Wednesday, December 19, 2012

1 SURO SAATNYA MELIHAT KEDALAM

Salam Kasih
TANGGAL 1 Suro adalah permulaan tahun baru Jawa. 1 Suro bersamaan dengan 1 Muharam dalam kalender Hijriah tahun Islam. Dulu, di beberapa kota di Jawa bahkan tahun barunya, ya, 1 Suro, bukan tahun baru Masehi.

... Sebagai pergantian tahun, 1 Suro tidak disambut dengan perayaan seperti halnya pergantian tahun masehi, tetapi dalam paham budaya Jawa, kesempatan ini adalah dimulainya kehidupan baru. Maka, harus disambut dengan penuh perenungan, instropeksi, atau melihat ke dalam apa yang sudah dilakukan selama setahun silam.

Intinya adalah mendekatkan diri, eling (ingat) kepada Tuhan yang telah memberi kesempatan kepada kita semua untuk lahir, hidup dan berkiprah didunia ini. Oleh karena itu, penyambutan 1 Suro suasananya khusuk khusuk.

Untuk itu, ekspresinya bisa dilakukan dengan berbagai cara, dengan maksud utama adalah untuk tirakat. Di berbagai tempat dilakukan dengan cara berbeda-beda. Itu tergantung dari kemantapan batin yang menjalani dan bisa juga sesuai dengan tradisi masyarakat setempat. Misalnya dengan cara lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk) di malam 1 Suro untuk perenungan.

Ada pula yang menuju tempat-tempat sakral untuk merenung, semedi, dan laku spiritual lainnya untuk membersihkan diri, dengan harapan mendapat kecerahan hidup. Di sini, 1 Suro berarti peralihan waktu atau tahun, di tahun baru masyarakat Jawa berdoa untuk harapan-harapan hidup lebih baik.
Oleh karena itulah, 1 Suro dianggap sebagai waktu yang tepat untuk membersihkan diri, dan membersihkan berbagai hal yang dianggap memiliki kekuatan, misalnya seperti pusaka-pusaka.

Tak heran pada 1 Suro, banyak pemilik pusaka anjamasi (memandikan) kerisnya, atau pusaka-pusaka lainnya. Kraton Solo pun mengadakan upacara dan kirab pusaka, yang sangat terkenal dengan kirab yang disertai dengan Kyai Slamet (kebo bule) yang dianggap sebagai bagian dari pusaka kraton.
Tempat-tempat yang biasanya menjadi tujuan untuk menyepi dalam rangka tirakat, antara lain pantai selatan Jawa, seperti di sekitar kraton Solo dan Yogya, Pantai Parangkusumo, Yogyakarta; Dlepih di kawasan Wonogiri yang dipercaya sebagai tempat semedinya Raja Sultan Agung, Puncak Gunung Lawu, lereng gunung Merapi dan Merbabu.

Selain itu masyarakat Jawa ada juga yang mendatangi beberapa mata air, sendang (tasik) dan tempuran sungai (pertemuan dua sungai) dipadati pengunjung untuk mandi sesuci di tengah malam. Tempuran sungai dipercaya mempunyai daya gaib/energi yang lebih kuat. Selain mandi, banyak yang berendam berlama-lama di sungai, mengadakan tirakatan dipinggiran sungai sampai pagi hari.
Makam-makam dan petilasan orang-orang tua bijak, raja, pertapa yang terkenal, banyak didatangi peziarah untuk melakukan doa kepada Tuhan dan selanjutnya melakukan meditasi, dan berjapa.

Selain untuk mendekatkan diri, masyarakat Jawa juga mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberi rejeki dan semua nikmat. Rasa syukur itu di berbagai daerah diekspresikan dengan berbagai cara, seperti sedekahan di tempat-tempat tertentu, larungan atau labuhan di pantai, danau, atau puncak gunung.

Ada juga yang melakukan kegiatan sebagai rasa syukur atas keberhasilan di masa lalu dengan cara pentas wayang kulit, ketoprak, dan kesenian tradisional lainnya. Semua itu intinya adalah perenungan diri sendiri (introspeksi) sebagai hamba Tuhan.
Di sisi lain, karena Suro sebagai saat-saat untuk tirakat, maka masyarakat menghindari bulan ini untuk mengadakan perayaan, seperti pernikahan atau perayaan lain.

Penyambutan 1 Suro bagi masyarakat Jawa sudah berlangsung sejak jaman kuno. Yang menarik, perayaan ini bertepatan dengan 1 Muharam dalam kalender Hijriah bagi umat Islam. Adanya persamaan ini memang ada tonggak sejarahnya, yakni berkat kecerdasan penguasa kerajaan Mataram Islam, yakni Sultan Agung (1613-1645 Masehi).

Sebelumnya orang Jawa terbiasa dengan kalender Saka yang didasarkan pada peredaran matahari. Namun, ketika Islam masuk dan menjadi agama di Mataram, dengan tetap menggunakan kalender Hijriah yang didasarkan pada peredaran bulan, ini menimbulkan kegelisahan, bahkan ketakutan rakyat karena adanya perbedaan dua kalender.

Melihat kondisi ini, maka Sultan Agung membuat kebijakan mengubah tahun Saka menjadi Tahun Jawa. Maka ketika tahun 1555 Saka, oleh Sultan Agung diganti menjadi tahun 1555 Jawa dan berlaku untuk masyarakat pengikutnya.

Penetapan tanggal dan bulannya disamakan dengan tanggal dan bulan Tahun Hijriyah. Berarti tanggal 1 Suro 1555 Tahun Jawa sama dengan tanggal 1 Muharram 1043 Hijriyah dan bertepatan pula dengan tanggal 8 Juli 1633 Masehi. Perubahan ini dengan serta merta menjadi perayaan gabungan dua penganut yang tetap saling menghargai.

Masyarakat Jawa hingga kini terus merayakan pergantian itu. Namun, akibat perkembangan zaman, dan juga dampak dari berbagai kepentingan yang sangat kompleks, lambat laun, banyak masyarakat tidak lagi mengetahui dengan jelas di balik makna asal tradisi budaya bulan Suro.

Mereka umumnya hanya ikut-ikutan, seperti beramai-ramai menuju pantai, mendaki gunung, bercanda ria sambil mengelilingi beteng, berbuat kurang sopan di tempat-tempat keramat dan sebagainya. Maka tidak heran jika mereka menganggap bahwa bulan Suro tidak ada bedanya dengan bulan-bulan lainnya. Di beberapa tempat, malah digelar hiburan dangdut dengan goyangan hot para penyanyinya. Mereka tidak paham 1 Suro yang seharusnya untuk menelisik diri (mulat sarira).

Rahayu _/|\_ I W. Sudarma
* Disunting dari berbagai sumber

No comments: