Showing posts with label Filsafat. Show all posts
Showing posts with label Filsafat. Show all posts

Saturday, September 8, 2012

SANGHYANG WIDHI (Personal & Impersonal Godhead)

Salam Kasih
Oleh: I W. Sudarma, S.Ag, M.Si

Om Swastyastu

Untuk memahami lebih jauh tentang simbol-simbol dalam agama Hindu terlebih dahulu akan kami uraikan tentang hakekat ketuhanan dalam agama Hindu. Hakekat ketuhanan atau teologi seperti pula halnya dengan ajaran agama Hindu pada umumnya, yang menjadi sumber utama adalah kitab suci Veda, yang merupakan himpunan sabda Tuhan Yang Maha Esa atau wahyu-Nya yang diterima oleh para mahaṛṣi di masa yag silam. Bila kita mengkaji kitab suci Veda maupun praktek keagamaan di India dan Indonesia (Bali) maka Tuhan Yang Maha Esa disebut dengan berbagai nama. Berbagai wujud digambarkan untuk Yang Maha Esa itu, walaupun sesungguhnya Tuhan Yang Maha Esa tidak berwujud, dan di dalam bahasa bahasa Sanskerta disebut Acintyarūpa yang artinya: tidak berwujud dalam alam pikiran manusia, dan dalam bahasa Jawa Kuno dinyatakan: "Tan kagrahita dening manah mwang indriya" (tidak terjangkau oleh akal dan indriya manusia). Bila Tuhan Yang Maha Esa tidak berwujud (Impersonal God), timbul pertanyaan mengapa dalam sistem pemujaan kita membuat bangunan suci, arca, pratima, parlingga, mempersembahkan bhusana, sesajen dan lain-lain. Bukankah semua bentuk perwujudan maupun persembahan itu ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berwujud dalam alam pikiran manusia? Sebelum kita lebih jauh membahas tentang Tuhan Yang Maha Esa, marilah kita tinjau difinisi atau pengertian tentang Tuhan Yang Maha Esa yang dikemukakan oleh mahaṛṣi Vyāsa yang dikenal juga dengan nama Badarāyaṇa dalam bukunya: Brahmāsūtra, Vedantasāra atau Vedāntasāra, sebagai berikut: Janmādyasya yataḥ (I.1.2), yang oleh Svami Śivānanda diterjemahkan sebagai berikut: Brahman adalah asal muasal dari alam semesta dan segala isinya (janmādi = asal, awal, penjelmaan dan sebagainya, asya = dunia/alam semesta ini, yataḥ = dari padanya). Jadi menurut sūtra (kalimat singkat dan padat) ini, Tuhan Yang Maha Esa yang disebut Brahman ini adalah merupakan asal mula segalanya. Penjelasan ini sesuai dengan bunyi mantram Puruṣa Sūkta Ṛgveda, berikut:

Puruṣa evedaṁ sarvaṁ yadbhūtaṁ yacca bhavyam, utāmātatvasesā no yadannenati rohati - Tuhan sebagai wujud kesadaran agung merupakan asal dari segala yang telah dan yang akan ada. Ia adalah raja di alam yang abadi dan juga di bumi ini yang hidup dan berkembang dengan makanan. Ṛgveda X.90.2.

Demikian pula, Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber segalanya dan sumber kebahagiaan hidup, dinyatakan pula di dalam mantra Veda berikut:

Yo bhūtaṁ ca bhavyam ca sarvaṁ yaś cadhitisthati, svar yasyaca kevalam tasmai jyesthāya Brahmāne namaḥ - Tuhan Yang Maha Esa hadir dimana-mana, asal dari segalanya yang telah ada dan yang akan ada.Ia penuh dengan rakhmat dan kebahagiaan. Kami memuja Engkau, Tuhan Yang Maha Tinggi. Atharvaveda X.8.1.

Selanjutnya dalam Narāyaṇa Upaniṣad 2, yang kemudian dijadikan mantram bait ke-2 dari mantram Tri Sandhyā, juga menjelaskan tentang Tuhan Yang Maha Esa sebagai asal segalanya, maha suci tidak ternoda, sebagai berikut:

Narāyaṇa evedaṁ sarvaṁ yad bhūtaṁ yacca bhavyam, niskalaṅko nirañjano nirvikalpo

nirākhyātaḥ suddho devo eko Narāyaṇo na dvityo'sti kaścit - Ya Tuhan Yang Maha Esa, dari Engkaulah semua ini berasal dan kembali yang telah ada dan yang akan ada di alam raya ini. Hyang Widhi Maha Gaib, mengatasi segala kegelapan, tak termusnahkan, maha cemerlang, maha suci (tidak ternoda), tidak terucapkan, tiada duanya). Narāyaṇa Upaniṣad 2.

Difinisi atau pengertian tentang Tuhan Yang Maha Esa tersebut di atas tentu sangat terbatas, oleh karena itu kitab-kitab Upaniṣad menyatakan difinisi atau pengertian apapun yang ditujukan untuk memberikan batasan kepada Tuhan Yang Tidak Terbatas itu tidaklah menjangkau kebesaran-Nya, oleh karena itu kitab-kitab Upaniṣad menyatakan tidak ada difinisi yang tepat untuk-Nya, NETI-NETI (Na + iti, na+iti), BUKAN INI, BUKAN ITUi. Bila tidak ada difinisi yang tepat untuk-Nya, bagaimanakah kita dapat memuja-Nya? Untuk memahami Tuhan Yang Maha Esa, maka tidak ada jalan lain kecuali mendalami ajaran agama, memohon penjelasan para guru yang ahli di bidangnya yang mampu merealisasikan ajaran ketuhanan dalam kehidupan pribadinya. Tentang kitab suci atau sastra agama sebagai sumber atau ajaran untuk memahami Tuhan Yang Maha Esa, kitab Brahmā Sūtra, secara tegas menyatakan: Śāstrayonitvat (I.1.2), yang artinya: kitab suci/ sastra agama adalah sumber untruk memahami-Nya.

Kembali pada permasalahan yang dikemukakan pada awal tulisan ini, apakah Sang Hyang Widhi sama dengan Śiva atau Brahmā? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka marilah kita kaji berdasarkan tinjauan etimologis maupun leksikal sebagai berikut: Kata Widhi (Sanskerta Vidhi) berasal dari urat kata Vidh yang artinya: sebuah aturan, peraturan atau kekuasaan, rumus, perintah, keputusan, ordonansi (peraturan setempat), undang-undang, ajaran, hukum, perintah, petunjuk (teristimewa petunjuk tentang persembahan sesuai kitab-kitab Brāhmṇa, kitab suci Veda, yang menurut Sāyaṇa terdiri dari 2 bagian, yaitu (1). Vidhi, yaitu petunjuk atau aturan seperti "yajate", ia yang mempersembahkan upacara Yajña, "kuryāt", ia yang menyajikan, dan (2) Artha-vāda, penjelasan tentang asal/makna upacara dan penggunaan mantra, yang dipadukan dengan legenda-legenda dan ilustrasi-ilustrasi) seperti disebutkan dalam Gṛhyaśrautasūtra, Manusmṛti, Mahābhārata dan lain-lain, aturan tata bahasa atau perintah, Pāṇini 1.I.57; 72, petunjuk pelaksanaan upacara atau ritual, dan lain-lain. Di dalam Mahābhārata dan kitab-kitab Purāṇa juga dalam kitab-kitab Kāvya lainnya, Vidhi disebut sebagai Sang Pencipta (creator), juga dalam Pañcarātra. Vidhi adalah salah satu nama dari Brahma sebagai pencipta atau penguasa hukum. Vidhi juga berarti hukum atau pengendali dan lain-lain. Di dalam kitab-kitab Purāṇa, Vidhi adalah nama lain dari Brahma sebagai telah disebutkan di atas, yakni sebagai Sang Pencipta. Di dalam kitab Amarakoṣa dijelaskan satu śloka tentang nama-nama Brahma di antaranya adalah Vidhi, sebagai berikut:

"Dhātābjayonir druhino Virañciḥ kamalāsanaḥ, Srṣṭhā prajāpatir vedhā Vidhātḥ viśvasṛtvidhiḥ- Brahma adalah Dhātā (yang memegang atau menampilkan segala sesuatu), Abjayoni (yang lahir dari bunga teratai, Druhiṇa (yang membunuh raksasa), Virañci (yang menciptakan), Kamalāsana (yang duduk di atas bunga teratai), Srsthā (yang menciptakan), Prajāpati (raja dari semua mahluk/ masyarakat), Vedhā (ia yang menciptakan), Vidhātā (yang menjadikan segala sesuatu), Viśvasṛt (ia yang menciptakan dunia) dan Vidhi berarti yang menciptakan atau yang menentukan, juga berarti yang mengadilinya.

Di Bali kita temukan lontar-lontar susastra Jawa Kuno di antaranya Ādiparwa (109), Udyogaparwa (5; 103), Uttarakaṇḍa (130), Sārasamuccaya (505.1), Wṛhaspatitattwa (22.8), Rāmāyana (7.22; 17.45), Ghatotkacāśraya (34.5), Sumanasāntaka (7.3), Sutasoma 11.7; 12.2), Ārjunawijaya (2.1; 68.4), Tantri Kāmaṇḍaka (62.19), Kidung Harsa Wijaya (1.6; 1.11; 2.121), Kidung Suṇḍa (3.2), Ranggalawe (8.33), Malat (7.109), Tantri Kadiri (2.124) dan Sorāndaka (1.14) yang secara jelas menyatakan kata Widhi (sanskerta Vidhi) berarti: "aturan atau perintah tertinggi, tertib alam semesta, nasib (takdir), penguasa tertinggi (Sang Hyang Widhi), pencipta (alam semesta)" dan sejenisnya.

Di samping itu kita mewarisi pula beberapa lontar bernama Vidhi Panpiñcatan yang berisi keputusan-keputusan hukum/pengadilan semacam yurisprudensi, juga lontar Widhiśāstra yang berarti pengetahuan tentang Widhi (teologi), dan lain-lain. Dengan demikian Sang Hyang Widhi adalah Tuhan Yang Maha Esa sebagai Pencipta alam semesta. Tuhan sebagai Widhi disebut bersthana di Luhuring Ākāśa, yakni di atas angkasa, nun jauh di sana. Dalam pengertian ini, tentunya Tuhan Yang Maha Esa digambarkan tidak berwujud (Impersonal God). Kapan Sang Hyang Widhi dimohon turun dan hadir untuk menerima persembahan, maka saat itu juga Beliau telah terwujud dalam alam pikiran. Wujud-wujud utama-Nya itu disebut Tri Mūrti (Brahmā, Viṣṇu dan Śiva).

Kata Śiva berarti: yang memberikan keberuntungan (kerahayuan), yang baik hati, ramah, suka memaafkan, menyenangkan, memberi banyak harapan, yang tenang, membahagiakan dan sejenisnya. Sang Hyang Śiva di dalam menggerakkan hukum kemahakuasaan-Nya didukung oleh śaktinya Durgā atau Parvatῑ. Hyang Śiva adalah Tuhan Yang Maha Esa sebagai pelebur kembali (aspek pralaya atau pralina dari alam semesta dan segala isinya). Śiva yang sangat ditakuti disebut Rudra (yang suaranya menggelegar dan menakutkan). Śiva yang belum kena pengaruh Maya (berbagai sifat seperti Guna, Śakti dan Svabhava) disebut Paramaśiva , dalam keadaan ini, disebut juga Acintyarūpa atau Niskala dan Tidak berwujud (Impersonal God).

Kata Brahman (adalah bentuk neutrum dari Brahmā) yang berarti: yang tumbuh, berkembang, berevolusi, yang bertambah besar, yang meluap dari diri-Nya, dan sejenisnya. Ciptaan-Nya muncul dari diri-Nya, seperti halnya Veda yang muncul dari nafas-Nya. Kemahakuasaan Hyang Brahmā sebagai pencipta jagat raya didukung oleh śakti-Nya yang disebut Sarasvatῑ, dewi pengetahuan dan kebijaksanaan yang memberikan inspirasi untuk kebajikan umat manusia. Bila disebut sebagai Brahmā, maka Ia adalah manifestasi utama Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta, dengan demikian Brahmā saat ini adalah Tuhan Yang Berperibadi (Personal God). Brahmā digambarkan berwajah empat (Caturmukha) dan lain-lain. Dengan demikian Hyang Widhi adalah Brahman, Tuhan Yang Tidak Berwujud dalam alam pikiran manusia (Impersonal God) sedang disebut Brahmā, ketika Ia telah mengambil wujud dalam menciptakan alam semesta beserta segala isinya.

Manifestasi utama-Nya lainnya adalah Viṣṇu. Viṣṇu manifestasi Tuhan Yang Maha Esa memelihara jagat raya dan segala isinya. Ia yang menghidupkan segalanya. Kata Viṣṇu berarti: pekerja, yang meresapi segalanya dan sejenisnya (Ibid:999). Kemahakuasaan Sang Hyang Viṣṇu dalam memelihara alam semesta beserta segala isinya didukung oleh úaktinya yang bernama Śrῑ dan Lakṣmῑ.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, jelaslah bagi kita bahwa Hyang Widhi Wasa adalah Tuhan Yang Maha Esa, Ia disebut juga Brahman dan berbagai nama lainnya. Bila Tuhan Yang Maha Esa dipuja dengan aneka persembahan, maka Ia dipuja sebagai Tuhan Yang Personal, yang berperibadi.

Untuk memahami lebih jauh hakekat ketuhanan dalam agama Hindu, telebih dahulu akan diuraikan tentang ketuhanan dalam kitab suci Veda. Di dalam kitab suci Veda, Tuhan Yang Maha Esa dan para Deva disebut deva atau devatā. Kata ini berarti: cahaya, berkilauan, sinar gemerlapan yang semuanya itu ditujukan kepada manifestasi-Nya, juga ditujukan kepada matahari atau langit, termasuk api, petir atau fajar. Deva juga berarti mahluk sorga atau yang sangat mulia.

Demikianlah, Sang Hyang Widhi adalah Tuhan Yang Ācinthyarūpa (impersonal God) dan ketika dipuja oleh umat diwujudkan sebagai Sang Hyang Brahma, Viṣṇu atau Śiva dan kepada-Nya dengan jalan Bhakti dipersembahkan aneka persembahan untuk memohon karunia-Nya. Dan semoga tidak muncul berbagai bentuk egoisme, dengan mengatakan Tuhanku lebih baik, yang lain lebih rendah.

Om Santih Santih Santih Om

Monday, December 19, 2011

Pokok-Pokok Ajaran Darsana: Nyaya

Salam Kasih
Om Swastyastu

Pendiri dan sumber ajarannya

Pendiri ajaran ini adalah Maharsi Gautama ( Gotama) yang menulis Nyayasutra, terdiri dari dari 5 Adhyaya (bab)dan dibagi kedalam 5 'pada' (bagian). Pada tahun ( 400 Masehi kitab Nyayasutra ini di komentari` oleh Watsyayana. Lama kemudian muncul kitan Nyaya bernama Tarka samgraha oleh Annam Bhatta dan kitab Siddhanta Muktawadi oleh Wiswanatha Pancanana. Sistem Nyaya membicarakan bagian umum filsafat dan metoda untuk mengadakan penelitian yang kritis. Tiap ilmu sebenarnya suatu Nyaya.Kata Nyaya artinya : sesuatu penelitian yang analitis dan kritis.

Sistem ini barangkali timbul karena adanya pembicaraan dan perdebatan diantara para akhli pikir didalam mereka berusah menacari arti yang benar dari sloka-sloka Veda. Demikianlah timbul patokan-patokan bagaiman mengadakan penelitian yang benar. Sistem filsafat Nyaya sering juga disebut Tarkawada atau ilmu berdebat.

Sifat ajarannya

Ajaran filsafat Nyaya disebut bersifat realistik, karena mengakui benda-benda sebagai suatu kenyataan. Ajaran yang realistik ini mendasarkan pada ilmu logika, sistematis, kronologis dan analitis.

Catur pramana

Filsafat ini dalam memecahkan ilmu pengetahuan mempergunakan 4 metoda pemecahan (Catur Pramana) sebagai berikut :

1).Pratyaksa, yaitu pengamatan langsung melalui Panca Indra. Suatu obyek diamati melalui 2 jenis Pratyaksa yaitu :

(a) Bahya, pengetahuan yang diperoleh dari suatu obyek melalui Panca Indra,seperti mata,telingan dan lain sebagainya.

(b) Antara, pengetahuan yang memperoleh melalui pikiran atau Manas.

2).Anumana. Pengtahuan yang diperoleh dari suatu obyek dengan menarik pengertian dari tanda-tanda yang diperoleh (linga) yang merupakan suatu kesimpulan dari obyek yang ditetukan, disenbut juga Sadya, hubungan kedua hal tersebut diatas disebut dengan nama Wyapi. Dalam menarik suatu kesimpulan, dipergunakan tiga rumusan yaitu :

(a). Paksa : kesimpulan yang ditarik dengan sangat cepat dalam suatu obyek sehingga memperoleh suatu pengertian yang cepat dan tepat.

(b). Sadya : kesimpulan yang diperoleh melalui masa panjang terhadap suatu obyek.

(c). Linga atau Sadhana : kesimpulan yang diperoleh antara Paksa dengan Sadhya.

Suatu contoh yang dapat dipakai dalam Anumana adalah : Seperti gunung berapi, hal itu dapat diketahui dari asap yang keluar dari puncak gunung, dari asap itu ditarik kesimpulan pasti gunung tersebut gunung berapi.

3). Upamana : Ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui perbandingan, misalnya harimau dibandingkan dengan kucing ( harimau lebih besar, kucing bentuknya lebih kecil )

4). Sabda : Pengetahuan yang diperoleh dengan mendengarkan melalui penjelasan dari sumber yang patut dipercaya.

Pokok-pokok ajaran Nyaya

Obyek pengetahuan filsafat Nyaya adalah mengenai :

(1). Atman

(2). Tentang tubuh atau badan

(3). Panca Indra dengan Obyeknya

(4). Budhi (pengamatan)

(5). Manas ( Pikiran)

(6). Prawrti (pikiran)

(7). Dosa ( perbuatan yang tidak baik)

(8). Pratyabhawa (tentang kelahiran kembali)

(9). Phala ( buah perbuatan)

(10). Dukha (penderitaan)

(11). Apawarga (bebas dari penderitaan)

Dari manas timbullah Mithya Jnana, yaitu kebodohan terhadap kebenaran , Raga, Dwesa dan Moha yang memaksa badan berkerja dengan konsekwensinya. Aparaga berarti terlepas sama sekali dari kesengsaraan yang ditimbulkan oleh Tatwa Jnana. Banyak orang berpendapat bahwa Apawarga adalah ciri kebahagiaan sejati. Tetapi pendapat sebenarnya salah karena tidak akan ada kesenangan tanpa kesusahan , seperti juga tidak ada sinar tanpa bayang-bayang. Apawarga hanyalah pembebasan darisakit /penderitaan dan bukan kebahagiaan sama sekali.

Tentang adanya Tuhan, golongan Naiyayikas mengemukakan dengan beberapa bukti. Tuhan adalah maha pencipta, pemelihara dan pemralina alam semesta( Brahma, Wisnu, Siva).

Om Santih Santih Santih Om

serve with love by: I W. Sudarma

SANGHYANG WIDHI (Personal & Impersonal Godhead)

Salam Kasih
Oleh: I W. Sudarma

Om Swastyastu

Untuk memahami lebih jauh tentang simbol-simbol dalam agama Hindu terlebih dahulu akan kami uraikan tentang hakekat ketuhanan dalam agama Hindu. Hakekat ketuhanan atau teologi seperti pula halnya dengan ajaran agama Hindu pada umumnya, yang menjadi sumber utama adalah kitab suci Veda, yang merupakan himpunan sabda Tuhan Yang Maha Esa atau wahyu-Nya yang diterima oleh para mahaṛṣi di masa yag silam. Bila kita mengkaji kitab suci Veda maupun praktek keagamaan di India dan Indonesia (Bali) maka Tuhan Yang Maha Esa disebut dengan berbagai nama. Berbagai wujud digambarkan untuk Yang Maha Esa itu, walaupun sesungguhnya Tuhan Yang Maha Esa tidak berwujud, dan di dalam bahasa bahasa Sanskerta disebut Acintyarūpa yang artinya: tidak berwujud dalam alam pikiran manusia, dan dalam bahasa Jawa Kuno dinyatakan: "Tan kagrahita dening manah mwang indriya" (tidak terjangkau oleh akal dan indriya manusia). Bila Tuhan Yang Maha Esa tidak berwujud (Impersonal God), timbul pertanyaan mengapa dalam sistem pemujaan kita membuat bangunan suci, arca, pratima, parlingga, mempersembahkan bhusana, sesajen dan lain-lain. Bukankah semua bentuk perwujudan maupun persembahan itu ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berwujud dalam alam pikiran manusia? Sebelum kita lebih jauh membahas tentang Tuhan Yang Maha Esa, marilah kita tinjau difinisi atau pengertian tentang Tuhan Yang Maha Esa yang dikemukakan oleh mahaṛṣi Vyāsa yang dikenal juga dengan nama Badarāyaṇa dalam bukunya: Brahmāsūtra, Vedantasāra atau Vedāntasāra, sebagai berikut: Janmādyasya yataḥ (I.1.2), yang oleh Svami Śivānanda diterjemahkan sebagai berikut: Brahman adalah asal muasal dari alam semesta dan segala isinya (janmādi = asal, awal, penjelmaan dan sebagainya, asya = dunia/alam semesta ini, yataḥ = dari padanya). Jadi menurut sūtra (kalimat singkat dan padat) ini, Tuhan Yang Maha Esa yang disebut Brahman ini adalah merupakan asal mula segalanya. Penjelasan ini sesuai dengan bunyi mantram Puruṣa Sūkta Ṛgveda, berikut:

Puruṣa evedaṁ sarvaṁ yadbhūtaṁ yacca bhavyam, utāmātatvasesā no yadannenati rohati - Tuhan sebagai wujud kesadaran agung merupakan asal dari segala yang telah dan yang akan ada. Ia adalah raja di alam yang abadi dan juga di bumi ini yang hidup dan berkembang dengan makanan. Ṛgveda X.90.2.

Demikian pula, Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber segalanya dan sumber kebahagiaan hidup, dinyatakan pula di dalam mantra Veda berikut:

Yo bhūtaṁ ca bhavyam ca sarvaṁ yaś cadhitisthati, svar yasyaca kevalam tasmai jyesthāya Brahmāne namaḥ - Tuhan Yang Maha Esa hadir dimana-mana, asal dari segalanya yang telah ada dan yang akan ada.Ia penuh dengan rakhmat dan kebahagiaan. Kami memuja Engkau, Tuhan Yang Maha Tinggi. Atharvaveda X.8.1.

Selanjutnya dalam Narāyaṇa Upaniṣad 2, yang kemudian dijadikan mantram bait ke-2 dari mantram Tri Sandhyā, juga menjelaskan tentang Tuhan Yang Maha Esa sebagai asal segalanya, maha suci tidak ternoda, sebagai berikut:

Narāyaṇa evedaṁ sarvaṁ yad bhūtaṁ yacca bhavyam, niskalaṅko nirañjano nirvikalpo

nirākhyātaḥ suddho devo eko Narāyaṇo na dvityo'sti kaścit - Ya Tuhan Yang Maha Esa, dari Engkaulah semua ini berasal dan kembali yang telah ada dan yang akan ada di alam raya ini. Hyang Widhi Maha Gaib, mengatasi segala kegelapan, tak termusnahkan, maha cemerlang, maha suci (tidak ternoda), tidak terucapkan, tiada duanya). Narāyaṇa Upaniṣad 2.

Difinisi atau pengertian tentang Tuhan Yang Maha Esa tersebut di atas tentu sangat terbatas, oleh karena itu kitab-kitab Upaniṣad menyatakan difinisi atau pengertian apapun yang ditujukan untuk memberikan batasan kepada Tuhan Yang Tidak Terbatas itu tidaklah menjangkau kebesaran-Nya, oleh karena itu kitab-kitab Upaniṣad menyatakan tidak ada difinisi yang tepat untuk-Nya, NETI-NETI (Na + iti, na+iti), BUKAN INI, BUKAN ITUi. Bila tidak ada difinisi yang tepat untuk-Nya, bagaimanakah kita dapat memuja-Nya? Untuk memahami Tuhan Yang Maha Esa, maka tidak ada jalan lain kecuali mendalami ajaran agama, memohon penjelasan para guru yang ahli di bidangnya yang mampu merealisasikan ajaran ketuhanan dalam kehidupan pribadinya. Tentang kitab suci atau sastra agama sebagai sumber atau ajaran untuk memahami Tuhan Yang Maha Esa, kitab Brahmā Sūtra, secara tegas menyatakan: Śāstrayonitvat (I.1.2), yang artinya: kitab suci/ sastra agama adalah sumber untruk memahami-Nya.

Kembali pada permasalahan yang dikemukakan pada awal tulisan ini, apakah Sang Hyang Widhi sama dengan Śiva atau Brahmā? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka marilah kita kaji berdasarkan tinjauan etimologis maupun leksikal sebagai berikut: Kata Widhi (Sanskerta Vidhi) berasal dari urat kata Vidh yang artinya: sebuah aturan, peraturan atau kekuasaan, rumus, perintah, keputusan, ordonansi (peraturan setempat), undang-undang, ajaran, hukum, perintah, petunjuk (teristimewa petunjuk tentang persembahan sesuai kitab-kitab Brāhmṇa, kitab suci Veda, yang menurut Sāyaṇa terdiri dari 2 bagian, yaitu (1). Vidhi, yaitu petunjuk atau aturan seperti "yajate", ia yang mempersembahkan upacara Yajña, "kuryāt", ia yang menyajikan, dan (2) Artha-vāda, penjelasan tentang asal/makna upacara dan penggunaan mantra, yang dipadukan dengan legenda-legenda dan ilustrasi-ilustrasi) seperti disebutkan dalam Gṛhyaśrautasūtra, Manusmṛti, Mahābhārata dan lain-lain, aturan tata bahasa atau perintah, Pāṇini 1.I.57; 72, petunjuk pelaksanaan upacara atau ritual, dan lain-lain. Di dalam Mahābhārata dan kitab-kitab Purāṇa juga dalam kitab-kitab Kāvya lainnya, Vidhi disebut sebagai Sang Pencipta (creator), juga dalam Pañcarātra. Vidhi adalah salah satu nama dari Brahma sebagai pencipta atau penguasa hukum. Vidhi juga berarti hukum atau pengendali dan lain-lain. Di dalam kitab-kitab Purāṇa, Vidhi adalah nama lain dari Brahma sebagai telah disebutkan di atas, yakni sebagai Sang Pencipta. Di dalam kitab Amarakoṣa dijelaskan satu śloka tentang nama-nama Brahma di antaranya adalah Vidhi, sebagai berikut:

"Dhātābjayonir druhino Virañciḥ kamalāsanaḥ, Srṣṭhā prajāpatir vedhā Vidhātḥ viśvasṛtvidhiḥ- Brahma adalah Dhātā (yang memegang atau menampilkan segala sesuatu), Abjayoni (yang lahir dari bunga teratai, Druhiṇa (yang membunuh raksasa), Virañci (yang menciptakan), Kamalāsana (yang duduk di atas bunga teratai), Srsthā (yang menciptakan), Prajāpati (raja dari semua mahluk/ masyarakat), Vedhā (ia yang menciptakan), Vidhātā (yang menjadikan segala sesuatu), Viśvasṛt (ia yang menciptakan dunia) dan Vidhi berarti yang menciptakan atau yang menentukan, juga berarti yang mengadilinya.

Di Bali kita temukan lontar-lontar susastra Jawa Kuno di antaranya Ādiparwa (109), Udyogaparwa (5; 103), Uttarakaṇḍa (130), Sārasamuccaya (505.1), Wṛhaspatitattwa (22.8), Rāmāyana (7.22; 17.45), Ghatotkacāśraya (34.5), Sumanasāntaka (7.3), Sutasoma 11.7; 12.2), Ārjunawijaya (2.1; 68.4), Tantri Kāmaṇḍaka (62.19), Kidung Harsa Wijaya (1.6; 1.11; 2.121), Kidung Suṇḍa (3.2), Ranggalawe (8.33), Malat (7.109), Tantri Kadiri (2.124) dan Sorāndaka (1.14) yang secara jelas menyatakan kata Widhi (sanskerta Vidhi) berarti: "aturan atau perintah tertinggi, tertib alam semesta, nasib (takdir), penguasa tertinggi (Sang Hyang Widhi), pencipta (alam semesta)" dan sejenisnya.

Di samping itu kita mewarisi pula beberapa lontar bernama Vidhi Panpiñcatan yang berisi keputusan-keputusan hukum/pengadilan semacam yurisprudensi, juga lontar Widhiśāstra yang berarti pengetahuan tentang Widhi (teologi), dan lain-lain. Dengan demikian Sang Hyang Widhi adalah Tuhan Yang Maha Esa sebagai Pencipta alam semesta. Tuhan sebagai Widhi disebut bersthana di Luhuring Ākāśa, yakni di atas angkasa, nun jauh di sana. Dalam pengertian ini, tentunya Tuhan Yang Maha Esa digambarkan tidak berwujud (Impersonal God). Kapan Sang Hyang Widhi dimohon turun dan hadir untuk menerima persembahan, maka saat itu juga Beliau telah terwujud dalam alam pikiran. Wujud-wujud utama-Nya itu disebut Tri Mūrti (Brahmā, Viṣṇu dan Śiva).

Kata Śiva berarti: yang memberikan keberuntungan (kerahayuan), yang baik hati, ramah, suka memaafkan, menyenangkan, memberi banyak harapan, yang tenang, membahagiakan dan sejenisnya. Sang Hyang Śiva di dalam menggerakkan hukum kemahakuasaan-Nya didukung oleh śaktinya Durgā atau Parvatῑ. Hyang Śiva adalah Tuhan Yang Maha Esa sebagai pelebur kembali (aspek pralaya atau pralina dari alam semesta dan segala isinya). Śiva yang sangat ditakuti disebut Rudra (yang suaranya menggelegar dan menakutkan). Śiva yang belum kena pengaruh Maya (berbagai sifat seperti Guna, Śakti dan Svabhava) disebut Paramaśiva , dalam keadaan ini, disebut juga Acintyarūpa atau Niskala dan Tidak berwujud (Impersonal God).

Kata Brahman (adalah bentuk neutrum dari Brahmā) yang berarti: yang tumbuh, berkembang, berevolusi, yang bertambah besar, yang meluap dari diri-Nya, dan sejenisnya. Ciptaan-Nya muncul dari diri-Nya, seperti halnya Veda yang muncul dari nafas-Nya. Kemahakuasaan Hyang Brahmā sebagai pencipta jagat raya didukung oleh śakti-Nya yang disebut Sarasvatῑ, dewi pengetahuan dan kebijaksanaan yang memberikan inspirasi untuk kebajikan umat manusia. Bila disebut sebagai Brahmā, maka Ia adalah manifestasi utama Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta, dengan demikian Brahmā saat ini adalah Tuhan Yang Berperibadi (Personal God). Brahmā digambarkan berwajah empat (Caturmukha) dan lain-lain. Dengan demikian Hyang Widhi adalah Brahman, Tuhan Yang Tidak Berwujud dalam alam pikiran manusia (Impersonal God) sedang disebut Brahmā, ketika Ia telah mengambil wujud dalam menciptakan alam semesta beserta segala isinya.

Manifestasi utama-Nya lainnya adalah Viṣṇu. Viṣṇu manifestasi Tuhan Yang Maha Esa memelihara jagat raya dan segala isinya. Ia yang menghidupkan segalanya. Kata Viṣṇu berarti: pekerja, yang meresapi segalanya dan sejenisnya (Ibid:999). Kemahakuasaan Sang Hyang Viṣṇu dalam memelihara alam semesta beserta segala isinya didukung oleh úaktinya yang bernama Śrῑ dan Lakṣmῑ.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, jelaslah bagi kita bahwa Hyang Widhi Wasa adalah Tuhan Yang Maha Esa, Ia disebut juga Brahman dan berbagai nama lainnya. Bila Tuhan Yang Maha Esa dipuja dengan aneka persembahan, maka Ia dipuja sebagai Tuhan Yang Personal, yang berperibadi.

Untuk memahami lebih jauh hakekat ketuhanan dalam agama Hindu, telebih dahulu akan diuraikan tentang ketuhanan dalam kitab suci Veda. Di dalam kitab suci Veda, Tuhan Yang Maha Esa dan para Deva disebut deva atau devatā. Kata ini berarti: cahaya, berkilauan, sinar gemerlapan yang semuanya itu ditujukan kepada manifestasi-Nya, juga ditujukan kepada matahari atau langit, termasuk api, petir atau fajar. Deva juga berarti mahluk sorga atau yang sangat mulia.

Demikianlah, Sang Hyang Widhi adalah Tuhan Yang Ācinthyarūpa (impersonal God) dan ketika dipuja oleh umat diwujudkan sebagai Sang Hyang Brahma, Viṣṇu atau Śiva dan kepada-Nya dengan jalan Bhakti dipersembahkan aneka persembahan untuk memohon karunia-Nya. Dan semoga tidak muncul berbagai bentuk egoisme, dengan mengatakan Tuhanku lebih baik, yang lain lebih rendah.

Om Santih Santih Santih Om

Pokok-Pokok Ajaran Darsana: Purwa Mimamsa

Oleh: I Wayan Sudarma

Salam Kasih
Om Swastyastu

Pendiri dan sumber ajarannya

Filsafat Mimamsa yang akan dibahas adalah Purwa Mimamsa Yang umum disebut dengan Mimamsa saja. Kata Mimamsa, berarti penyelidikan yang sistematis terhadap Veda. Purwa Mimamsa secara khusus mengkaji bagian Veda, yakni kitab-kitab Brahmana dan Kalpasutra, sedang bagian yang lain(Aranyaka dan Upanisad) dibahas oleh uttara Mimamsa yang dikenal pula dengan nama yang populer, yaitu Vedanta. Purwa Mimamsa sering disebut Karma

Mimamsa, sedang Uttara Mimamsa disebut juga Jnana Mimamsa. Pendiri ajaran ini adalah Maharesi dan Jaimini. Sumber utama adalah keyakinan akan kebenaran dan kemutlakan upacara d dalam kitab Veda (Brahmana dan Kalpasutra). Sumber ajaran tertulis dalam jaiminisutra, karya Maharesi Jaimini. Kitab ini terdiri dari 12 Adhyaya (bab) terbagi kedalam 60 'pada' atau bagian. Isinya adalah aturan atau tata cara upacara dalam Veda (menurut Veda).

Komentar tertua terhadap kitab Jaimisutra dikemukakan oleh Sabara Swanin, selanjutnya oleh dua orangtokoh yang berbeda pandangan, yakni Kumarila Bhatta dan Prabhakara, yang mengembangkannya kemudian.

Sifat ajarannya

Ajaran ( Purwa ) Mimamsa disebut bersipat pluralistis dan realistis. Pluralus karena mengakui adanya banyak Jiwa dan penggandaan asas badani yang membenahi alam semesta, sedang realistis karena mengakui bahwa obyek-obyek pangamatan adalah nyata. Bagi Mimamsa alat pengetahuan yang terpenting adalah kesaksian (kebenaran) Veda. Mimamsa mengajarkan bahwa tujuan terakhir umat manusia adalah Moksa, jalan untuk mencapai adalah dengan melaksanakan upacara keagamaan seperti tersebut dalam Veda.

Pokok-pokok ajaran Mimamsa

Sebagai telah disebutkan diatas sumber pokok ajaran Mimamsa adalah Veda terutama bagian Brahmana dan Kalpasutra. Baginya kitab Veda adalah Dharma. Tata cara serta perintah-perintah tentang upacara yang terdapat didalam Veda hendaknya dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Serta tidak mengharapkan hasil karena melaksanakannya semuanya itu sebagai suatu kewajiban. Kebebasan dalam filsafat ini adalah kebebasan yang terhingga yang terkenal dengan sebutan sorga. Salah satu aliran dalam filsafat Mimamsa yang dipimpin oleh Maharesi Prabhakara yang mengemukakan adanya 5 sumber pengetauan (Pramana) antara lain :

1) Pratyaksa (pengamatan/pengliatan lansung)

2) Anumana ( Menarik suatu kesimpulan)

3) Upamana (mengadakan perbandingan)

4) Sabda (pembuktian melalui sumber yang dipercaya )

5) Arthapatti ( Perumpamaan )

Satu sampai dengan empat adalah sama dengan Pramana pada filsafat Nyaya, hanya ada tambahan terutama didalam Upamana. Dalam filsafat Mimamsa dijelaskan hal ini sebagai berikut : seseorang yang ingin melihat harimau pergi ke hutan, dan dalam hal inii dijelaskan dijelaskan bahwa kucing sebagai perbandingan. Ketika yang bersagkutan tiba dihutan melihat seekor harimau, maka ia seketika itu membandingkannya dengan seekor kucing,kesimpulan ini disebut Upamana. Berbeda dengan pengetahuan yang ditarik dengan / melalui Arthapatti. Dalam Arthapatti penjelasannya bertentangan. Misalnya bila kita melihat seekor ular tidur saja pada siang hari, tidak pernah makan pada waktu siang hari, tetapi ular itu tetap hidup, kesimpulan Arthapati adalah pasti ular tersebut makan pada malam hari. Aliran Mimamsa yang lain diajarkan oleh Maharsi Kumarila Bhatta dengan teori pengethuannya diperoleh melalui 6 pramana. Lima Pramananya sama seperti tersebut diatas (spt.Prabhakara), dengan menambahkan yang ke-6 Anuphalabhi pramana (non cognition), yakni tidak dapat diamati, karena memang bendanya tidak ada. Cotohnya : Di kamar tidur tidak ada jam tembok, ketiadaan jam tembo itu didalam kamar itu memang tidak dapat diamati. Inilah yang disebut Anupalabhi.

Filsafat Mimamsa lebih jauh menjelaskan bila setiap orang melakukan sedikit saja upacara agama, maka jiwa ybs, akan diangkat oleh sesuatu kekuatan yang bernama Apurwa, yang dikemudian hari akan menghasilkan buah yang baik.

Perhitungan dari Apurwa Mimamsa ini secara menyeluruh terhadap jiwa hendaknya dilakukan dengan bentuk Upacara yadnya, yang nantinya akan memberikan hasil yang sangat memuaskan. Jadi Apurwa mewujudkan suatu jembatan yang menghubungkan waktu antara sebuah upacara yadnya dengan buahnya. Mula-mula Mimamsa mengajarkan bahwa tujuan hidup adat Sorga, tetapi kemudian menyesuaikan dengan sistem filsafat yang lain, yaitu Moksa atau kalepasan.

Om Santih Santih Santih Om

Respon Hindu Tentang Penciptaan Terhadap Teori-Teori Ilmiah Baru

Oleh: I W. Sudarma


Om Swastyastu

Kebanyakan teori sains modern mengenai asal mula alam semesta didasarkan pada konsep Big Bang (ledakan besar) dan variasinya. Teori ini pertama-tama disusun pada tahun 1927 oleh seorang pendeta Belgia yang bernama Georges Lamaitre. Gagasan utama dari Big Bang adalah bahwa seluruh jagat raya diledakkan dari suatu keadaan padatan yang tak terbatas, pada tingkatan suhu dan tekanan yang sangat tinggi. Akibatnya, alam semesta terpecah-pecah dan mengalami pendinginan. Para pendukung teori Big Bang menjelaskan bahwa pada suatu tingkat ekspansi tersebut terwujudlah berbagai partikel sub-atom. Setelah itu elemen-elemen cahaya seperti hidrogen dan helium terbentuk diikutim oleh elemen-elemen berat. Dengan terbentuknya elemen-elemen, tidak ada elektron bebeas yang tersisa yang memancarkan foton cahaya dan jagat raya ini menjadi transparan untuk radiasi, yang diamati sekarang sebagai latar belakang kosmik.

Teori penciptaan alam semesta Big Bang ini adalah teori yang sangat terkenal. Teori ini semakin mendapat dukungan dari berbagai kalangan ilmuwan karena menunjukkann bukti-bukti yang sangat kuat dan dapat diterima secara meluas. Bahkan banyak kalangan agamawan akhirnya mendukung teori ini. Pengajuan teori ini didasarkan pada kenyataan bahwa alam semesta ini sekarang sedang mengembang. Pengamatan telah dilakukan dengan teleskop Hubble milik Amerika Serikat. Sebagai catatan teleskop Hubble diluncurkan oleh NASA pada 1990. Setahun kemudian, 1991 menyusul telekop Compton yang lebih canggih, bisa mendeteksi pancaran sinar Gama. Dan tahun 2003 NASA meluncurkan teleskop Spitzer yang bisa mendeteksi sinar infra merah. Data dari teleskop yang sangat canggih itu mencatat bahwa ternyata semua benda langit sedang bergerak saling menjauhi. Dan itu terjadi secara merata di berbagai penjuru langit. Jadi kalau kita melihat ke ‘atas’, maka diperoleh dasta bahwa benda-benda langit itu saling menjauhi. Demikian puka kalau kita melihat ke arah ‘bawah’ benda-benda langit pun bergerak saling menjauhi. Begitu pula bila kita melihat langit sebelah kiri dan kanan, semuanya sama, benda-benda langit bergerak saling menjauhi. Maka hanya ada satu kesimpulan, yaitu: alam semesta ternyata sedang mengembang. Bila demikian adanya, maka berarti, dulu alam semesta ini berukuran lebih kecil dibandingkan dengan sekarang. Atau dengan kata lain benda-benda langit berada pada posisi lebih dekat. Dan jika kita runut lebih ke belakang lagi, benda-benda langit itu dalam posisi sangat dekat. Dan akhirnya, sekian miliar tahun yang lalu, semua benda langit berada dalam satu tempat. Di pusat alam semesta. Seluruhnya dimampatkan ke dalam satu titik. Betapa dahsyatnya pemampatan itu, karena material yang tak berhingga besarnya ditambah dengan energi yang sangat besar tak terkira ‘dipakska” berada dalam titik yang sama. Seperti sebuah pegas yang ditekan, maka dia cenderung akan melawan untuk melenting menuju posisi seimbangnya.

Teori Big Bang mengatakan bahwa alam semesta yang dikompres ke dalam satu titik itu lantas menjadi tidak stabil, dan meledak dengan kekuatan yang luar biasa dahsyatnya. Sehingga seluruh material cikal bakal alam semesta itu terhambur ke segala penjuru langit, itulah saat penciptaan alam semesta dimulai. Kejadian itu, diperkirakan oleh para pakar astronomi terjadi sekitar 12 miliar tahun yang lalu. Dalam kurun waktu 12 miliar tahun itulah alam semesta mengalami pendinginan secara berangsur-angsur. Dalam masa itu juga tercipta berbagai benda langit secara bertahap, seperti nebula, galaksi, matahari, planet dan satelit. Akibat ledakkan itu seluruh alam semesta mengembang. Bagaikan balon udara yang sedang ditiup.

Ada beberapa tahapan proses penciptaan alam semesta ini, yakni:

Tahap pertama adalah ketika alam semesta berupa cikal bakalnya yang disebut sebagai Sop Kosmos. Pada tahapan tersebut cikal bakal alam semesta itu berada dalam kondisi yang sangat labil disebabkan tempratur dan tekanan yang sangat tinggi. Zat yang ada di dalam Sop Kosmos itu tidak bisa didefinisikan sesuai dengan ragam zat yang ada sekarang. Dia bukan zat padat, bukan zat cair, juga bukan gas. Semacam kumpulan energi yang sangat ekstrim. Sebab semua material dan energi di alam ini dikompres ke dalam sebuah titik yang berukuran hampir nol, di mana ruang dan waktu juga berada di dalamnya. Semuanya terdapat dalam cikal bakal alam semesta dalam ukuran ‘Hampir Tiada’. Bahkan ada yang berpendapat bahwa cikal bakal itu sebenarnya adalah sebuah ‘Ketiadaan Mutlak. Alam semesta ini muncul dari ‘Tidak Ada’ menjadi ‘Ada’ lewat sebuah ledakan mahadahsyat. Sebelum itu, ruang tidak ada. Waktu pun tidak ada. Demikian pula materi dan energi. Yang ada hanya Ketiadaan Mutlak.Tahap pertama teori Big Bang di atas bahwa alam semesta ini muncul dari ‘Tidak Ada’ menjadi ‘Ada’ lewat sebuah ledakan mahadahsyat. Sebelum itu, ruang tidak ada. Demikian pula materi dan energi. Yang ada hanya ‘Ketiadaan Mutlak’ sejalan dengan teori penciptaan menurut NasadiyaSūkta, kitab suci Ṛgveda (X.129.1-7) di atas. Teori Big Bang hampir sama dengan proses Pralaya (peleburan kembali) menuju Sristi atau Utpati (proses penciptaan).

Tahap kedua adalah sesaat setelah ledakan terjadi. Pada detik pertama, suhu alam semesta turun menjadi 10 pangkat 10 derajat Kelvin. Ini sama dengan suhu di pusat matahari. Atau sama dengan suhu di bintang yang paling panas. Dan beberapa jam kemudian, mulailah terbentuk partikel-partikel elementer pembentuk alam semesta. Dan kemudian tercipta atom-atom bermassa rendah seperti Hidrogen dan Helium. Tahap kedua ini tampak seperti proses terciptanya Panca Tanmatra (lima unsur halus yang tidak dapat diukur) yakni: Gandha (unsur bau), Rasa (unsur rasa), Rupa (unsur panas), Sparsa (unsur air) dan Sabda (unsur suara) yang nantinya memadat menjadi Panca Mahabhuta (lima unsur) yang lebih padat, yakni: Prathivi (tanah), Teja (api) Vayu (udara), Apah (air), dan Akasa (ether).

Tahap ketiga, selama jutaan tahun kemudian, alam semesta tidak mengalami perubahan yang berarti. Akan tetapi terus menerus mengembang ke segala penjuru. Puluhan jenis unsur alam semesta terbentuk. Ruang alam semesta semakin membesar. Waktu pun ikut bergerak maju. Proses tersebut sangat dekat maknanya dengan proses sthiti, yakni stabilnya alam semesta namun bergerak terus pada porosnya.

Tahap keempat, selama kurun waktu miliaran tahun kemudian, terbentuklah benda-benda langit akibat pengelompokkan atom-atom dan molekul-molekul yang bersenyawa. Pada pembentukan generasi pertama, terciptalah bintang-bintang atau gugusan bintang dari material yang memang hanya ada di waktu itu, yaitu Hidrogen dan Helium. Hidrogen dan Helium ini masih tersisa di dalam matahari maupun bintang-bintang di jagad semesta. Dan setiap saat terjadi perubahan empat atom Hidrogen menjadi satu Helium sehingga menghasilkan panas jutaan derajat. Dan kemudian, panas itulah yang menghidupi ‘planet-planet’ yang mengorbit di sekitar matahari. Termasuk di dalamnya adalah bumi. Tanpa matahari, planet bumi tidak bisa memunculkan kehidupan. Allah menciptakan matahari agar di bumi terjadi kehidupan. Jika, suatu ketika, matahari padam, maka bumi pun ikut ‘mati’. Dan matahari memang akan mati di suatu saat nanti, sekian ratus juta tahun ke depan. Kenapa begitu? Ya, karena matahari itu sebuah tabung ‘gas’ yang sangat besar, namun terus-menerus mengalami penurunan jumlahnya akibat terbakar terus menerus. Reaksi yang terjadi di dalam matahari itu disebut sebagai reaksi termonuklir alias reaksi fusi. Lama kelamaan atom Hidrogennya habis, yang ada hanya atom Helium. Maka berhentilah proses pembakaran di sana. Dan matahari itu pun padam. Matahari kita tersebtuk sekitar 5 miliar tahun yang lalu. Dia termasuk kelompok matahari generasi kedua, karena di dalamnya ditemukan gas-gas yang memiliki massa lebih besar dari Hidrogen dan helium. Sekitar 2 persen massa matahari ternyata mengandung Oksigen dan Carbon. Tahap keempat ini tampak seperti terciptanya Brahmanda-Brahmanda (telur Brahman, yakni planet-planet di jagat raya) dan matahari disebut sebagai yang terbesar dan yang memancarkan cahaya yang sangat besar di antara Brahmanda-Brahmanda tersebut. Di dalam Veda matahari (surya) disebut jyotir uttamamam, devam adidevam (cahaya yang gemerlapan dan utama, terbesar di antara planet-planet di alam raya) dan dsebut juga sebagai surya atma jagatas tasthusas ca (sumber hidup di jagat raya baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak).

Tahap kelima. Matahari, dulunya berasal dari gas panas (nebula) yang berpusar. Di tengah-tengah pusaran itu terbentuk matahari. Sedangkan di pinggirannya terjadi pendirnginan lokal yang lebih cepat dari pada pusatnya. Akibat pendinginan itu, maka terjadilah padatan-padatan, yang kemudian terpental akibat gaya putra (sentrifugal). Bagian yang terpental itu adalah cikal bakal planet-planet. Termasuk di dalamnya adalah planet bumi. Ini terjadi sekitar 5 miliar tahun yang lalu. Jadi bumi kita sebenarnya sudah berusia sangat tua. Alam semesta sendiri berumur lebih tua, diperkirakan 12 miliar tahun. Dan sampai sekarang, proses penciptaan alam tersebut belum berhenti. Setiap saat selalu ada bintang atau matahari yang tercipta. Sebagaimana juga selalu ada matahari dan bintang yang padam. Demikian pula selalu ada planet-planet yang tercipta dan yang mengalami kehancuran. Benda-benda langit jumlahnya hampir tak berhingga. Di alam semesta ini diperkirakan ada sekitar 10 pangkat 80 partikel yang bisa teramati oleh para peneliti. Dalam waktu yang bersamaan, alam semesta juga terus berkembang. Hal ini teramati melalui teleskop Hubble. Sampai kapankah alam semesta terus berkembang? Diperkirakan sampai 3 miliar tahun lagi. Setelah waktu itulah, diperkirakan alam akhirat akan dimulai oleh Tuhan. Uraian tahap kelima ini masih sama seperti terciptanya Brahmanda-Brahmanda di jagat raya ini dan total umur alam semesta dinyatakan dalam kosmologi Vedānta adalah: 100 tahun Brahma = 100 x 360 x 2 x 1 Brahma = 311 triliun dan 40 milir tahun dan pada setiap 311.040 miliar tahun terjadilah peleburan total atau keseluruhan. Setelah itu penciptaan dimulai lagi (Bhaktisvarupa, 2003:76).

Tahap keenam adalah tahap diciptakan oleh-Nya makhluk hidup di permukaan planet bumi hingga drama kehidupan yang digelar sampai kiamat nanti. Tentang bentuk kehidupan di bumi, kitab Padma Purāṇa menyatakan sebagai berikut. “Secara keseluruhan terdapat 8.400.000 bentuk kehidupan. 900.000 bentuk kehidupan di dalam air, dan 2000.000 bentuk pohon dan tumbuh-tumbuhan. Selanjutnya, terdapat 1.100.000 species binatang, serangga, dan reptil, dan 1.000.000 species burung. Akhirnya, terdapat 3.000.000 jenis hewan dan 400.000 species manusia”.

Om Santih Santih Santih Om

Penciptaan Menurut Kitab Suci Veda

Oleh: I W. Sudarma

Salam Kasih
Om Swastyastu

Di dalam kitab suci Veda terdapat dua Sūkta (himne) yang secara khusus menguraikan tentang penciptaan jagat raya yang dikenal dengan sebutan Nasadiyasūkta dan Puruṣasūkta. Yang pertama menjelaskan asal atau kejadian alam semesta dan yang kedua merupakan dasar filosofis Veda yang menyatakan bahwa segala sesuatunya berasal dari Yajña, yakni pengorbanan Tuhan Yang Maha Esa yang mesti diikuti oleh umat-Nya sebagai usaha untuk menjaga kelangsungan dan harmoni alam semesta. Berikut dikutipkan terjemahan Nasadiyazūkta (Terjadinya Alam Semesta)(Ṛgveda X.129.1-7) tersebut.

‘Pada waktu itu, tidak ada mahluk (eksistensi) maupun non makhluk (non eksistensi); pada waktu itu tidak ada atmosfir dan juga tidak ada lengkung langit di luarnya. Pada waktu itu apakah yang menutupi, dan di mana ? Airkah di sana, air yang tak terduga dalamnya (1)’

‘Waktu itu, tidak ada kematian, pun pula tidak ada kehidupan. Tidak ada tanda yang menandakan siang dan malam. Yang Esa bernafas tanpa nafas menurut kekuatannya sendiri. Bernafas menurut kekuatan-Nya sendiri. Di luar Dia tidak ada apa pun juga (2)’

‘Pada mula pertama kegelapan ditutupi oleh kegelapan. Semua yang ada ini adalah keterbatasan yang tak dapat dibedakan. Yang ada waktu itu adalah kekosongan dan yang tanpa bentuk. Dengan tapas (tenaga panas) yang luar biasa lahirlah kesatuan yang kosong (3)’

‘Pada awal mulanya keinginan menjadi bermanifestasi. Yang merupakan benih awal dan benih semangat. Para Ṛṣi setelah meditasi dalam hatinya menemukan dengan kearifannya hubungan antara eksistensi dan non eksistensi (4)’

‘Sinar-Nya terentang ke luar, apakah ia melintang, apakah ia di bawah atau di atas. Kemudian ada kemampuan memperbanyak diri dan kekuatan yang luar biasa dahsyatnya, materi gaib ke sini dan energi ke sana (5)’

‘Siapakah yang sungguh-sungguh mengetahui dan memapar-kannya di sini, dari manakah datangnya alam semesta yang menjadi ada ini? Orang-orang bijaksana lebih belakang dari ciptaan alam semesta ini, karena itu siapakah yang mengetahui dari mana munculnya (ciptaan) ini (6)’

‘Sesungguhnya Dia yang telah menciptakan alam semesta ini, serta mengendalikannya (di dalam kekuasaan-Nya). Dia yang mengawasi alam semesta ini berada di atas angkasa yang tak terhingga, sesungguhnya Dia mengetahui alam semesta ini seluruhnya dan Wahai Manusia! Janganlah mengakui eksistensi lain yang mana pun sebagai Pencipta alam semesta ini (7)’

Dari terjemahan mantram Ṛgveda di atas dapat diketahui pandangan yang mendasar tentang misteri dari alam semesta ini. Sūkta di atas menjelaskan tentang asal alam semesta dan Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan asal dari alam semesta tersebut. Sūkta pertama menjelaskan bahwa pada mulanya adalah kosong, tidak ada apa pun benda material. Sūkta kedua menjelaskan eksistensi Tuhan Yang Maha Esa yang bernafas dengan kekuatan-Nya sendiri. Sūkta ketiga menjelaskan bahwa pada mulanya adalah kekosongan, tidak ada sesuatu apa pun dan tanpa bentuk. Disebutkan pula dari pada-Nya tenaga panas (energi) muncul yang merupakan proses awal penciptaan. Dari keinginan-Nya muncul penciptaan dan hal ini dapat diketahui oleh para Ṛṣi yang bermeditasi kepada-Nya (Sūkta 4). Sūkta kelima menjelaskan terciptanya benih-benih kehidupan. Sūkta keenam dan ketujuh menjelaskan terjadinya alam semesta.

Klaus K. Klostermaier (1990:110) mengemukakan beberapa kata kunci untuk memahami proses penciptaan menurut Nasadiyasūkta di atas, yaitu: tapas, panas, kekuatan seorang Yogi (Ṛṣi) yang disebut sebagai yang bertanggung jawab pertama dalam proses penciptaan. Kama, keinginan atau dorongan nafsu (keinginan untuk mencipta) yang menyebabkan keserbaragaman dan yang melekat dalam ketidakabadian. V. Madhusudan Reddy (1991:186) menyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa dengan kekuatan-Nya yang sangat unik dengan pemusatan pikiran, mewujudkan kekuatan anima (salah satu kekuasaan-Nya menjadikan diri-Nya sangat halus tidak tertangkap oleh indra penglihatan) menciptakan dunia dan alam semesta yang tidak abadi dan berbagai keserbaragaman. Tuhan Yang Maha Esa mengejawantah dalam berbagai hal, dan juga menjadi dasar yang mengatur semua, menyatukan dan mengharmonisasikannya, seperti dinyatakan dalam terjemahan mantra Ṛgveda V.81.2 berikut:

‘Tuhan Maha Pencipta, Yang memancarkan cahaya-Nya dalam berbagai wujud, dan yang selalu menganugrahkan kebajikan kepada semua ciptaan-Nya. Yang Maha Bercahaya menerangi jagat raya, sorga, dan selalu bercahaya di luar Fajar’.

Tuhan Yang Maha Esa yang memancarkan cahaya gemerlapan, menyinari segalanya dan memberikan kesadaran kepada alam semesta. Ia adalah api kedevataan, maha mengetahui dan merupakan nafas hidup dari jagat raya, yang tanpa batas, yang kekuatan tapa-Nya tiada habisnya, bagaikan mentega dan nektar keabadian. Lebih jauh di dalam Ṛgveda III.26.7 dinyatakan bahwa:

Segala sesuatunya merupakan ekspresi pancaran Cahaya dari segala cahaya. Ia yang muncul dari keadaan Gelap (Malam Brahma). Ia yang sangat mengagumkan, Ia yang membentang sangat jauh dan mengejawantahkan diri-Nya.

Di dalam Ṛgveda I.113.1 dinyatakan bahwa alam semesta sebagai Wujud Yang Agung (Supreme Form). Hal tersebut merujuk kepada tiga kondisi Yang Maha Suci, yaitu status caratham, jagatas tasthusas dan amritam martyam, yakni yang tidak bergerak dan kekal abadi dan yang berubah-ubah, yang tidak terbatas dan yang terbatas, dan yang hidup abadi dan yang fana (Reddy, 1991:188).

Demikian pula dinyatakan bahwa kekuatan aktif yang bersinar terang benderang merupakan kuasa Tuhan Yang Maha Esa, bermanifestasi melalui hukum-Nya yang abadi, tercipta bersama dengan kausa material alam semesta, dari sana malam (sesudah alam tercipta berlangsung) diciptakan. Dari sana pula samudra atmosfir yang mengandung prinsip-prinsip kosmik menjadi terwujud (Ṛgveda X.190.1).

Berdasarkan uraian singkat di atas dapat dinyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa melalui kekuatan tapas, memancarkan energi (cahaya) dari kegelapan yang pekat dan kosong, kemudian atas kehendak-Nya berlangsung proses penciptaan yang berasal dari energi atau cahaya-Nya yang maha dahsyat tersebut.

Tentang penciptaan alam semesta lebih jauh dinyatakan dalam Puruṣasūkta (Yajña Tuhan Yang Maha Esa) (Ṛgveda X.90.1-16) yang terjemahannya dikutipkan sebagai berikut:

‘Puruṣa (Manusia Kosmos) berkepala seribu, bermata seribu, berkaki seribu, memenuhi jagat raya, pada semua arah, mengisi seluruh angkasa (1)’

‘Sesungguhnya Puruṣa adalah semua ini, semua yang ada sekarang dan yang akan datang, Dia adalah raja keabadian yang terus membesar dengan makanan (2)’

‘Demikian hebat kebenarannya. Dan Puruṣa bahkan lebih besar dari ini. Semua wujud ini adalah seperempat dari diri-Nya. Tiga perempat lagi adalah keabadian ada di sorga (3)’

‘Tiga perempat dari Puruṣa pergi membubung jauh. Seperempat lagi lagi berada di alam ini yang berproses terus menerus berselang-seling dalam berbagai wujud yang bernyawa dan yang tidak bernyawa (4)’.

‘Dari Dia Viraj (Dia Yang Bercahaya) lahir dan dari Virāj Dia kembali. Segera setelah Dia lahir Dia mengembang ke seluruh penjuru, mengembang mengatasi alam semesta (5)’

‘Ketika para Dewa mengadakan upacara kurban dengan Puruṣa sebagai persembahan, maka minyaknya adalah musim semi, kayu bakarnya adalah musim panas dan sajian persembahannya adalam musim gugur (6)’

‘Mereka mengorbankan sebagian korban pada rumput. Puruṣa yang lahir pada awal kejadian alam semesta. Pada Dia para Dewa dan semua Sadhya dan para Ṛṣi mempersembahkan kurban (7)’

‘Dari korban Puruṣa dipersembahkan keluarlah dadih dan mentega yang sudah bercampur. Kemudian Dia jadikan binatang-binatang yang padanya berbeda. Baik binatang buas maupun binatang jinak (8)’

‘Dari korban Puruṣa yang dipersembahkan, Ric (Ṛgveda) dan Sama (Samaveda) muncul. Dari Dia lahirnya metrik. Dari Dia lahirnya Yajus (Yajurveda) (9)’

‘Dari Dia lahirlah kuda dan binatang apa saja yang mempunyai gigi dua baris. Sapi lahir dari Dia. Dari Dialah lahirnya kambing dan biri-biri (10)’.

‘Ketika mereka menjadikan Puruṣa persembahan, menjadi berapa bagiankah Dia? Dan apakah mereka sebut paha kaki-Nya? (11)’

‘Dari mulut-Nya muncul Brahmana, dari lengan-Nya muncul Rajanya (Ksatriya), dari paha-Nya muncul Vaisya, dan Sudra muncul dari kaki-Nya (12)’

‘Bulan muncul dari pikiran-Nya, matahari dari mata-Nya, Indra dan Agni muncul dari mulut-Nya, dan Vayu dari nafas-Nya (13)’.

‘Dari pusar-Nya cakrawala ini muncul, dari kepala-Nya muncul langit, dari kaki-Nya muncul bumi, dari telingap-Nya lahir keempat penjuru mata angin, demikianlah Dia membentuk alam semesta ini (14)’.

‘Tujuh pagar kelilingnya upacara korban itu, tiga kali enam potong kayu bakar disiapkan, ketika para Dewa mempersembahkan upacara itu yang menjadikan Puruṣa sebagai kurban (15)’

‘Dewa-dewa dengan mengandakan upacara korban memuja Dia (Manusia Kosmos) yang juga merupakan upacara korban itu. Dia yang agung mencapai sorga yang mulia tempat para Sadhyas, Dewa-Dewa zaman dahulu (16)’

Puruṣasūkta adalah sebuah Sūkta (himne) yang menjelaskan kondisi sebelum penciptaan dan pengejawantahan-Nya. Kondisi tersebut merupakan dua kondisi berubah dan kekal abadi, jagatas tasthusas. Hal tersebut merupakan proses abadi yang dari padanya Ia Yang Tidak Terbatas menjadi terbatas. Sūkta tersebut merupakan perubahan bentuk yang direncanakan dari Wujud Manusia Tertinggi (Supreme Person) dan proses terciptanya alam semesta. Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Sempurna dikenal oleh para mahārṣi (orang-orang suci). Mereka menggambarkan Tuhan Yang Maha Esa sebagai Yang Bercahaya seperti cahaya ribuan matahari, yang terletak di samping Kegelapan. Pengetahuan tentang Tuhan Yang Maha Tunggal, dinyatakan oleh para mahārṣi yang membebaskan pencari kebenaran dari segala keterikatan dan menjadikannya kekal abadi (Reddy, 1991: 175).

Puruṣa bukanlah semata-mata Manusia Kosmos, tetapi juga merupakan aspek personal dari seluruh realitas. Konsep manusia meliputi esensi hubungan internal. Segala sesuatunya merupakan bagian dari Yang Esa dan unik yakni Puruṣa. Dari Puruṣa, Viraj, emanasi kedewataan yang pertama menampakkan diri dan berproses. Makhluk yang tidak terciptakan, yang keberadaan-Nya berfungsi sebagai media dalam proses penciptaan, meningkatkan dan juga turun kepada semua makhluk, dan juga kepada keseluruhan aktivitas, Dia juga mengandung aspek feminin, tidak hanya dalam kaitannya dengan gender, tetapi juga dalam hukum-Nya (Panikkar, 1989:73).

Menurut Puruṣasūkta di atas, Tuhan Yang Maha Esa sendiri yang mengorbankan diri-Nya untuk menciptakan jagat raya ini, yang penampakkan-Nya di alam semesta dalam wujud materi hanya seperempat bagian sedang tiga perempat lainnya tidak terjangkau oleh umat manusia. Seluruh jagat raya berasal dari pada-Nya melalui Viraj, proses alam semesta dan segala isi di dalamnya berlangsung. Proses penciptaan (sristi atau utpati) dan pemeliharaan (stiti) alam semesta ini berlangsung selama Tuhan Yang Maha Esa menghendakinya dan tentunya juga akan berakhir ketika Dia menghendakinya pula. Proses tercipta, terpelihara, dan peleburan (pralaya) kembali alam semesta berserta seluruh isinya disebut Trikona, tiga titik kulminasi yang berlangsung terus. Proses tersebut juga dinamakan lila atau krida Tuhan Yang Maha Esa. Menurut A.L.Basham (1992:3240 motivasi penciptaan seperti tersebut, yakni berupa lila atau krida dari Jiwa Alam Semesta dapat dianalogikan dengan hasil karya seni yang muncul dari pikiran seorang artis.

Di samping mantra-mantra tentang peenciptaan seperti telah disebutkan di atas terdapat juga mantra yang menjelaskan tentang bibit abadi berupa telur berwarna keemasan (Hiranyagarbha) yang kemudian dari pada-Nya terciptalah seluruh jagat raya seperti dinyatakan dalam Ṛgveda X.121.1 berikut:

Pada awalnya terlahirlah Hiranyagarbha, Dia yang demikian menunjukkan eksistensinya, menjadi raja dari semua makhluk, Dia yang menyangga bumi dan sorga.

Di dalam kitab suci Veda dijelaskan tentang awal penciptaan alam semesta ini dan yang pertama eksis adalah Tuhan Yang Maha Esa sendiri, kemudian menjadikan diri-Nya sendiri sebagai Yajna dan kemudian berpikir “aham bahu syam”, “Saya ingin menciptakan yang banyak”. Sejak saat itu mulailah penciptaan alam semesta. Pertama-tama tercipta air. Di sanalah telur Hiranyagarbha berada. Telur itu kemudian pecah menjadi dua bagian, yaitu satu bagian menjadi bumi dan bagian yang lain menjadi angkasa. Segala proses penciptaan alam semesta baru dimulai setelah telur yang mengandung air itu pecah (Somvir, 2001:34-35).

Berdasarkan kutipan terjemahan mantra-mantra Veda di atas, maka penciptaan alam semesta menurut kitab suci Veda dimulai dengan tapas yang memancarkan cahaya (energi), selanjutnya Tuhan Yang Maha Esa berkehendak dan melaksanakan Yajña dan yang terakhir dari pada-Nya pula lahir bibit berupa telur keemasan (Hiranyagarbha) yang di alam semesta tampak plenet-planet yang demikian banyak jumlahnya berwujud sebagai telor dan berwarna keemasan.

Om Santih Santih Santih Om

Daftar Pustaka:
Ayodhya Prasad, Pandit.1993. Gems of Vedic Wisdom. Calcuta: Kanak Lal Saha.

Bhaktisvarupa Damodara Swami (T.D. Singh, Ph.D).2003. Vedānta & Sains, Kehidupan dan Asal Mula Jagat Raya. Kolkata-Roma-Denver: BhaktiVedānta Institute.

Basham, A.L.1992. The Wonder That Was India, New Delhi: Rupa & Co.

Klostermaier, Klaus K.1990. A Survey of Hinduism, New Delhi: Munshiram Manoharlal Publishers Pvt.Ltd.

Madhusudan Reddy, V. 1991. The Vedic Epiphany, I. Hyderabad: Institute of Human Study.

Mustofa, Agus.2005. Ternyata Akhirat Tidak Kekal. Surabaya: Padma Press.

Panikkar, Raimundo.1989. The Vedic Experience, Mantra Mañjari, An Anthology of the Vedas for Modern Man and Contemporary Celebration. New Delhi: Motilal Banarsidass Publishers Private Limited.

Radhakrishnan, S.1990. The Principals Upaniṣads. Centenary Edition. Bombay: Oxford University Press.

Sai Avatar, Sri Sathya, Chaitanya Jyoti. Prasnati Nilayam, Andra Pradesh: Sri Sathya Sai Seva Organization.

Somvir. 2001. 108 Mutiara Veda Untuk Kehidupan Sehari-hari. Surabaya: Penerbit Paramita.

Tagore, Rabindranāth. 2004. Pantai Keabadian. Diedit dan Diberi Pengantar oleh Deepak Chopra, Yogyakarta: Pohon Sukma.

Titib, I Made. Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Penerbit Paramita

Pokok-Pokok Ajaran Darsana: Yoga

Oleh: I W. Sudarma

Salam Kasih

Pendiri dan Sumber ajarannya :

Ajaran Yoga sangat populer dikalangan umat Hindu. Adapun pembangunan ajaran ini adalah Mahresi patanjali. Ajaran ini merupakan anugerah yang luar biasa dari Maharesi Patanjali kepada siapa saja yang ingin melaksanakan hidup kerokhanian. Bila kitab Veda merupakan pengetahuan suci yang sipatnya teoritis, maka Yoga merupakan ilmu yang sipatnya praktis dari ajaran Veda. Ajaran ini merupakan bantuan kepada mereka yang ingin meningkatkan dibidang kerokhanian.

Tulisan pertama tentang ajaran Yoga ini adalah kitab Yogasutra karya Maharesi patanjali, walaupun unsur-unsur ajarannya sudah ada jauh sebelum itu. Ajaran Yoga sebenarnya sudah terdapat didalam kitab suci Sruti maupun Smrti, demikian pula dalam Itihasa dan Purana. Setelah buku Yogasutra muncullah kitab-kitab Bhasta yang merupakan buku momentar terhadap karya Patanjali diatas, diantarnya Bhasya Nitti oleh Bhojaraja dan lain-lain. Komentar - komentar ini menguraikan ajaran Yoga karya Patanjali yang berbentuk Sutra atau kalimat pendek dan padat.

Kata Yoga sendri berasal dari urat kata Yuj yang artinya berhubungan ( ingat kata yoke atau uga dan lain -lain). Kata Yoga berarti hubungan atau berhubungan, yang dimaksud adalah bertemunya roh individu ( Atma/Purusa) dengan Roh universal yang tidak berperibadi ( MahaPurusa/paramatman). Maharsi Patanjali mengartikan Yoga sebagai 'Cittawrttinirodha', yaitu pengentian geraknya pikiran.

Seluruh kitab Yogasastra karya Patanjali terbagi atas 4 pada (bagian) yang terdiri dari 194 Sutra. Bagian pertam disebut Samadhipada , isinya tentang ajaran Yoga. Diterangkan pula perubahan-perubahan pikiran dn cara pelaksanaan yoga. Bagian kedua disebut Sadhanapada, isinya tentang pelaksanaan Yoga seperti cara mencapai Samadhi. Tentang kedukaan, karmapala dan sebagainya. Bagian ketiga disebut Wibhutipada, isinya segai batiniah ajaran Yoga disebut Wibhutipada, isianya segi batiniah ajaran Yoga, dan tentang kekutan gaib yang diperoleh dalam melaksanakan Yoga. Bagian ke 4 disebut Kaiwalyapada, melukiskan tentang alam kalepasan dan kenyataan roh yang mengatasi alam duniawi.

Seringkali filsafat Yoga disebut bersama-sama dengan filsafat Samkhya (Samkhayoga), karena memang filsafat Yoga berhubungan erat denan Samkhya. Yang terpenting ialah pelaksanaan ajaran Yoga sebagai jalan memperoleh Wiwekajnana, yaitu pengetahuan untuk membedakan antara yang salah dan benar sebagai kondisi untuk mencapai kalepasan. Hampir semua filsafat Hindu mengenal ajaran Yoga ini.

Sifat ajarannya

Ajaran Yoga merupakan praktek dari ajaran Samkhya dalam kehidupan nyata. Yoga menerima ajaran Tripramana dalam Samkhya, juga menerima 25 Tattwas Samkhya, dengan menempatkan Iswara ( Tuhan Yang Mahaesa ) sebagai sumber Purusa dan Prakrti) itu, walaupun hakekat Purusa sama Iswara, oleh karena menempatkan Iswara sebagai sumber kedua prinsip diatas, maka filsafat Yoya disebut bersifat Theistic. Filsafat Yoga juga disebut Saisvara Samkhya atau Saisvara Samkhya.

Pokok ajaran Yoga.

Ajaran filsafat Yoga yang terpenting adalah citta (pikiran). Citta dipandang sebagai hasil pertama dari Prakrti, yang juga meliputi Ahamkara dan Manas. Di dalam Citta ini Purusa di pantulkan. Dengan menerima pantulan Purusa citta menjadi sadar dan berfungsi. Tiap Purusa berhubungan dengan satu citta, yang disebut Karana Citta. Karana Citta dapat mengucap atau meluas, tergantung tubuh yang dihuninya, bila pada binatang (lebih kecil) dibandingkan Karana Citta itu menempati tubuh manusia. Jika Karana Citta berhubungan dengan tubuh maka ia disebut Karya Citta. Tujuan Yoga untuk mengembalikan Citta dalam keadaanya semula, murni, tanpa perubahan, sehingga dengan demikian Purusa dibelengguan badan. Dalam kehidupan sehari-hari, Citta disamakan dengan Writti, yaitu bentuk-bentuk perubahan Citta dalam penyesuian diri dengan obyek pengamatan. Melalui aktivitas Citta ini, Purusa tampak bertindak, bergirang atau menderita.

Perubahan Citta dapat diklasifikasikan kedalam 5 macam, yaitu :

Pramana, pengamatan yang benar
Viparyaya, pengamatan yang salah
Vikalpa, pengamatan hanya dalam kata-kata
Nindra tidur
Smrti, ingatan

Pengamatan yang benar hanya melalui Tri Pramana. Aktivitas citta menimbulkan yang terpendam, yang selanjunya menimbulkan kecendrungan yang lain. Demikianklah Samsara berputar, manusia ditaklukkan oleh Klesa yang terdiri dari : Awidya (ketidak tahuan), Asmita (keakuan), Raga (keterikatan), Dvesa (dendam) dan Abhiniwesa (takut terhadap kematian ). Untuk dapat terlepasnya Purusa dari ikatan Prakrti, seseorang harus dapat melepaskan Wrtti yaitu dengan melenyapkan klesa, sebab Klesa merupakan dasar terbentuknya Karma yang menimbulkan Awidya.

Jadi dalam hidup manusia terdapat satu rangkaian yang tiada putusnya, yaitu perputaran Wrtti, Klesa. Lepasnya ikatan dapat tercapai melalui pengendalian diri (Wiragya), sehingga dapat membedakan yang Pribadi dan Bukan pribadi.

Sebagai telah disebutkan didepan, patanjali mengartikan Yoga sebagai berhentinya kegoncangan pikiran Ada lima keadaan pikiran. Keadaan ini ditentkan oleh identitas Sattwam, Rajas dan Tamas, kelima keadaan pikiran itu, ialah :

Ksipta. Artinya tidak m au beriam. Dalam keadaan ini pikiran itu diombang ambingkan oleh Rajas dan Tamas dan ditarik-tarik oleh obyek indrya dan sarana-sarana untuk mencapainya . Pikiran melompat-lompat dari satu obyek ke obyek yang lain tanpa mengaso pada satu obyek.
Mudha, artinya lamban dan malas. Ini disebabkan oleh pengaruh tamas dan menguasai alam pikiran . Akibatnya seseorang yang alam pikirannya demikian menjadi bodoh, senang tidur dan sebagainya.
Vikalpa, artinya bingung, kacau. Hal ini disebabkan oleh pengaruh Rajas, karena pengaruh ini pikiran mampu mewujudkansemua obyek dan mengarahkan pada kebajikan,pengetahuan dan sebagainya. Ini merupakan tahap pemusatan pikiran pada suatu obyek namun sifatnya sementara sebab akan disusul lagi oleh kekuatan pikiran.
Ekagra, artinya terpusat. Disini Citta terhapus dari cemasnya Rajas sehingga Sattwalah yang kuasai atas pikiran. Ini merupakan awal pemusatan pikiran pada suatu obyek yang memungkinkan ia mengetahui alamnya yang sejati sebagai persiapan untuk menghentikan perobahan-pikiran.
"Niruddha, artinya terkendali. Dalam tahap ini berhentilah semua kegiatan pikiran, hanya ketenanganlah yang ada. Ekagra dan Nirrudha merupakan persiapan dan bantuan untuk mencapai tujun akhir, yaitu Kelepasan

Ekagra bila dapat berlangsung terus menerus disebut Samprajñata Samadhi atau meditasi yang dalam, yang padanya ada perenunagn kesadaran akan suatu obyek yang terang.

Tingkatan Niruddha akan suatu obyek yang terang. Tingkatan Niruddha juga disebut Asamprajñata Samadhi, karena semua perubahan dan kegoncangan pikiran lagi. Dalam keadaan demikian tidak ada riak-riak gelombang kecil sekalipun.

Pada permukaan alam pikiran atau citta itu, Itulah yang dinamakan orang Samadhi Yoga (Nirwikalpa Samadhi) Ada 4 macam Sampraj`ata Samadhi ( Yoga ) menurut jenis obyek renungannya. Keempat jenis itu ,ialah ;

Savitarka, ialah bila pikiran itu dipusatkan pada suatu obyek benda kasar, seperti arca Dewa atau Dewi.
Savicara,ialah bila pikiran itu dipusatkan pada suatu obyek yang halus yang tidak nyata seperti Tan Matra.
Sananda, bila pikiran itu dipusatkan pada suatu obyek yang halus, seperti rasa indryanya.
Sasmita,ialah bila pikiran itu di pusatkan pada Asmita, yaitu anasir rasa akau yang biasanya roh menyamakan dirinya denan ini.

Dengan tahap-tahap pemusatan pikiran seperti tersbut diatas, maka ia akan mengalami bermacam-macam alam obyek dengan atau tanpa jasmani dan meninggalkannya satu persatu , hingga akhirnya Citta meninggalkannya sama sekali dan orang mencapai tingkat ini seseorang harus melaksanakan praktek Yoga dengan cermaat dan patuh dalam waktu yang lama melalui tahap-tahap yang disebut Astangga Yoga.

Pelaksanaan Ajaran Yoga (Astangga Yoga)

Untuk mencapai tujuan Yoga, yakni Kelepasan ( Moksa), maka Patanjali dalam bukunya Yogasutra menjelaskan adanya beberapa langkah yang harus ditempuh, yang disebut Astanggayoga, yang merupakan jalan untuk mencapai tujuan tersebut diatas, sebagai berikut :

Yama, yang terdiri dari :

Ahimsa ( tidak membunuh/menyakiti mahkluk hidup )
Satya (jujur dalam Tri Kaya )
Asteya ( tidak mencuri )
Brahmacarya ( mengendalikan nafsu sex )
Aparugraha ( tidak menerima pemberian yang tidak penting dari orang lain ). Kata Yama artinya pengendalian diri.

2. Niyama. Kata Niyama berarti pengendalian tingkat lanjut,terdiri dari :

Sauca, artinya suci lahir batin
Santosa, artinya puas dengan apa adanya.
Tapa, tahan uji terhadap berbagai gangguan
Swadhyaya, tekun belajar keTuhanan
Iswarapranidhana, memusatkan pikiran dan bhakti kepada Tuhan Yang Mahaesa.

3. Asana, Asana artinya sikap-sikap tubuh bermanfaat untuk meditasi, kesehatan tubuhdan ketenangan pikiran seperti Padmasana, Bajrasana, Sawasana dan lain-lain.

4. Pranayama, artinya pengaturan nafas. Pranayama terdiri dari pemasukan nafas (puraka), menahan nafas (kumbhaka)dan Recaka (mengeluarkan nafas). Pengaturan nafas berguna untuk memusatkan pikiran.

5. Pratyahara, artinya menarik indrya dari wilayah sasarannya dan menempatkannya dibawah pengawasan pikiran. Hal ini memerlukan laihan yang sama.

6. Dharana, memusatkan pikiran pada sasaran yang diingin itu boleh bagian-bagian tubuh sendiri seperti ; antara dahi, boleh juga diluar tubuh seperti; antara dahi, boleh juga diluar tubuh seperti titik hitam, bulan atau bintang dan lain-lain.

7. Dhyana. Dhyana berarti aliran pikiran yang tanang pada obyek tak tergoyahkan oleh gangguan sekelilingnya. Hal ini menyebabkan orang memiliki gambaran yang jelas tentang bagian-bagian dan aspek obyek renungan.

8. Samadhi. Inilah tahap yang terakhir dalam pelaksanaan ajaran Yoga. Dalam Samadhi pikiran telah lebur mennyatu dengan obyek dan tidak ada kesadaran akan tubuhnya sendiri. Dalam Dhyana antara gerak pikiran dengan obyek renungan masih terpisah, namun dalam Samadhi sudah tidak ada.

Pelaksanaan Yama dan Niyama merupakan persiapan etis, Asana, Pranayama dan Pratyahara merupakan persiapan badani. Kelimanya tersebut merupakan pemusatan. Ketiganya ini merupakan pertolongan dari dalam atau langsung yang disebut Antaranga.

Tuhan Yang Maha Esa dalam Samkhya adalah obyek dari Bhakti yang patut disembah dalam praktek Yoga. Tuhan Mahasuci akan dapat ditemui melalui kesucian lahir dan batin. Tuhan (Iswara) dikenal dengan Wijaksara Om, atau Pranava.

Demikian sekilas tentang pokok-pokok ajaran Yoga

Om Santih Santih Santih Om

Pokok-Pokok Ajaran Darsana: Samkhya

Oleh: I W. Sudarma


Om Swastyastu,

Ijinkan saya berbagi sedikit pengetahuan berkaitan dengan Sad Darsana-semoga bermanfaat bagi kita semuanya

1. Samkhya

Pendiri dan sumber ajarannya.

Menurut tradisi, pembangun ajaran ini bernama Maharesi Kapila, yang menulis Samkhyasutra. Di dalam Bahagawata Purana disebutkan nama Maharesi Kapila, putra Dewa huti sebagai pembangun ajaran Samkhya yang sifatnya theistic. Karya tulis tentang Samkhya yang kini dapat diwarisi adalah Samkhyakarika yang ditulis oleh Iswarakrsna.

Ajaran Samkhyada Yoga besar pengaruhnya terhadap ajaran agama Hindu di Indonesia. Kitab-kitab Tattwa seperti : Wrhaspatitattwa, Tattwajñana, Ganapatitattwa berbahasa Jawa Kuno dalam Saivapaksa banyak mendapat pengaruh dan bahkan merupakan ajaran Samhya dan Yoga. Ajaran Samkhya sebenarnya sudah tua usianya, hal ini dibuktikan bahwa dalam kitab-kitab Sruti (Mantra, Brahmana, Aranyaka, da Upanisad), Smrrti, Itihasa dan Purana di dalamnya terkandung ajarn Samkhya.

Sifat ajarannya :

Kata Samkhya berarti 'pemantulan', yaitu pemantulan filsafati. Adapula yang menyatakan bahwa Samkhyaberarti kumpulan bilangan (sam= berkumpul, khya=bilangan). Ajaran Samkhya ini disebut bersifat Realistis, karena mengakui realitas dunia ini yang bebas dari roh. Samkhya disebut dualitis karena prinsip ajarannya ada dua realitas yang berdiri sendiri-sendiri, saling bertentang tetapi dapat dipadukan, yaitu : Purusa dan Prakrti. Akhirnya Samkhya disebut Pluralistis, karena mengajarkan bahwa Purusa itu banyak sekali. Tentang kebenaran Tuhan Yang Mahaesa tidak perlu dibuktikan lagi, karena itu pula ajarannya disebut 'Nirisvara Samkhya'.

25 Tattwas Samkhya:

Menurut Samkhya bahwa hakekat manusia dan alam semesta terdiri dari dua unsur, yaitu : Purusa, asas kejiwaan (rohani) dan Prakrti, asas badani (material / jasmani). Selanjutnya kedua asas ini, terutama setelah Purusa bertemu dengan Prakrti, berkembanglah Prakrti itu sebagai unsur penyusun tubuh manusia maupun alam semesta, yang keseluruhannya terdiri dari 25 prinsip (Tattwas), sebagai berikut :

Purusa adalah asas kejiwaan yang kekal, berdiri sendiri dan tidak berputar. Jumlah Purusa tidak terbilang, berbeda dengan Upanisad, Samkhyatidak mengakui adanya satu jiwa yang bersifat Universal, yang kemudian dantaranya menjadi jiwa individu. Prakrti adalah sebaab terakhir dari alam semesta ini, semua obyek di dunia ini, baik badan, pikiran, prasaan adalah terbatas dan merupakan serentetan dari suaru sebab. Sebab terakhir inilah yabng desebut Prakrti dalam ajaran Samkhya.

Triguna :

Prakrti dibangun oleh Tri Guna, yaitu: Sattwa, Rajas dan Tamas. Guna artinya unsur atau komponen penyusuanan. Tri Guna itu tidak dapat diamati dengan indrya. Adanya disimpulkan atas obyek dunia ini yang merupakan akibat dari padanya. Karena adanya kesamaan asas, antara akibat dan sebab, maka dapat ketahui sifat-sifat Guna itu dari alam yang merupakan wujud hasil dari padanya. Semua obyek dunia ini mempunyai tiga sifat, yaitu sifat-sifat yang menimbulkan rasa senang, susah dan netral. Seseorang menyanyi karena girang, dapat menyusahkan orang yang sedang sakit, seperi sakit gigi, tak berpengaruh apapun bagi mereka yang apatis. Sebab semua sifat ini merupakan akibat suatu sebab, maka sifat-sifat itu haruslah terkandung pada sebab itu. Demikianlah sifat-sifat itu terkandung dalam Sattwam, Rajas dan Tamas. Tattwa adalah suatu Prakrti yang merupakan alam kesenangan yang ringan, terang dan bercahaya. Wujudnya berupa kesadaran, sifat ringan yang menimbulkan gerak ke atas, angin dan air di udra dan semua bentuk kesenagan seperti kepuasan, kegirangan dan sejenisnya itu. Rajas adalah unsur yang menyebabkan benda atau makhluk bergerak. Rajas menyebabkan api berkobar angin berhembus, dan pikiran berkeliaran kesana-kemari dan yang sejenis dengan itu. Tamas adalah unsur yang menyebabkan sesuatu menjadi pasif, dan bersifat negatip. Ia bersifat keras, menentang aktivitas, menahan gerak pikiran, sehingga menimbulkan kegelapan, kebodohan, mengatarkan seseorang pada bebingungan. Karena menentang aktivitas, menyebabkan seseorang menjadi malas, acuh, suka tidur. Demikianlah sifat-sifat Tri Guna itu. Karena dunia ini terdapat saksikan selalu ada pertentangan dan kerja sama dalam kesatuan. Ketiga guna ini selalu bersama-sama dan tidak pernah berpisah satu dengan yang lain. Tidak dapat hanya salah satu dari padanya membangun benda-benda atau makhluk di dunia ini. Kerja sama ketiga guna itu laksana minyak, sumbu dan api yang bersama-sama menyebabkan adanya nyala lampu, walaupun masing-masing elemen itu berbeda-beda, yang sifatnya bertentangan. Ketiga guna berubah terus menerus. Ada dua perubahan bentuk tri Guna itu, yaitu Swarupaparinam dan Wirupaparinama. Pada waktu Pralaya masing-masing guna berubah pada dirinya sendiri. Tanpa mengganggu yang lain. Perubahan seperti ini disebut Swarupaparinama. Pada waktu demikian tidak mungkin ada ciptaan, karena tidak ada kerja sama antara ketiga guna itu. Namun bila Guna yang satu menguasai yang lain, maka terjadilah suatu penciptaan. Perubahan ini disebut Wirupaparinama.

Alam semesta

Setiap orang merasa bahwa ia bahwa ia ada dan memiliki sesuatu, rasa akan dirinya ada adalah rasa yang alamiah dan pengalaman yang tidak dapat diragukan lagi, karena itu Samkhyamengatakan, bahwa Roh itu ada, karena itulah yang menjelma, dan ketiadaanya tidak dapat dinyatakan dengan jalan apapun juga. Menurut ajarannya Samkhya roh itu berbeda dengan indrya, pikiran dan akal. Ia bukan dunia obyek. Ia adalah semangat kesadaran yang selalu menjadi subyek pengetahuan dan tidak pernah menjadi obyek pengetahuan.

Tentang adanya Purusa atau roh dinyatakan oleh Samkhya sebagai berikut :

1) Benda-benda dunia ini seperti meja, kursi adalah untuk mengetahui kepentingan suatu yang lain dirinya sendiri. Sesuatu yang berkepentingan, haruslah sesuatu yang sadar, benda-benda duniawi ini sebagai sarana pemenuhan kepentingannya. Itulah Purusa, yang sadar.

2) Semua obyek dunia ini pikiran, dan kecerdasan harus diawasi dan diarahkan oleh suatu kesadaran agar ia dapat mencapai tujuannya. Karena itu haruslah ada suatu yang mengarahkan obyek dunia, dan adalah Purusa.

3) Semua manusia berusaha mendapatkan kalepasan. Hal ini menyatakan, bahwa ada sesuatu yang dapat mencapai kelepasan itu. Itulah Purusa.

4) Semua obyek dunia, membersihkan rasa senang, susah atau netral. Rasa senang susah hanya ada artinya bila ada yang dapat mengalaminya. Itulah Purusa.

Menurutnya Samkhya, Purusa itu banyak jumlahnya, yang masing -masing berhubungan dengan satu badan. Adanya banyak Purusa itu berdasarkan atas pertimbangan-petimbangan berikut :

Adalah jelas adanya perbedaan yang hidup dengan yang mati. Kelahiran atau kematian seseorang, tidak berarti kelahiran atau kematian orang lain. Demikian pula halnya dengan keadaan buta, tuli. Jika semua orang mempunyai satu roh (Purusa) yang sama, maka kelahiran atau kematian seseorang akan menyebabkan kelahiran atau kematian orang lain. Demikian pula halnya dengan buta dan tuli, tetapi kenyataanya tidak demikian, karenanya Purusa itu tidak satu, tetapi banyak jumlahnya.
Jika seandainya ada satu Purusa untuk semua makhluk, maka aktivitas seseoarang, haruslah menyebabkan orang lain aktif tetapi kenyataanya, bila seseorang tidur yang lain mengigau, gelisah atau resah.
Manusia laki-laki atau perempuan berbeda dengan dewa-dewa, demikian pula burung-burung dengan binatang buas. Perbedaan itu akan hilang, seandainya ada satu Purusa, karenanya haruslah ada banyak Purusa.

Tentang adanya Prakrti sebagai sebab terakhir dapat diketahui dari kesimpulan berikut ini:

1) Obyek dunia ini dari intelek sampai dengan berbagai benda di dunia ini adalah terbatas dan bergantungan satu sama lain. Karenanya haruslah ada yang tidak terbatas dan yang bebas dari ketergantungan sebagai asal dari yang ada ini.

2) Benda-benda dunia ini mempunyai sifat-sifat umum tertentu, yang menyebabkan pemilik-pemilikya dapat menjadi senang, susah, netral, karena semuanya itu haruslah mempunyai sumber yang sama dari ketiga sebab ini.

3) Semua sebab itu mengalir dari suatu aktivitas dari suatu sebab yang mengan-dung potensi di dalamnnya. Oleh karena semua obyek dunia ini haruslah mengandung suatu unsur sebab.

4) Suatu akibat timbul dari sebabnya dan kemudian ia mempunyai akibat yang menyusul. Maka suatu obyek pengalaman itu timbul dari suatu sebab dan sebab itu timbul dari sebab lagi. Begitulah seterusnya sampai pada sebab pertama. Pada waktu peleburan unsur-unsur badani akan lebur menjadi atom-atom, atom-atom menjadi tenaga dan seterusnya sampai sebab pertama.

Sebab pertama atau yang terakhir ini adalah Prakrti. Tentang penciptaan (evolusi) alam semesta dinyatakan demikian : Bila Purusa bertemu dengan Prakrti, maka Prakrti akan mengembang menjadikan alam semesta ini, sepertinya anggota badan ini dapat bergerak karena hadirnya pikiran. Evolusi alam semesta ini tidak mungkin terjadi hanya karena Purusa, Karena Purusa itu bersifat pasif. Tidak juga hal itu dapat terjadi karena Pakrti saja, sebab Prakrti tanpa kesadaran. Karena pertemuan Purusa dengan Prakrti alam semesta ini dapat terwujud. Hubungan Purusa Prakrti ini adalah seperti kerjasama orang lumpuh dengan orang buta untuk dapat keluar tahun, Mereka bekerjasama untuk mencapai tujuannya. Hubungan antara Purusa dan Prakrti menyebabkan terganggunya keseimbangan alam Tri Guna, yang mula-mula terganggu ialah Rajas yang menye-babkan Guna yang lain ikut terguncang pula. Masing-masing Guna itu berusaha mengatasi kekuatan Guna lainya. Terjadilah pemisah dan pernyataan Tri Guna itu yang menyababkan munculnya obyek yang kedua ini, yang pertama terjadi dari Prakrti adalah mahat ( benih alam semesta) dan Buddhi ( unsur intelek manusia ). Fungsi Buddhi ialah untuk memberikan pertimbangan dan memutuskan segala yang datang dari alat-alat yang lebih rendah dari dirinya. Dalam keaadaanya yang murni, ia bersipat Dharma, Jnana, Wairagya, Aiswarya, yaitu kebajikan, pengetahuan, tidak terikat dengan keinginan, dan kemahakuasaan ( Ketuhanan ). Keempatnya ini disebut Catur Aiswarya yang mencerminkan kesadaran Roh ( Purusa ).

Ahamkara atau rasa aku adalah hasil Prakrti yang ketiga, ia langsung timbul dari mahat dan merupakan menifestasi petama dari mahat. Fungsi Ahamkara ialah merasakan rasa Aku. Dengan Ahamkara sang Diri merasa memiliki. Sesuai dengan Tri Guna, Maka Ahamkarapun terdiri dari tiga macam, yaitu : Ahamkara Sattwika bila unsur Sattwam yang unggul, Ahamkara Rajasika bila unsur Sattwam yang unggul, Ahamkara rajasika bila unsur Tamas yang unggul. Dari Ahamkara Sattwika timbullah Panca Jnanendrya, Panca Karmedrya dan Manas. Dari Ahamkara Rajsika memberikan tenaga baik pada satwika maupun Tamasika untuk merubah Manah bertindak. Panca Tan Matra adalah sari-sari benih suara, sentuhan, warna, rasa dan bau. Semuanya ini hanya diketahui orang akibat yang ditimbulkannya sedangkan dia sendiri tidak dapat dikenal karena amat alusnya. Dari suara terjadilah akasa. Dari sentuhan dan suara terjadilah udara. Dari benih warna, suara dan sentuhan terjadilah air, Dan dari benih bau dan empat Tan Matra yang lain terjadilah bumi. Dari semua anasir kasar itu berkembanglah alam semesta ini dengan segala isinya, namun perkembangan ini tidak menimbulkan asas-asas baru lagi seperti perkembangan Mahat. Alam semesta ini adalah benda-benda yang dijadikan bukan benda-benda yang menjadika. Suatu asas lagi setelah terbentuknya alam semesta ini belumlah sempurna sampai disitu, sebab ia memerlukan adanya dunia roh yang menjadi saksi dan yang menikmati isi alam ini. Bila Roh nyata ada maka perlulah adanya penyesuaian moral, kenikmatan dan kesusahan hidup ini. Evolusi Prakrti menjadi dunia obyek memungkin Roh nikmat atau menderita sesuai dengan baik buruk perbuatnya. Namun tujuan akhir evolusi Prakrti adalah kelepasan.

Tri Pramana

Menurut Samkhyavada tiga sumber untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, yaitu : Pratyaksa Pramana, Anumana Pramana dan Sabda Pramana.

1) Pratyaksa Pramana ( pengetahuan melalui pengamatan ). Pengetahuan itu dipandang benar bila pengenalan terhadap obyek itu pasti dan benar melalui penentuan Buddhi. Sang Diri akan mengetahui sesuatu obyek melalui Buddhi Sang diri akan mengetahui sesuatu obyek melalui buddhi ,manah dan Indrya. Dalam pengetahun yang benar itu terdapat tiga anasir, ialah : subyek, obyek dan sumber pengetahuan itu. Subyek adalah asas kesadaran yang tidak lain adalah Roh itu sendiri. Pengetahuan atau pengamatan langsung pada obyek dengan perantaraan indrya. Bila ada sebuah obyek, misalnya meja pada wilayah pandangan mata, itu berarti ada hubungan antara meja dengan indrya mata, Meja itu menghasilkan sesuatu kesan yang kemudian dianalisa oleh pikiran. Melalui kegiatan indrya, pikiran dan buddhi menjadikan kesan itu sebagai kesan meja. Ada dua macam pengamatan ; yaitu :

Nirwikalpa dan wikalpa . Pengamatan Nirwikalpa adalah pengamatan yang tidak menentukan. Ia timbul sebagai peristiwa pertama pada hubungan antara indrya dengan obyek dan mendahului semua analisa mental. Pada tahap yang demikian hanya ada pengenalan obyek sebagai sesuatu bukan sebagai benda atau benda itu. Pengamatan yang wikalpa adalah pengamatan yang menentukan. Ia merupakan hasil analisa, sintesa dan interpretasi alam pikiran. Ia adalah pengalaman obyek yang pasti sebagai benda tertentu yang memiliki kualitas tertentu dengan benda-benda yang lain.

2) Anumana Pramana; Pengetahuan yang didapat dengan Anumana Pramana adalah pengetahuan yang di dapat atas dasar kesimpulan. Dalam hal ini apa yang diamati akan mengantarkan seseorang pada pengetahuan yang tidak diamati lansung melalui hubungan universal, untuk kedua pengetahuan itu yaitu : pengetahuan yang didapat atas dasar pengamatan langsung dan yang tidak langsung. Bila seseorang melihat ada asap maka dapat disimpulkan disana ada api. Seseorang mengetahui adanya api karena adanya hubungan asap dengan api.

3) Sabda Pramana; Sabda Pramana ialah pernyataan dari yang kuasa dan memberikan pengetahuan terhadap suatu obyak yang tidak dapat diketahui atas dasar pengetahuan pengamatan dan penarikan kesimpulan. Suatu pernyataan adalah kalimat yang dibangun dari beberapa kata dalam susunan tertentu. Sebuah kata adalah tanda yang menyatakan sesuatu dan artinya adalah benda yang dinyatakan. Demikianlah sepatah kata adalah simbul dari suatu obyek untuk mengartikan suatu kalimat, memerlukan pengertian dari kata yang menyusunnya.

Ajaran tentang Moksa ( kelepasan )

Ajaran tentang Moksa atau kelepasan merupakan tujuan akhir dari filsafat Samkhya. Hidup di dunia ini adalah campuran antara senang dan susah. Banyak kesenangan dapat dinikmati, banyak pula kesusahan dan sakit yang diderita orang. Bila seseorang dapat menghindar dari kesusahan dan sakit, maka ia dapat menghindarkan diri dari ketentuan dan kematian. Ada tiga macam sakit dalam hidup ini, yaitu : Adhyatmika, Adibhautika dan Adidaivika. Adhyatmika adalah sakit karena sebabnya dari dalam badan sendiri seperti kerja alat-alat tubuh yang tidak normal dan gangguan perasaan. Dengan demikian ia merupakan gangguan jasmani dan rohani seperti sakit kepala, takut marah dan sebagainya. Adibhautika adalah sakit (Vyadhi) yang disebabkan oleh faktor ,luar tubuh, seperti terpukul, kena gigitan nyamuk dan sebagainya. Adidaiwika adalah penyakit (Vyadhi) yang disebabkan oleh kekuatan gaib seperti setan, hantu dan lain-lainnya. Tidak seorangpun yang ingin menderita sakit semuanya ingin hidup bahagia. Lepas dari susah dan sakit tetapi kenyataanya tidaklah demikian. Selama orang masih berbadan lemah, selama itu sukha dan dukha, sakit dan sehat selalu berdampingan. Dengan demikian itu suka dan dukha. Sakit dan sehat selalu berdampingan. Dengan demikian tidak perlu bercita-cita hidup yang menyenangkan terus, cukup hidup yang normal, biasa-biasa saja dengan berusaha melepaskan penderitaan atas dasar pikiran yang sehat. Dalam ajaran Samkhyakelepasan itu adalah penghentian yang sempurna dari semua penderitaan. Inilah tujuan terkhir dari hidup kita.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memperingan hidup kita, namun tidak dapat melepaskan kita dari penderitaan sepenuhnya. Samkhyamengajarkan bahwa cara mencapai kelepasan itu ialah melalui pengetahuan yang benar atas kenyataan dunia ini. Tiadanya pengetahuan itulah yang menyababkan seseorang menderita. Dalam banyak hal orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang hukum alam dan hukum kehidupan terbentur pada masalah yang membawanya pada kesedihan. Berbeda halnya dengan orang-orang berpengetahuan akan menerima dan menikmati kenyataan hidup ini. Namun karena pengetahuan terhadap kenyataan itu tidak sempurna, maka ia tidak sepenuhnya lepas dari penderitaan. Kelepasan itu hanya akan dicapai bila pengetahuan terhadap kenyataan itu sudah sempurna.

Menurut Samkhya Roh ( Purusa ) itu bukan badan, dan badan selalu ingin dipuakan. Menyamakan roh dengan badan adalah kebodohan, kebodohan adalah akar penderitaan. Kelepasan tercapai bila seseorang menydari perbedaan itu. Untuk mencapai bila seseorang menyadari perbedaan itu. Untuk menyadari hal itu denagan sempurna perlu latihan rohani dan renungan kebatinan yang terus menerus. Ajaran tentang hal ini diuraikan dalam ajaran Yoga. Dua macam kelepasan itu, yaitu Jiwanmukti, yakni kelepasan Roh selama hidup ini, dan Widehamukti, yakni kelepasan ( Moksa ), terlepasnya Atman (roh) dari ikatan badan kasar dan badan halus ( Sthula dan Suksma sarira ). Inilah tujuan filsafat Samkhya. Pertemuan Purusa dengan Prakrti disebut Samyoga, Purusa merupakan sinarnya Prakrti disebut Bhokta. Dan Sifat Prakrti yang tidak pernah diam disebut Samyawastha. Kebodohan disebut Awiweka dan pengetahuan untuk membedakan Purusa dan Prakrti (Roh dan badan, yang kekal dan yang sementara/Ksanika)disebut Wiwekajnana. Inilah ajaran yang mendasar dalam Samkhya.

Suksma
Om Santih Santih Santih Om