Salam Kasih
TANGGAL 1 Suro adalah permulaan tahun baru Jawa. 1 Suro bersamaan
dengan 1 Muharam dalam kalender Hijriah tahun Islam. Dulu, di beberapa
kota di Jawa bahkan tahun barunya, ya, 1 Suro, bukan tahun baru Masehi.
...
Sebagai pergantian tahun, 1 Suro tidak disambut dengan perayaan seperti
halnya pergantian tahun masehi, tetapi dalam paham budaya Jawa,
kesempatan ini adalah dimulainya kehidupan baru. Maka, harus disambut
dengan penuh perenungan, instropeksi, atau melihat ke dalam apa yang
sudah dilakukan selama setahun silam.
Intinya adalah
mendekatkan diri, eling (ingat) kepada Tuhan yang telah memberi
kesempatan kepada kita semua untuk lahir, hidup dan berkiprah didunia
ini. Oleh karena itu, penyambutan 1 Suro suasananya khusuk khusuk.
Untuk itu, ekspresinya bisa dilakukan dengan berbagai cara, dengan
maksud utama adalah untuk tirakat. Di berbagai tempat dilakukan dengan
cara berbeda-beda. Itu tergantung dari kemantapan batin yang menjalani
dan bisa juga sesuai dengan tradisi masyarakat setempat. Misalnya dengan
cara lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk) di malam 1 Suro untuk
perenungan.
Ada pula yang menuju tempat-tempat sakral untuk
merenung, semedi, dan laku spiritual lainnya untuk membersihkan diri,
dengan harapan mendapat kecerahan hidup. Di sini, 1 Suro berarti
peralihan waktu atau tahun, di tahun baru masyarakat Jawa berdoa untuk
harapan-harapan hidup lebih baik.
Oleh karena itulah, 1 Suro
dianggap sebagai waktu yang tepat untuk membersihkan diri, dan
membersihkan berbagai hal yang dianggap memiliki kekuatan, misalnya
seperti pusaka-pusaka.
Tak heran pada 1 Suro, banyak pemilik
pusaka anjamasi (memandikan) kerisnya, atau pusaka-pusaka lainnya.
Kraton Solo pun mengadakan upacara dan kirab pusaka, yang sangat
terkenal dengan kirab yang disertai dengan Kyai Slamet (kebo bule) yang
dianggap sebagai bagian dari pusaka kraton.
Tempat-tempat yang
biasanya menjadi tujuan untuk menyepi dalam rangka tirakat, antara lain
pantai selatan Jawa, seperti di sekitar kraton Solo dan Yogya, Pantai
Parangkusumo, Yogyakarta; Dlepih di kawasan Wonogiri yang dipercaya
sebagai tempat semedinya Raja Sultan Agung, Puncak Gunung Lawu, lereng
gunung Merapi dan Merbabu.
Selain itu masyarakat Jawa ada juga
yang mendatangi beberapa mata air, sendang (tasik) dan tempuran sungai
(pertemuan dua sungai) dipadati pengunjung untuk mandi sesuci di tengah
malam. Tempuran sungai dipercaya mempunyai daya gaib/energi yang lebih
kuat. Selain mandi, banyak yang berendam berlama-lama di sungai,
mengadakan tirakatan dipinggiran sungai sampai pagi hari.
Makam-makam dan petilasan orang-orang tua bijak, raja, pertapa yang
terkenal, banyak didatangi peziarah untuk melakukan doa kepada Tuhan dan
selanjutnya melakukan meditasi, dan berjapa.
Selain untuk
mendekatkan diri, masyarakat Jawa juga mengucapkan rasa syukur kepada
Tuhan yang telah memberi rejeki dan semua nikmat. Rasa syukur itu di
berbagai daerah diekspresikan dengan berbagai cara, seperti sedekahan di
tempat-tempat tertentu, larungan atau labuhan di pantai, danau, atau
puncak gunung.
Ada juga yang melakukan kegiatan sebagai rasa
syukur atas keberhasilan di masa lalu dengan cara pentas wayang kulit,
ketoprak, dan kesenian tradisional lainnya. Semua itu intinya adalah
perenungan diri sendiri (introspeksi) sebagai hamba Tuhan.
Di sisi
lain, karena Suro sebagai saat-saat untuk tirakat, maka masyarakat
menghindari bulan ini untuk mengadakan perayaan, seperti pernikahan atau
perayaan lain.
Penyambutan 1 Suro bagi masyarakat Jawa sudah
berlangsung sejak jaman kuno. Yang menarik, perayaan ini bertepatan
dengan 1 Muharam dalam kalender Hijriah bagi umat Islam. Adanya
persamaan ini memang ada tonggak sejarahnya, yakni berkat kecerdasan
penguasa kerajaan Mataram Islam, yakni Sultan Agung (1613-1645 Masehi).
Sebelumnya orang Jawa terbiasa dengan kalender Saka yang didasarkan
pada peredaran matahari. Namun, ketika Islam masuk dan menjadi agama di
Mataram, dengan tetap menggunakan kalender Hijriah yang didasarkan pada
peredaran bulan, ini menimbulkan kegelisahan, bahkan ketakutan rakyat
karena adanya perbedaan dua kalender.
Melihat kondisi ini, maka
Sultan Agung membuat kebijakan mengubah tahun Saka menjadi Tahun Jawa.
Maka ketika tahun 1555 Saka, oleh Sultan Agung diganti menjadi tahun
1555 Jawa dan berlaku untuk masyarakat pengikutnya.
Penetapan
tanggal dan bulannya disamakan dengan tanggal dan bulan Tahun Hijriyah.
Berarti tanggal 1 Suro 1555 Tahun Jawa sama dengan tanggal 1 Muharram
1043 Hijriyah dan bertepatan pula dengan tanggal 8 Juli 1633 Masehi.
Perubahan ini dengan serta merta menjadi perayaan gabungan dua penganut
yang tetap saling menghargai.
Masyarakat Jawa hingga kini terus
merayakan pergantian itu. Namun, akibat perkembangan zaman, dan juga
dampak dari berbagai kepentingan yang sangat kompleks, lambat laun,
banyak masyarakat tidak lagi mengetahui dengan jelas di balik makna asal
tradisi budaya bulan Suro.
Mereka umumnya hanya ikut-ikutan,
seperti beramai-ramai menuju pantai, mendaki gunung, bercanda ria sambil
mengelilingi beteng, berbuat kurang sopan di tempat-tempat keramat dan
sebagainya. Maka tidak heran jika mereka menganggap bahwa bulan Suro
tidak ada bedanya dengan bulan-bulan lainnya. Di beberapa tempat, malah
digelar hiburan dangdut dengan goyangan hot para penyanyinya. Mereka
tidak paham 1 Suro yang seharusnya untuk menelisik diri (mulat sarira).
Rahayu _/|\_ I W. Sudarma
* Disunting dari berbagai sumber
No comments:
Post a Comment