Wednesday, September 7, 2016

Suksmaning Ngelawang

Om Swastyastu

Bertepatan dengan Hari Suci Galungan (07/09/2016), di Desa Pakraman Kedisan-Kintamani diadakan Upacada Ngelawang.

Seni pentas ngelawang dilakukan untuk merayakan kemenangan Dharma atas Adharma. Ngelawang merupakan sajian seni pertunjukan yang memiliki makna sakral, namun tak sedikit orang mengatakan bahwa pertunjukan ini unik. Biasanya berlangsung secara sporadis menyibak ruang dan waktu.

Ngelawang adalah suatu tradisi yang sudah ada dari jaman dahulu dan menjadi warisan budaya masyarakat Bali masa kini. Namun ngelawang mempunyai arti lebih luas lagi yaitu sebagai penolak bala, karena ngelawang mementaskan tarian barong yang merupakan perwujudan dari suatu binatang seperti: babi hutan (bangkal/bangkung), gajah, lembu, macan dan sebagainya yang diyakini oleh masyarakat sebagai perwujudan atau manifestasi dari Dewa Siwa yang menjadi jiwa barong tersebut.

Namun belakangan ini, tradisi ngelawang berkembang menjadi suatu tradisi pementasan atau pertunjukan yang tujuannya hanya sebagai pengembangan rasa seni yang dilakoni oleh anak-anak untuk mendapatkan imbalan sekedarnya dengan mengusung barong yang tidak disakralkan.

Sesunguhnya tradisi ngelawang merupakan suatu tradisi yang mengandung ajaran etika, serta banyak mengandung nilai-nilai magis.

Kata NGELAWANG berasal dari kata LAWANG yang berarti pintu, rumah ke rumah atau bisa saja dari desa ke desa yang biasanya menggunakan barong bangkung sebagai media utamanya dan diiringi oleh gamelan bebarongan atau gamelan batel.

Konon pementasan ngelawang ini dipercaya dapat mendatangkan berkah, keselamatan, ketenangan batin dan kedamaian bagi umat Hindu. Pentas ngelawang bisa dilakukan sejak pagi hari sedang hangat, siang sedang menghentak maupun sedang gelapnya malam. Ini berlangsung secara komunal, akrab dan santai tanpa sekat antara pelaku seni dan penonton. Mungkin saja hadir di bale banjar sekitar desa sendiri, di tengah pasar, di bawah kerindangan pepohonan, di depan rumah penduduk bahkan di tengah jalan yang tentunya pementasan ini hadir di hari-hari saat Galungan dan Kuningan itu masih terasa di benak mayarakat yang ada di desa.

Sumber-sumber dalam pustaka lontar yang membahas mengenai tradisi ngelawang secara spesifik sampai sejauh ini belum ditemukan, namun ada kata yang mempunyai makna sama dengan ngelawang yakni kata “menmen” dalam Lontar Siwa Gama yang berarti pemain dan berasal dari kata “men” yang berarti menghibur. Kemudian kata ini berkembang menjadi “amen” yang berarti mengasikan atau bergembira. Mungkin kata ini yang berkembang menjadi “pengamen” dalam Bahasa Indonesia yang lumrah dipakai seperti sekarang ini.

Dalam lontar “Barong Swari” diceritakan bahwa Betara Siwa mengutuk Dewi Uma turun ke dunia menjadi Dewi Durga. Selama berada di dunia, Dewi Durga melakukan tapa semadi. Diceritakan, saat Dewi Durga bersemadi menghadap ke arah utara, maka muncullah wabah penyakit yang disebut gering lumintu. Wabah mematikan ini menyerang sekalian manusia penghuni dunia.

Lalu, ketika Dewi Durga bersemadi menghadap ke barat, munculah wabah penyakit yang disebut gering hamancuh. Ketika bersemadi menghadap ke selatan, muncul wabah gering rug bhuana. Dan saat bersemadi menghadap ke timur, terjadilah wabah gering muntah mencret.

Banyak penghuni bumi yang meninggal dunia karenanya. Hal ini membuat gundah Sang Hyang Tri Murti (Brahma, Wisnu, dan Siwa). Beliau kemudian turun ke dunia dan masing-masing berubah wujud. Betara Brahma menjadi topeng bang, Wisnu berubah wujud menjadi telek, dan Siwa menjadi barong.

Sampai kini, memang belum ada yang dapat memastikan asal-usul barong secara pas. Namun, itu bukanlah hal yang perlu dirisaukan, sebab masyarakat Hindu Bali, dengan keyakinannya yang sangat tebal, tetap menjadikan barong sebagai sungsungan yang akan memberikan mereka rasa aman dan keselamatan. Bagi mereka, barong adalah cerminan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala aspek dan manifestasinya.

Itulah sebabnya sampai kini masyarakat Hindu Bali masih tetap menjadikan barong sebagai sungsungan dan diperlakukan penuh dengan rasa hormat dan semangat pengabdian yang tinggi. Keyakinan akan kekuatan gaib yang dimiliki barong menyebabkan di beberapa desa di Bali sering dilangsungkan “barong ngelawang“,yaitu kegiatan pertunjukan barong mengelilingi desa. Pada saat itu banyak penduduk yang meminta rombongan barong tersebut beratraksi di depan rumah mereka, kemudian menghaturkan canang dengan sesari sejumlah sesari seikhlasnya.

Kalau direnungkan lebih dalam, maka akan terlihat di sini bahwa tujuan dari barong ngelawang itu, di samping untuk mengusir penyakit (gering), juga dimaksudkan untuk merayakan kemenangan dharma melawan adharma.

Di Bali, sampai saat ini sudah tercatat ada 17 jenis barong. Bentuknya ada yang berupa hewan dan ada juga yang menyerupai manusia. Barong-barong tersebut adalah barong ket, barong bangkal, barong asu, barong macan, barong gajah, barong landung, barong brutuk, barong kedingkling, barong dawang-dawang, barong gegombrangan, barong sae, barong kambing, barong singa, barong lembu, barong jaran, barong manjangan, dan barong nagasari.

Tari Barong adalah tarian khas Bali yang berasal dari khazanah kebudayaan Pra-Hindu. Tarian ini menggambarkan pertarungan antara kebajikan (dharma) dan kebatilan (adharma). Wujud kebajikan dilakonkan oleh Barong, yaitu penari dengan kostum binatang berkaki empat, sementara wujud kebatilan dimainkan oleh Rangda, yaitu sosok yang menyeramkan dengan dua taring runcing di mulutnya.

Ada beberapa jenis Tari Barong yang biasa ditampilkan di Pulau Bali, di antaranya Barong Ket, Barong Bangkal (babi), Barong Gajah, Barong Asu (anjing), Barong Brutuk, serta Barong-barongan. Namun, di antara jenis-jenis Barong tersebut yang paling sering menjadi suguhan wisata adalah Barong Ket, atau Barong Keket yang memiliki kostum dan tarian cukup lengkap.

Kostum Barong Ket umumnya menggambarkan perpaduan antara singa, harimau, dan lembu. Di badannya dihiasi dengan ornamen dari kulit, potongan-potongan kaca cermin, dan juga dilengkapi bulu-bulu dari serat daun pandan. Barong ini dimainkan oleh dua penari (juru saluk/juru bapang); satu penari mengambil posisi di depan memainkan gerak kepala dan kaki depan Barong, sementara penari kedua berada di belakang memainkan kaki belakang dan ekor Barong.

Demikian ulasang singkat tentang Suksmaning dari Upacara Ngelawang. Semoga kita semua sehat rahayu dan semua mahluk menjadi Santih.

Om Santih Santih Santih Om
*Kontributor: I Wayan Sudarma

No comments: