Friday, January 24, 2020

REKAM JEJAK GUNUNG BATUR

Om Swastyastu

Ketika visual adalah bukti paling nyata dari sejarah

Ketika alam merubah peradaban dalam satu kedipan mata

Ketika saat ini adalah waktu mengenal identitas diri

Dari puluhan ribu pulau terbentang dari Sabang sampai Merauke membentuk satu kesatuan NKRI. Ditengah ribuan pulau nusantara banyak tersimpan harta karun sejarah yang hingga kini telah terkubur dan hanya sedikit orang yang tertarik untuk mengamatinya. Diantara cincin api pegunungan sirkum pasifik, menunjukkan bahwa sejarah kita dekat dengan bencana alam. Tentu pembaca pernah mendengar cerita Atlantis, ada sebuah teori yang merujuk Nusantara sebagai Atlantis yang hilang. Banyak ahli berpendapat bahwa peradaban Atlantis hilang karena bencana besar. Begitu juga perkembangan sejarah kebudayaan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi alam pada masa itu. Salah satunya Indonesia termasuk negara rawan bencana gunung berapi. Diantara rangkaian pegunungan Sirkum Pasifik yang membentang di kepulauan Indonesia, terdapat salah satu gunung yang begitu indah. Gunung itu berada di pulau kecil, memiliki kaldera purba, salah satu kalderanya memiliki danau yang menyerupai bulan sabit. Di tengah-tengah kaldera purba, muncul gunung baru yang memiliki tiga kawah. Saat ini batuan lava yang menghitam mempercantik dan terlihat indah dari kejauhan. Ya, itu adalah Gunung Batur di Pulau Bali.
Gambar Analisis Gunung Batur Purba sebelum Meletus

Kaldera Batur merupakan salah satu kaldera terbaik di dunia (Bemmelen, 1961 dikutif dari Igan S. Sutawidjaja, 2009). Danau Batur menyimpan riwayat geologi mengerikan. Danau kaldera berbentuk bulan sabit ini terbentuk oleh serangkaian letusan dahsyat. Letusan itu turut membentuk seluruh lanskap Pulau Bali. Letusan mematikan itu terjadi sekitar 29.300 tahun lalu, diawali dengan muntahan 84 kilometer kubik ignimbrit (material vulkanik). Letusan dahsyat ini membentuk kaldera Batur pertama. Jejak material vulkanik yang dilontarkan dalam letusan itu tersebar hingga ke Ubud dan sisi utara Denpasar (sekitar 40 km dari Danau Batur) dengan ketebalan ignimbrit hingga 120 meter (Sutawijaya, 2000). Selama ribuan tahun, material vulkanik itu membatu dan kini ditambang masyarakat menjadi bahan bangunan. Letusan besar kedua terjadi 20.150 tahun lalu, memuntahkan 19 km3 ignimbrit dan membentuk kaldera kedua. Di dasar kaldera kedua ini kemudian tumbuh Gunung Api Batur. Jejak letusan besar kedua ini tersingkap sempurna di kompleks Pura Gunung Kawi (sekitar 21 km dari Danau Batur). Ignimbrit yang membentuk tebing hingga 20 meter itu dipahat menjadi kompleks untuk memuliakan roh leluhur, termasuk Raja Udayana. Pura ini dibangun sekitar abad ke-11. Indyo Pratomo, geolog pada Museum Geologi Bandung, menggambarkan kedahsyatan letusan kaldera kedua itu melalui singkapan material vulkanik di tebing sekitar Jalan Besakih-Panelokan, 10 kilometer dari kaldera Batur. Singkapan itu menunjukkan adanya serangkaian letusan sebelum terjadi letusan dahsyat yang melontarkan isi dapur magma ke udara hingga 40 km. Seperti dikutif dari sains kompas (Evolusi Batur Belum Selesai, 15 Desember 2011).
Gambar Analisis Gunung Batur pasca erupsi

Disisi lain, Kawasan Pegunungan Batur merupakan sebuah kawasan yang menjadi tulang punggung Bali (tulang giing Bali). Dikawasan ini memiliki cadangan air yang sangat besar. Air bawah tanah yang mengalir disebagian sawah di Bali diproduksi sebagian besar di wilayah pegunungan ini. Kawasan Pegunungan Batur memiliki peranan yang sangat penting dalam keberlanjutan kehidupan ekosistem di Pulau Bali. Selain pegunungan Batur, bersama-sama pegunungan lainnya yang terbentang dari barat sampai timur merupakan rangkaian pegunungan yang membentuk tulang punggung Pulau Bali. Rangkaian pegunungan tersebut merupakan wilayah konservasi yang dimaksudkan untuk penyediaan cadangan air Pulau Bali secara alami.

Peradaban di Kaki Gunung Batur

Sampai pada letusan besar terakhir Gunung Batur pada tanggal 3 Agustus 1926, sebelum bencana terakhir menimpa Desa Batur di kaki Gunung Batur. Disebelah Barat Daya terdapat sebuah pura besar sebagai pusat peradaban pada masa itu, yaitu Pura Batur yang saat ini dikenal dengan nama Pura Ulundanu Batur beserta desa intinya yaitu Desa Sinarata (sebelum perubahan administrasi desa oleh penguasa di Tahun 1460-1550 Masehi). 
Peta Kaldera Gunung Batur 1915 dibuat oleh Belanda

Pada Tahun 1612 Gunung Batur meletus dan menghujani Desa Sinarata dengan serpihan batu dan material gunung, sehingga menimbulkan kerusakan luar biasa bagi Desa Sinarata. Kemudian letusan selanjutnya pada Tahun 1700 Desa Sinarata kembali mengalami bencana, Desa Sinarata terkena semburan api dan hawa panas yang turun dari kawah Gunung Batur. Kembali pada Tahun 1784 Gunung Batur mengeluarkan lahar panas yang menimbulkan banyak rumah yang hanyut dan penduduk yang meninggal serta saat itu juga bersamaan muncul gunung kecil baru di Gunung Batur. Peradaban kebudayaan telah dibangun dari masa ke masa yang telah melalui proses persahabatan dengan bencana alam gunung berapi, bahkan kita telah merasakan 26 kali letusaannya dan itu hanya yang tercatat semenjak 1804 hingga 2005.

Berdasarkan data Peta Batur Tahun 1915 yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda pada saat itu, menunjukkan Pura Ulundanu Batur dengan desanya  yaitu Desa Batur memiliki kawasan permukiman terbesar jika dibandingkan dengan desa-desa sekitarnya.

Pura Ulundanu Batur pada mulanya bernama Pura Tampurhyang dan terletak di Desa Sinarata di lembah kaldera Batur tepat berada sebelah Barat Daya di kaki Gunung Batur. Pada masa pemerintahan Raja Dalem Batur Enggong atau lebih dikenal dengan sebutan nama Sri Waturenggong pada Tahun 1460-1550 Masehi, raja mengganti nama Pura Tampurhyang menjadi Pura Batur dan mengubah Desa Sinarata yang sebagai desa inti bersama desa-desa sekitarnya menjadi Desa Batur. Ada kemiripan dan korelasi makna penggunaan nama ‘Batur’ untuk seorang raja dan penamaan untuk sebuah tempat. Ditinjau dari sudut pandang kedekatan etimologinya, nama Batur berasal dari urat kata ‘bhattr’ yang diambil dari bahasa sansekerta. Bhattr sendiri merupakan urat kata dari ‘Bhattara’ yang artinya: yang melindungi, tuan, atau raja. Kata Bhatara secara utuh diartikan yaitu mereka yang sangat dihormati karena fungsinya sebagai pemimpin dan pelindung umat manusia (makna ini yang kiranya digunakan oleh Raja Waturenggong, dengan menggunakan nama Batur: penulis).  Sehingga nama Batur sendiri jika diartikan dan dikaitkan sebagai tempat pemujaan yang berarti sebuah tempat suci (pura) dimana Beliau berfungsi dan mengemban tugas sebagai pelindung dan pemberi kemakmuran seperti layaknya fungsi dan tugas seorang pemimpin atau raja untuk seluruh komponen kehidupan di dunia.

Dari penelitian Zollinger dan R. Van Eck seorang budayawan Belanda diketahui bahwa dalam Tahun 1850-an Pura Ulundanu Batur merupakan pura pemujaan yang besar yang terletak di lembah kaldera Gunung Batur. Penjelasan mengenai Pura Ulundanu Batur lebih detail dalam tulisan “Kenang-Kenangan dari India Timur Bali” ditulis oleh C. M Pleyte seorang ahli ilmu bumi, menuliskan pengalaman ke Pura Ulundanu Batur, yaitu sebagai pura besar dan keramat, penuh dengan meru dan bangunan kecil lainnya. Ditengah-tengah kompleks pura yang suci juga terdapat pemujaan orang Cina.
Untuk menggambarkan suasana desa seperti yang diungkapkan Zollinger, R. Van Eck, dan C. M Pleyte; kini kita dapat mengamati secara visual melalui foto-foto sejarah yang didokumentasikan dahulu. Berdasarkan hasil pengamatan foto sejarah Pura Ulundanu Batur serta desanya. Sebuah desa yang sudah tertata dengan rapih dan sudah relatif maju pada masanya. Sebuah jalan utama ditengah desa yang memisahkan perumahan penduduk bedanginan (sebelah timur) dan bedawanan (sebelah barat). Ditengah desa atau pusat desa terlihat berdiri bangunan wantilan (saat ini fungsinya seperti balai desa) yang berdiri megah sebagai pusat kegiatan sosial-budaya masyarakat. Dibagian terakhir terdapat sebuah pura yang menghadap ke arah utara-timur (kaje-kangin) dan tepat menghadap ke arah Gunung Batur. Terlihat juga candi dan meru tampak begitu megahnya dengan nilai kebudayaan yang begitu tinggi. Begitu juga tatanan ruang desa telah dibagi sedemikian rupa sehingga terdapat kluster-kluster yang memisahkan masyarakat berdasarkan status sosial dan tugasnya di dalam masyarakat. Sebuah karya arsitektur lansekap yang sangat mengagumkan. Kehidupan masyarakat yang didominasi kegiatan perdagangan dan jasa sebagai perekonomian primer masyarakat desa juga diabadikan sebagai bukti sejarah kehidupan sehari-hari masyarakat Batur. Ada banyak hal dan nilai lainnya belum dapat diinterpretasikan dalam menggambarkan kebudayaan masa itu yang pernah terukir di kaki Gunung Batur. Kerahasiannya sampai kini masih tertutup lava.

Desa Batur itu kini terkubur di hamparan lava hitam di Kaldera Batur, bahkan telah diabadikan menjadi Batur Global Geopark baru-baru ini oleh UNESCO. Namun sejarah tidak bisa dilupakan begitu saja, bencana letusan gunung yang terjadi pada Tanggal 3 Agustus 1926 yang menghancurkan 65.000 rumah dan 2500 pelinggih dan korban ribuan jiwa telah menjadi cerita sejarah turun temurun dikalangan masyarakat Batur. Pada saat itu memaksa masyarakat tersisa menyelamatkan beberapa benda-benda suci seperti Lingga Dewi Danu beserta gedong parahyangannya yang masih dapat kita temui di Pura Ulundanu Batur sekarang ini. Pengungsian besar-besaran terjadi kemudian berpindah ke Karanganyar yang kita kenal dengan Desa Batur hingga sekarang, dengan terlebih dahulu mengungsi ke Desa Adat Bayung Gede untuk sementara waktu.

Sejarah Sebagai Media Edukasi Masyarakat

Melalui pameran foto sejarah, yang digagas oleh komunitas “Spirit Indonesia” yang bergerak dan peduli dibidang sosial, kemanusiaan dan keagamaan; kita dapat menyaksikan kehidupan masyarakat serta kebudayaannya dahulu melalui bukti visual sejarah. Melalui bukti visual sejarah itu pikiran kita melakukan interpretasi mendalam akan peradaban yang pernah ada dimasa itu. Pameran foto sejarah tersebut telah dilaksanakan bertepatan pada pelaksanaan Karya Pujawali Ngusaba Kedasa Icaka 1937 Warsa 2015, acara diselenggarakan pada tanggal 2 s/d 16 April 2015 di Jaba Tengah Pura Ulundanu Batur. Tujuan penyelenggaraan pameran foto ini tidak lain adalah sebagai jembatan media informasi khususnya bagian kecil dari sejarah Bali, sejarah kebudayaan dan peradaban Indonesia pada umumnya; kepada masyarakat luas agar dikemudian hari masyarakat terus mampu menumbuhkembangkan kecintaannya terhadap budaya yang dimiliki.

Bertepatan dengan Ngusaba sasih Kedasa Tahun 2015 di Pura Ulundanu Batur, Desa Adat Batur, Kec. Kintamani,  Kab. Bangli-Bali; refleksi rekam jejak visual tersebut dihadirkan dalam sebuah pameran foto. Menghadirkan lebih dari 60 foto sejarah yang diperoleh dari koleksi museum di Belanda, diantaranya Tropen Museum Belanda (lihat koleksi lainnya di www.tropenmuseum.nl). Koleksi Geheugen van Nederland (lihat koleksi lainnya di www.geheugenvannederland.nl), koleksi Prenten kabinet universiteit Leiden Belanda, Museum Volkenkund Belanda, dan ada beberapa koleksi Museum Gunung Api Batur, Bali. Foto-foto yang dipamerkan berangka tahun 1800-an s/d tahun 1900-an.
Tidak terlepas dari masa penjajahan Belanda pada saat itu, sebagai salah satu desa yang besar di kaki Gunung Batur, membuat desa ini sering diabadikan dalam foto dimasanya. Oleh komunitas “Spirit Indonesia” mengumpulkan data visual jejak sejarah kemudian mengagas pameran foto ini yang disambut baik oleh Pura Ulundanu Batur dalam hal ini Jero Gede Batur yang memberikan ijin serta keleluasaan dalam menentukan isi foto yang dipamerkan serta menyediakan tempat di Jaba Tengah Pura Ulundanu Batur. Dengan tujuan untuk menginformasi dan mengedukasi masyarakat Batur, dan masyarakat Bali pada umumnya. Pura Ulundanu Batur sebagai salah satu pura sad khayangan di Bali menjadi tujuan tempat persembahyangan pada waktu acara karya ngusaba kedasa ini, ditujukan untuk masyarakat dapat menyaksikan pameran ini dan akan diajak untuk merasakan  kilas balik sejarah dalam nuansa religi sehingga  dapat  menambah kecintaannya terhadap budaya yang diwariskan oleh para leluhurnya.

Pameran ini baru pertama kali diadakan, foto dibagi menjadi beberapa kolase dan mengangkat lebih detail kehidupan masyarakat dalam sudut ekonomi, pertanian, budaya berkesenian, interaksi dengan orang asing, perkembangan dan kemampuan arsitektur, dan selebihnya lansekap Gunung Batur sebelum dan sesudah berpindah di Karanganyar, diperkuat dengan narasi yang bersumber pada sejarah Pura Ulundanu Batur. Banyak hal menarik yang ditampilkan dalam foto salah satunya adalah terdapat satu pelinggih yang selamat dari lahar Gunung Batur yaitu Pelinggih Dewi Danu, Dewi yang dipuja di pura Ulundanu Batur. Dengan rekam jejak yang sangat panjang sebagai bukti sejarah, panitia berharap kedepannya pameran ini dapat terus dilaksanakan ditahun mendatang sebagai media informasi dan mengumpulkan lebih banyak data visual dari berbagai pihak yang berhasil dirangkul dan berkerjasama untuk mengumpulkan data-data tersebut, karena salah satu bukti sejarah yang paling nyata adalah foto. Pengunjung bisa berimajinasi ketika melihat foto dimasanya.

Usaha pengumpulan informasi sejarah nusantara merupakan sebuah upaya yang harus dilakukan secara terus menerus. Mengingat banyaknya data sejarah kita berada di manca negara yang telah banyak didokumentasikan oleh turis maupun penjajah di masa-masa penjajahan. Untuk itu, diperlukan peran serta bersama, baik pemerintah, masyarakat maupun pemangku kepentingan lainnya bekerjasama untuk menghimpun kembali berbagai dokumentasi tentang sejarah yang tercecer bagi Indonesia.

Kegiatan pameran ini diharapkan akan sangat efektif dalam menyebarluaskan informasi khususnya kepedulian kita terhadap sejarah ibu pertiwi beserta kebudayaan yang telah berkembang dari masa ke masa untuk dapat diketahui oleh anak cucu kita nanti. Sehingga kecintaan dan kebanggan kita kepada budaya sendiri tidak terkikis oleh sang waktu. Pada akhirnya hari ini merupakan momentum bagi kita bersama untuk membangun dokumentasi yang baik untuk generasi mendatang.

Akhir Kata

Siapa yang tahu, dihamparan batuan lava Gunung Batur menghitam nan indah yang kita saksikan saat ini menyimpan banyak sejarah. Peradaban masyarakat pernah dibangun di area itu. Sebuah desa dengan permukiman terpadat saat itu sangat bersahabat dengan bencana gunung berapi. Pada akhirnya karena kehendak alam dengan sekejap mata, letusan Gunung Batur pada Tahun 1926 mengungsikan peradabannya dan merelokasi di tempat yang dipijak sekarang ini.
Gunung Batur saat ini

Akhir kata, benteng terbaik adalah bersahabat dengan alam. Mengenali dan mencintai alam secara utuh adalah benteng terbaik untuk bisa berhasil dalam kehidupan di tanah yang rentan terhadap bencana alam. Pesan penutup, “Evolusi Batur Belum Berakhir”.
Semoga bermanfaat

Om Santih Santih Santih Om
I Wayan Sudarma
*Disarikan dari: Berbagai Sumber.

No comments: