ada pula yang beranggapan kalau melak-sanakan upacara sampai menjual sawah, itu barulah namanya yajna. Jika hanya sebatas formalitas "ngaturang canang", atau "banten pejati", maka dianggap ia belum tentu sudah beryajna.
Terdapat pemahaman yajna yang dalam bentuk luar seperti itu, terutama terlihat pada umat yang tidak begitu akrab dengan ajaran-ajaran suci Veda, dan/atau mereka yang terpelajar secara ilmu pengetahuan dunia/akademis akan tetapi belum tertarik untuk mendalami pemahaman-pemahaman ajaran Veda lebih jauh lagi.

Yajna bukan hanya berupa upacara-upakara, atau banten-banten, melainkan terdapat sangat banyak jenis yajna yang lain. Menurut ajaran Veda, ada pula berbagai jenis yajna lain yang kita semua perlu ketahui dan pahami. Akan tetapi, untuk mengetahui yajna-yajna tersebut, hal pertama yang perlu dipastikan di dalam batin umat adalah bahwa kita tidak akan pernah melupakan yajna berupa bebantenan, karena di Bali pada khususnya, sebaiknya kita jangan meninggalkan banten. Hanya masalahnya sekarang, bagaimana kita memahami dan menerapkannya di dalam keseharian kita sebagai insan yang berbhakti kepada Ida Sang Hyang Parama Kawi.
Di Bali, hampir setiap aktivitas yang dilakukan oleh umat selalu mempergunakan Canang-Banten. Umat tidak melupakan tradisi indah ini. Canang-Banten dan upacara keagamaan yang sangat unik menyebabkan Bali menjadi "the only one" di dunia. Tidak ada masyarakat lain di dunia yang memiliki tradisi keagamaan seindah ini. Tidak pula India yang dipandang sebagai asal mulanya agama Hindu di tanah air. Ia adalah warisan leluhur yang tidak dengan begitu mudah harus dilupakan. Hal penting yang diperlukan hanyalah pemahaman akan arti dan maknanya serta disesuaikan dengan perkembangan zaman modern yang mau tidak mau sangat mempengaruhi kesempatan dan kemampuan umat dalam melaksanakan upacara-upacara keagamaan.

Keberhati-hatian juga diperlukan karena ternyata ada pula banten yang merupakan tambahan, kembangan, bahkan ada yang keluar menjauh dari pakem-pakem lontarnya. Lain Banjar, atau bahkan lain tempek lain jenis bebantenannya. Umat perlu menjaga batasan sastra-dresta untuk menjaga agar ia tidak terlalu keluar dari relnya, agar aktivitas bhakti tidak hanya menjadi persembahan kering yang menjauh dari sentuhan rasa bhakti.

Para Yati, Yogi, dan orang suci lainnya ada yang memilih melaksanakan Dravya-yajna (dravya di Bali menjadi druwe). Dravya berarti harta milik, uang, harta benda.

Persembahan-persembahan dalam bentuk harta benda seperti inilah yang banyak kita laksanakan di Bali. Harta yang kita miliki, kita persembahkan, seperti buah-buahan, makanan-makanan, dan lain-lain yang disebut dengan bebantenan. Yang termasuk juga ke dalam Dravya-yajna adalah memberi makan kepada sapi atau menyumbangkan sapi untuk dipelihara.

Semua orang, baik kaya atau miskin, semuanya bisa melakukan yajna dan semuanya harus meyajna karena alam ini disebutkan diciptakan melalui yajna. Jadi kita juga harus "membalas" nya melalui yajna. Artinya, setiap orang, setiap umat itu wajib me-yajha. Yajna di sini bisa dipilih. Bagi yang tidak begitu punya harta benda ada yajna-yajna yang lain yang dikedepankan. Jangan paksakan diri sampai harus menjual sawah hanya untuk me-yajna. Ini Karena kita tidak mengerti bahwa ada yajna-yajna yang lain yang kita yang kita kedepankan maka Dravya-yajna menjadi jauh. Ternyata ada yajna lainnya, misalnya Tapa-yajna.

"Tapa" artinya memanaskan, mematangkan, memasakkan, yaitu me-yajna dengan cara memasak diri, mematangkan diri dengan cara "menyiksa" diri dalam praktik spiritual. Zaman dahulu, orang-orang pergi ke hutan tidak makan dan tidak minum. Ada yang bertapa di sebuah pohon. Bertapa keras, menyiksa diri. Ada juga yang bertapa sekian tahun seperti Dhruva. Ia adalah putra mahkota raja yang masih kecil. Dhruva pergi ke hutan, 6 bulan hanya makan daun-daunan sambil mengucapkan mantra "Om namo bhagavate vasudevaya". Kematangan tapa-yajna dan japa-yajna-nya menyebabkan Tuhan hadir di hadapan Dhruva kecil. Tuhan sangat berkarunia. Beliau memang tidak dapat dilihat tapi bukan berarti Beliau tidak berkenan memperlihatkan diri. Hanya saja, layak tidak kita diperlihatkan kemuliaan oleh Beliau? Yang membuat kita tidak layak adalah indria-indria kita masih terpengaruh oleh kesenangan-kesenangan duniawi. Ketika kesenangan duniawi itu mengisi seluruh indria, maka tertutuplah indria-indria spiritual kita.

Bertapa juga termasuk yajna. Akan tetapi, sering pula orang keseleo bertapa justru untuk menumbuhkan ego. Ternyata tidak semua orang bertapa itu untuk ber-yajna. Banyak orang ke Pura membawa gebogan, pejati dan sarana beban-tenan yang lain, itu "belum tentu" sudah me-yajna. Dalam arti sesungguhnya, memohon dan meminta banyak kepada Tuhan, ke Pura hanya untuk bernegosiasi dengan Tuhan, bukan mebhakti dalam arti sebenarnya bhakti, maka ia bukanlah yajna dalam arti sesungguhnya.
Demikian juga, tidak setiap orang bertapa itu sama dengan ber-yajna. Ada juga orang bertapa itu untuk menyiksa diri karena patah hati. Seperti contoh di negara Thailand yang pernah saya baca, ada seorang anak muda yang patah hati. Dia menyiksa dirinya dengan menggores bagian-bagian tubuhnya seperti lengan, tangan dan wajahnya dengan menggunakan pisau dan itu di videokan. Itu karena patah hati. Ada pula orang yang tidak makan, berpuasa karena patah hati. Ada juga Tapa/puasa itu karena politik. Akan tetapi, dalam sastra Veda disebutkan Tapa itu adalah untuk ber-yajna. Bertapa hendaknya demi Sattva-guna sehingga bisa layak bertemu dengan Tuhan.

Banyak pertapaan yang keseleo dilakukan beralih untuk mengembangkan ego, dan bukan untuk mengembangkan spiritual dengan menundukkan ego. Spiritual itu sederhana. Ia adalah aktifitas menurunkan ego sampai "Ego Less" sampai tidak ada ego. Itulah yang namanya spiritual. Mempelajari kitab suci sampai pintar tetapi ego masih tinggi itu bukan spiritual. Itu pula alasan Pendeta/Brahmana itu tidak boleh bekerja, hanya boleh menerima "Daksina", atau meminta-minta. Melalui meminta-minta orang akan menengadahkan tangan, artinya orang siap diejek dan dihina sehingga egonya bisa ditekan turun. Svami Rama diinisiasi sebagai seorang Sannyasi, tidak boleh bekerja dan harus meminta-minta. Beliau masih muda berperawakan tinggi gagah, ganteng, lalu pergi meminta-minta. Kemana pun pergi selalu diejek. "Bintang film begini meminta-minta. Mau tidak dengan putriku?", kata seseorang mengejek. Yang lain juga ada yang mengatakan, "Lenganmu kuat sekali, mau ikut saya memotong kayu?"
Ejekan dan sindiran seperti itu membuat beliau patah hati. Behau bersedih di tepi sungai Gangga dan berjanji tidak akan melanjutkan hidup dengan memmta-minta. Egonya menjadi tinggi. Dalam keadaan sangat bersedih seperti itu di tepi sungai Gangga, akhirnya Dewi Gangga muncul di hadapannya dan memberikan karunia sebuah mangkok yang selalu berisi makanan. Svami Rama tidak lagi pergi meminta-minta, dan juga tidak perlu memasak. Beliau senang sekali. Akan tetapi, ada "bawaan" lain dari mangkok ajaib itu. 

Beliau menjadi tidak punya waktu untuk mempelajari kitab suci, tidak punya waktu untuk bermeditasi, dan tidak punya waktu untuk melakukan kegiatan-kegiatan spiritual lainnya. Karena apa?! Karena banyak orang yang datang hanya untuk melihat mangkok ajaib itu, bukan untuk duduk mendengarkan pelajaran suci atau bermeditasi. Ini adalah kisah nyata. Jadi teringat pula kasus batu Ponari di Jawa Timur waktu itu. Orang-orang datang dari jauh-jauh hanya untuk melihat batu.

Lama-kelamaan Svami Rama berpikir, "Wah, ini namanya musibah untuk hidup spiritual". Akhirnya beliau mengembalikan mangkok ajaib itu kepada Dewi Gangga dengan cara menghanyutkannya di sungai Gangga. Beliau mulai pergi meminta-minta lagi dan tidak perduli dengan omongan orang. Semua ejekan dan hinaan behau tahan hanya untuk menurunkan ego, demi egonya hilang. Hanya setelah menundukkan egonyalah beliau menjadi Guru. pergi ke negara Barat.

Apa yang seharusnya dilakukan ketika orang bertapa adalah Tapa itu di-yajna-kan. Bertapa bukan untuk mencari kesaktian tapi untuk menurunkan ego dan mempersembahkan yajna kepada Tuhan. Selanjutnya ada pula Yoga Yajna. Yoga sekarang ini sudah diobrak-abrik dari tujuan sebenarnya. Ada yoga untuk melangsingkan tubuh, ada juga yoga untuk seks, juga ada yoga untuk menurunkan penyakit diabetes dan lain-lain. Tentu saja semua itu tidak salah melainkan belum mengarah pada tujuan daripada Yoga yang sebenarnya.

Segala ajaran Veda selalu bisa dikenali dari namanya. Seperti contohnya nama "Sumerta". Orang tua pasti selalu mengharapkan yang baik-baik dari pemberian nama tersebut. Nama "Sumerta" itu, "merta" dimaksudkan amerta. Di Bali, merta itu artinya rejeki, padahal arti sebenarnya adalah racun atau mati. Amerta adalah minuman kekekalan, yang membuat hidup orang kekal. Ia adalah ajaran-ajaran indah, berkah-berkah indah yang membuat hidup kita kekal abadi dan mengantarkan kepada moksa. Maka dari itu nama tirta suci adalah Tirtha Amerta. Dengan diperciki Tirtha Amerta Gangga maka hidup orang akan dihantarkan kepada hidup yang kekal, yaitu moksa. Arti yoga sebenarnya adalah untuk menghubungkan Atma dengan Paramatma. Maharesi Patanjali mendefinisikan Yoga, "Yogas citta-vrtti nirodhah" - Yoga adalah pengontrolan kerlap-kerhp pikiran. Seorang spiritualis sejati tidak akan melakukan yoga untuk tujuan langsing dan lain-lain tujuan duniawi yang sedang "ngetren" sekarang ini. Orang bijak melakukan yoga hanya untuk ber-yajna.
Om Santih Santih Santih Om

Source: Koran Bali Post, Minggu Pon 12 Juni 2016
@gatrahindu

Friday, January 24, 2020

REKAM JEJAK GUNUNG BATUR

Om Swastyastu

Ketika visual adalah bukti paling nyata dari sejarah

Ketika alam merubah peradaban dalam satu kedipan mata

Ketika saat ini adalah waktu mengenal identitas diri

Dari puluhan ribu pulau terbentang dari Sabang sampai Merauke membentuk satu kesatuan NKRI. Ditengah ribuan pulau nusantara banyak tersimpan harta karun sejarah yang hingga kini telah terkubur dan hanya sedikit orang yang tertarik untuk mengamatinya. Diantara cincin api pegunungan sirkum pasifik, menunjukkan bahwa sejarah kita dekat dengan bencana alam. Tentu pembaca pernah mendengar cerita Atlantis, ada sebuah teori yang merujuk Nusantara sebagai Atlantis yang hilang. Banyak ahli berpendapat bahwa peradaban Atlantis hilang karena bencana besar. Begitu juga perkembangan sejarah kebudayaan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi alam pada masa itu. Salah satunya Indonesia termasuk negara rawan bencana gunung berapi. Diantara rangkaian pegunungan Sirkum Pasifik yang membentang di kepulauan Indonesia, terdapat salah satu gunung yang begitu indah. Gunung itu berada di pulau kecil, memiliki kaldera purba, salah satu kalderanya memiliki danau yang menyerupai bulan sabit. Di tengah-tengah kaldera purba, muncul gunung baru yang memiliki tiga kawah. Saat ini batuan lava yang menghitam mempercantik dan terlihat indah dari kejauhan. Ya, itu adalah Gunung Batur di Pulau Bali.
Gambar Analisis Gunung Batur Purba sebelum Meletus

Kaldera Batur merupakan salah satu kaldera terbaik di dunia (Bemmelen, 1961 dikutif dari Igan S. Sutawidjaja, 2009). Danau Batur menyimpan riwayat geologi mengerikan. Danau kaldera berbentuk bulan sabit ini terbentuk oleh serangkaian letusan dahsyat. Letusan itu turut membentuk seluruh lanskap Pulau Bali. Letusan mematikan itu terjadi sekitar 29.300 tahun lalu, diawali dengan muntahan 84 kilometer kubik ignimbrit (material vulkanik). Letusan dahsyat ini membentuk kaldera Batur pertama. Jejak material vulkanik yang dilontarkan dalam letusan itu tersebar hingga ke Ubud dan sisi utara Denpasar (sekitar 40 km dari Danau Batur) dengan ketebalan ignimbrit hingga 120 meter (Sutawijaya, 2000). Selama ribuan tahun, material vulkanik itu membatu dan kini ditambang masyarakat menjadi bahan bangunan. Letusan besar kedua terjadi 20.150 tahun lalu, memuntahkan 19 km3 ignimbrit dan membentuk kaldera kedua. Di dasar kaldera kedua ini kemudian tumbuh Gunung Api Batur. Jejak letusan besar kedua ini tersingkap sempurna di kompleks Pura Gunung Kawi (sekitar 21 km dari Danau Batur). Ignimbrit yang membentuk tebing hingga 20 meter itu dipahat menjadi kompleks untuk memuliakan roh leluhur, termasuk Raja Udayana. Pura ini dibangun sekitar abad ke-11. Indyo Pratomo, geolog pada Museum Geologi Bandung, menggambarkan kedahsyatan letusan kaldera kedua itu melalui singkapan material vulkanik di tebing sekitar Jalan Besakih-Panelokan, 10 kilometer dari kaldera Batur. Singkapan itu menunjukkan adanya serangkaian letusan sebelum terjadi letusan dahsyat yang melontarkan isi dapur magma ke udara hingga 40 km. Seperti dikutif dari sains kompas (Evolusi Batur Belum Selesai, 15 Desember 2011).
Gambar Analisis Gunung Batur pasca erupsi

Disisi lain, Kawasan Pegunungan Batur merupakan sebuah kawasan yang menjadi tulang punggung Bali (tulang giing Bali). Dikawasan ini memiliki cadangan air yang sangat besar. Air bawah tanah yang mengalir disebagian sawah di Bali diproduksi sebagian besar di wilayah pegunungan ini. Kawasan Pegunungan Batur memiliki peranan yang sangat penting dalam keberlanjutan kehidupan ekosistem di Pulau Bali. Selain pegunungan Batur, bersama-sama pegunungan lainnya yang terbentang dari barat sampai timur merupakan rangkaian pegunungan yang membentuk tulang punggung Pulau Bali. Rangkaian pegunungan tersebut merupakan wilayah konservasi yang dimaksudkan untuk penyediaan cadangan air Pulau Bali secara alami.

Peradaban di Kaki Gunung Batur

Sampai pada letusan besar terakhir Gunung Batur pada tanggal 3 Agustus 1926, sebelum bencana terakhir menimpa Desa Batur di kaki Gunung Batur. Disebelah Barat Daya terdapat sebuah pura besar sebagai pusat peradaban pada masa itu, yaitu Pura Batur yang saat ini dikenal dengan nama Pura Ulundanu Batur beserta desa intinya yaitu Desa Sinarata (sebelum perubahan administrasi desa oleh penguasa di Tahun 1460-1550 Masehi). 
Peta Kaldera Gunung Batur 1915 dibuat oleh Belanda

Pada Tahun 1612 Gunung Batur meletus dan menghujani Desa Sinarata dengan serpihan batu dan material gunung, sehingga menimbulkan kerusakan luar biasa bagi Desa Sinarata. Kemudian letusan selanjutnya pada Tahun 1700 Desa Sinarata kembali mengalami bencana, Desa Sinarata terkena semburan api dan hawa panas yang turun dari kawah Gunung Batur. Kembali pada Tahun 1784 Gunung Batur mengeluarkan lahar panas yang menimbulkan banyak rumah yang hanyut dan penduduk yang meninggal serta saat itu juga bersamaan muncul gunung kecil baru di Gunung Batur. Peradaban kebudayaan telah dibangun dari masa ke masa yang telah melalui proses persahabatan dengan bencana alam gunung berapi, bahkan kita telah merasakan 26 kali letusaannya dan itu hanya yang tercatat semenjak 1804 hingga 2005.

Berdasarkan data Peta Batur Tahun 1915 yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda pada saat itu, menunjukkan Pura Ulundanu Batur dengan desanya  yaitu Desa Batur memiliki kawasan permukiman terbesar jika dibandingkan dengan desa-desa sekitarnya.

Pura Ulundanu Batur pada mulanya bernama Pura Tampurhyang dan terletak di Desa Sinarata di lembah kaldera Batur tepat berada sebelah Barat Daya di kaki Gunung Batur. Pada masa pemerintahan Raja Dalem Batur Enggong atau lebih dikenal dengan sebutan nama Sri Waturenggong pada Tahun 1460-1550 Masehi, raja mengganti nama Pura Tampurhyang menjadi Pura Batur dan mengubah Desa Sinarata yang sebagai desa inti bersama desa-desa sekitarnya menjadi Desa Batur. Ada kemiripan dan korelasi makna penggunaan nama ‘Batur’ untuk seorang raja dan penamaan untuk sebuah tempat. Ditinjau dari sudut pandang kedekatan etimologinya, nama Batur berasal dari urat kata ‘bhattr’ yang diambil dari bahasa sansekerta. Bhattr sendiri merupakan urat kata dari ‘Bhattara’ yang artinya: yang melindungi, tuan, atau raja. Kata Bhatara secara utuh diartikan yaitu mereka yang sangat dihormati karena fungsinya sebagai pemimpin dan pelindung umat manusia (makna ini yang kiranya digunakan oleh Raja Waturenggong, dengan menggunakan nama Batur: penulis).  Sehingga nama Batur sendiri jika diartikan dan dikaitkan sebagai tempat pemujaan yang berarti sebuah tempat suci (pura) dimana Beliau berfungsi dan mengemban tugas sebagai pelindung dan pemberi kemakmuran seperti layaknya fungsi dan tugas seorang pemimpin atau raja untuk seluruh komponen kehidupan di dunia.

Dari penelitian Zollinger dan R. Van Eck seorang budayawan Belanda diketahui bahwa dalam Tahun 1850-an Pura Ulundanu Batur merupakan pura pemujaan yang besar yang terletak di lembah kaldera Gunung Batur. Penjelasan mengenai Pura Ulundanu Batur lebih detail dalam tulisan “Kenang-Kenangan dari India Timur Bali” ditulis oleh C. M Pleyte seorang ahli ilmu bumi, menuliskan pengalaman ke Pura Ulundanu Batur, yaitu sebagai pura besar dan keramat, penuh dengan meru dan bangunan kecil lainnya. Ditengah-tengah kompleks pura yang suci juga terdapat pemujaan orang Cina.
Untuk menggambarkan suasana desa seperti yang diungkapkan Zollinger, R. Van Eck, dan C. M Pleyte; kini kita dapat mengamati secara visual melalui foto-foto sejarah yang didokumentasikan dahulu. Berdasarkan hasil pengamatan foto sejarah Pura Ulundanu Batur serta desanya. Sebuah desa yang sudah tertata dengan rapih dan sudah relatif maju pada masanya. Sebuah jalan utama ditengah desa yang memisahkan perumahan penduduk bedanginan (sebelah timur) dan bedawanan (sebelah barat). Ditengah desa atau pusat desa terlihat berdiri bangunan wantilan (saat ini fungsinya seperti balai desa) yang berdiri megah sebagai pusat kegiatan sosial-budaya masyarakat. Dibagian terakhir terdapat sebuah pura yang menghadap ke arah utara-timur (kaje-kangin) dan tepat menghadap ke arah Gunung Batur. Terlihat juga candi dan meru tampak begitu megahnya dengan nilai kebudayaan yang begitu tinggi. Begitu juga tatanan ruang desa telah dibagi sedemikian rupa sehingga terdapat kluster-kluster yang memisahkan masyarakat berdasarkan status sosial dan tugasnya di dalam masyarakat. Sebuah karya arsitektur lansekap yang sangat mengagumkan. Kehidupan masyarakat yang didominasi kegiatan perdagangan dan jasa sebagai perekonomian primer masyarakat desa juga diabadikan sebagai bukti sejarah kehidupan sehari-hari masyarakat Batur. Ada banyak hal dan nilai lainnya belum dapat diinterpretasikan dalam menggambarkan kebudayaan masa itu yang pernah terukir di kaki Gunung Batur. Kerahasiannya sampai kini masih tertutup lava.

Desa Batur itu kini terkubur di hamparan lava hitam di Kaldera Batur, bahkan telah diabadikan menjadi Batur Global Geopark baru-baru ini oleh UNESCO. Namun sejarah tidak bisa dilupakan begitu saja, bencana letusan gunung yang terjadi pada Tanggal 3 Agustus 1926 yang menghancurkan 65.000 rumah dan 2500 pelinggih dan korban ribuan jiwa telah menjadi cerita sejarah turun temurun dikalangan masyarakat Batur. Pada saat itu memaksa masyarakat tersisa menyelamatkan beberapa benda-benda suci seperti Lingga Dewi Danu beserta gedong parahyangannya yang masih dapat kita temui di Pura Ulundanu Batur sekarang ini. Pengungsian besar-besaran terjadi kemudian berpindah ke Karanganyar yang kita kenal dengan Desa Batur hingga sekarang, dengan terlebih dahulu mengungsi ke Desa Adat Bayung Gede untuk sementara waktu.

Sejarah Sebagai Media Edukasi Masyarakat

Melalui pameran foto sejarah, yang digagas oleh komunitas “Spirit Indonesia” yang bergerak dan peduli dibidang sosial, kemanusiaan dan keagamaan; kita dapat menyaksikan kehidupan masyarakat serta kebudayaannya dahulu melalui bukti visual sejarah. Melalui bukti visual sejarah itu pikiran kita melakukan interpretasi mendalam akan peradaban yang pernah ada dimasa itu. Pameran foto sejarah tersebut telah dilaksanakan bertepatan pada pelaksanaan Karya Pujawali Ngusaba Kedasa Icaka 1937 Warsa 2015, acara diselenggarakan pada tanggal 2 s/d 16 April 2015 di Jaba Tengah Pura Ulundanu Batur. Tujuan penyelenggaraan pameran foto ini tidak lain adalah sebagai jembatan media informasi khususnya bagian kecil dari sejarah Bali, sejarah kebudayaan dan peradaban Indonesia pada umumnya; kepada masyarakat luas agar dikemudian hari masyarakat terus mampu menumbuhkembangkan kecintaannya terhadap budaya yang dimiliki.

Bertepatan dengan Ngusaba sasih Kedasa Tahun 2015 di Pura Ulundanu Batur, Desa Adat Batur, Kec. Kintamani,  Kab. Bangli-Bali; refleksi rekam jejak visual tersebut dihadirkan dalam sebuah pameran foto. Menghadirkan lebih dari 60 foto sejarah yang diperoleh dari koleksi museum di Belanda, diantaranya Tropen Museum Belanda (lihat koleksi lainnya di www.tropenmuseum.nl). Koleksi Geheugen van Nederland (lihat koleksi lainnya di www.geheugenvannederland.nl), koleksi Prenten kabinet universiteit Leiden Belanda, Museum Volkenkund Belanda, dan ada beberapa koleksi Museum Gunung Api Batur, Bali. Foto-foto yang dipamerkan berangka tahun 1800-an s/d tahun 1900-an.
Tidak terlepas dari masa penjajahan Belanda pada saat itu, sebagai salah satu desa yang besar di kaki Gunung Batur, membuat desa ini sering diabadikan dalam foto dimasanya. Oleh komunitas “Spirit Indonesia” mengumpulkan data visual jejak sejarah kemudian mengagas pameran foto ini yang disambut baik oleh Pura Ulundanu Batur dalam hal ini Jero Gede Batur yang memberikan ijin serta keleluasaan dalam menentukan isi foto yang dipamerkan serta menyediakan tempat di Jaba Tengah Pura Ulundanu Batur. Dengan tujuan untuk menginformasi dan mengedukasi masyarakat Batur, dan masyarakat Bali pada umumnya. Pura Ulundanu Batur sebagai salah satu pura sad khayangan di Bali menjadi tujuan tempat persembahyangan pada waktu acara karya ngusaba kedasa ini, ditujukan untuk masyarakat dapat menyaksikan pameran ini dan akan diajak untuk merasakan  kilas balik sejarah dalam nuansa religi sehingga  dapat  menambah kecintaannya terhadap budaya yang diwariskan oleh para leluhurnya.

Pameran ini baru pertama kali diadakan, foto dibagi menjadi beberapa kolase dan mengangkat lebih detail kehidupan masyarakat dalam sudut ekonomi, pertanian, budaya berkesenian, interaksi dengan orang asing, perkembangan dan kemampuan arsitektur, dan selebihnya lansekap Gunung Batur sebelum dan sesudah berpindah di Karanganyar, diperkuat dengan narasi yang bersumber pada sejarah Pura Ulundanu Batur. Banyak hal menarik yang ditampilkan dalam foto salah satunya adalah terdapat satu pelinggih yang selamat dari lahar Gunung Batur yaitu Pelinggih Dewi Danu, Dewi yang dipuja di pura Ulundanu Batur. Dengan rekam jejak yang sangat panjang sebagai bukti sejarah, panitia berharap kedepannya pameran ini dapat terus dilaksanakan ditahun mendatang sebagai media informasi dan mengumpulkan lebih banyak data visual dari berbagai pihak yang berhasil dirangkul dan berkerjasama untuk mengumpulkan data-data tersebut, karena salah satu bukti sejarah yang paling nyata adalah foto. Pengunjung bisa berimajinasi ketika melihat foto dimasanya.

Usaha pengumpulan informasi sejarah nusantara merupakan sebuah upaya yang harus dilakukan secara terus menerus. Mengingat banyaknya data sejarah kita berada di manca negara yang telah banyak didokumentasikan oleh turis maupun penjajah di masa-masa penjajahan. Untuk itu, diperlukan peran serta bersama, baik pemerintah, masyarakat maupun pemangku kepentingan lainnya bekerjasama untuk menghimpun kembali berbagai dokumentasi tentang sejarah yang tercecer bagi Indonesia.

Kegiatan pameran ini diharapkan akan sangat efektif dalam menyebarluaskan informasi khususnya kepedulian kita terhadap sejarah ibu pertiwi beserta kebudayaan yang telah berkembang dari masa ke masa untuk dapat diketahui oleh anak cucu kita nanti. Sehingga kecintaan dan kebanggan kita kepada budaya sendiri tidak terkikis oleh sang waktu. Pada akhirnya hari ini merupakan momentum bagi kita bersama untuk membangun dokumentasi yang baik untuk generasi mendatang.

Akhir Kata

Siapa yang tahu, dihamparan batuan lava Gunung Batur menghitam nan indah yang kita saksikan saat ini menyimpan banyak sejarah. Peradaban masyarakat pernah dibangun di area itu. Sebuah desa dengan permukiman terpadat saat itu sangat bersahabat dengan bencana gunung berapi. Pada akhirnya karena kehendak alam dengan sekejap mata, letusan Gunung Batur pada Tahun 1926 mengungsikan peradabannya dan merelokasi di tempat yang dipijak sekarang ini.
Gunung Batur saat ini

Akhir kata, benteng terbaik adalah bersahabat dengan alam. Mengenali dan mencintai alam secara utuh adalah benteng terbaik untuk bisa berhasil dalam kehidupan di tanah yang rentan terhadap bencana alam. Pesan penutup, “Evolusi Batur Belum Berakhir”.
Semoga bermanfaat

Om Santih Santih Santih Om
I Wayan Sudarma
*Disarikan dari: Berbagai Sumber.

Wednesday, January 22, 2020

Dari SAWA menuju SIWA

Di kejernihanMu, 
anakmu membasuh raga klesa ini

Di kedalamanMu, 
anakmu memurnikan pikiran 
Iiar ini

Di keheninganMu, 
anakmu membeningkan jiwa 
Agar Sawa ini layak menuju SiwaMu

Rahajeng Rahinan Suci Siwaratri 
Umat Sedharma
🙏 Jero Mangku Danu 

Wednesday, January 15, 2020

RASA BELAS KASIHAN & BIJAKSANA


Rahayu
Beberapa hari yang lalu suatu sore saat saya sedang duduk santai di pinggir pantai, saya melihat ada seorang anak kecil sedang bermaian air laut yang saat itu sedang pasang, yang penuh belas kasihan membawa seekor ikan yang didapatinya sedang menggelepar di tepi pantai. Diletakkannya ikan itu di antara lipatan selimut yang hangat dan dituangkannya kopi panas kekerongkongannya. Ia mengira ikan itu kedinginan. Tapi apa daya-kopi panas tersebut membunuh binatang yang malang itu. Sebetulnya ia dapat menyelamatkan ikan itu dengan melemparkannya kembali ke dalam laut yang sedang meluap. Ia tidak mempunyai kecerdasan untuk mengetahui apa yang harus dilakukan untuk menyatakan belas kasihannya.

Sahabat....Demikian pula kita barangkali memiliki rasa belas kasihan, maka kita mesti bertindak bijaksana, karena jika tidak-acapkali rasa belas kasihan itu berujung pada prasangka buruk, perselisihan, pertikaian, yang justru akan membuat kita menyesal dan menderita.
Semoga contoh kecil ini mengingatkan kita semua

Rahayu 
Oleh: I Wayan Sudarma
*Catatan pinggir Jalan

BELAJAR TERUS

BELAJAR TERUS

Om Swastyastu

“Belajar adalah hal terbaik dalam hidup, tapi kadang memang ada pembelajaran yang sulit kita terima. Tetap dan terus belajar adalah hal terbaik untuk menguji kebesaran hati kita”. (I Wayan Sudarma)


Hidup adalah proses pembelajaran.
Belajar berpuas hati, meskipun tidak cukup.
Belajar memahami, walaupun tidak setuju.
Belajar ikhlas, meskipun belum tulus.
Belajar bersabar, walaupun terbebani.
Belajar setia, meskipun banyak godaan.
Belajar memaafkan, walaupun masih sakit hati.

Hati itu seperti laut, bergelombang & berombak, selalu mengalami pasang & surut, sangat mudah terbawa arus.
Namun tetaplah belajar & berada di jalan yang benar. Dengan keyakinan teguh, setegar batu karang. Belajarlah menjadi lebih baik, untuk menjadi diri yang terbaik.

Semoga Cahaya Agung Hyang Widhi senantiasa menuntun kita untuk terus dapat belajar membelajarkan hidup di kehidupan ini.

Om Santih Santih Santih Om
Oleh: I Wayan Sudarma 

Wednesday, January 8, 2020

Mahavakya: PRAJNANAM BRAHMA

Mahavakya: "PRAJNANAM BRAHMA".

Om Swastyastu
Prajnanam Brahma (Aitareya Upanisad. 3.3) artinya: "Kesadaran adalah Brahman". Mahavakya ini untuk menjelaskan Tuhan sebagai Realitas Tertinggi.

Definisi terbaik dari Brahman yang memberikan ekspresi supra - esensial dari esensinya, dan tidak untuk menggambarkanNya dengan mengacu pada atribut disengaja atau dibuat, seperti sebagai Pencipta, dll.

Disini Brahman adalah yang akhirnya bertanggung jawab untuk semua kegiatan sensorik kosmologi ini, sebagai melihat, mendengar, dll, yaitu: "Kesadaran" (Prajnanam).

"Pikiran Kesadaran, yang tidak langsung melihat atau mendengar, adalah mustahil untuk memiliki kekuasaan sensorik tanpa tanpa Brahman. Oleh karena itu "Kesadaran Brahman harus dianggap sebagai makna akhir kegiatan totalitas mental dan fisik kita. Brahman adalah yang mutlak, mengisi semua ruang, lengkap dalam dirinya sendiri, yang tidak ada kedua, dan yang terus hadir dalam segala hal, dari pencipta turun hingga ke alam-alam terendah materi, IA menjadi segala hal, juga meresap di masing-masing dan setiap individu. Ini adalah arti dari Prajnanam Brahma dari Aitareya Upanisad ......😃🙏Manggalamastu.

Om Santih Santih Santih Om
♡ I Wayan Sudarma

PEMUJA BERHALA?

PEMUJA BERHALA ?

Om Swastyastu

Raja Mangal Singh berkata dengan angkuh kepada Swami Vivekananda. Saya tidak percaya pada penyembahan berhala. Lihat, saya tidak boleh menyembah kayu, tanah, batu, atau logam, seperti orang lain. Jadi bagaimanakah nasib saya selepas saya meninggal ? begitu Mangal Singh berujar.....

Swami Vivekananda menjawab, Saya rasa setiap manusia harus mengikuti agama yang diyakininya. Analoginya pada sebuah lukisan atau gambar itu. Kemudian, Vivekananda meminta pelayan untuk membawa gambar almarhum ayah Mangal Singh yang digantung di dinding rumah itu.

Vivekananda lalu mengambil gambar itu dan berkata kepada orang-orang yg berada saat itu, “Ludahi gambar ini. siapa saja boleh meludah ke gambar ini.” Semua orang yang berada di dalam ruangan itu menjadi terdiam dan memandang Swami dan Mangal Singh. Swami mengulangi perkataannya “Ludahi gambar ini”.

Lalu tuan rumahnya berteriak, “Apa yang Swamiji lakukan? Ini adalah gambar Raja kami. Kami tidak boleh melakukan hal seperti itu ” !!!!

Vivekananda pun menjelaskan, “ini cuma gambar saja. Cuma selembar kertas saja. Namun kalian enggan untuk meludah ke atasnya karena ia adalah bayangan Raja kalian. Gambar ini mengingatkan kalian tentang Raja kalian. Oleh karena itu, meskipun ia cuma satu objek yang tidak bernyawa, kalian memberinya penghormatan yang sama kalian berikan kepada Raja kalian.”

Kemudian Vivekananda berpaling kepada Mangal Singh dan berkata, “Lihatlah, tuanku; demikian juga penyembahan berhala. Berhala yang dibuat dari batu, tanah liat, logam atau kayu mengingatkan seorang pemuja tentang Tuhan Yang Maha Esa. Berhala itu bukan Tuhan tetapi ia mengingatkan pemujaan terhadap Tuhan. Tidak ada orang yang memuja berhala, mengatakan, “Wahai Batu, saya menyembah-Mu. Wahai Logam, tolong berkati saya................

Sama halnya seorang kepala negara menghormat kepada bendera negara, apakah bendera lebih tinggi kedudukannya dengan Presiden? tentu tidak, itu perlambang kebesaran sebuah negara .................

Kita tanpa sadar semua memuja melalui simbol.... Rahayu
🙏I Wayan Sudarma
Artikel saya terjemahkan dari: https://sbdsisaikat.wordpress.com/2015/02/08/meeting-between-swami-vivekananda-and-mangal-singh-alwar-real-meaning-of-idol-worship/