Thursday, November 17, 2011

TEOLOGI PŪJĀSTAVA (Mantram Pandita Hindu Di Bali)

Oleh: I Wayan Sudarma

Om Swastyastu

Sarasvatī namas tubhyaṁ varade Kāma-rūpiṇi,
siddhārambhaṁ kariśyāmi, siddhir bhavatu me sadā

Sarasvatīstava 1
Om Sang Hyang Sarasvatī, sembah kehadapan-Mu,
Yang melimpahkan anugrah, Yang mengubah wujud-Mu atas kemauan
Hamba akan memulai suatu usaha semoga berhasil,
Curahkan keberhasilan selalu terjadi pada hamba

Pendahuluan
Seorang pandita atau pamangku, demikian pula setiap pemuka umat, dan mereka yang terpelajar hendaknya memahami teologi (Brahmavidyā) dengan baik, sebab dengan pemahaman yang baik akan memudahkan melakukan pemujaan dengan penghayatanya yang mantap akan menumbuhkan ‘śraddhā dan ‘bhakti’ kepada Sang Hyang Widhi, Para Dewa, dan Roh Suci Leluhur. Peningkatan pemahaman terhadap teologi Hindu sekaligus juga mencakup teologi Pūjāstava, yakni mantram-mantram yang digunakan oleh pandita maupun pinandita atau pamangku perlu diusahakan terus menerus sehingga dalam mempersembahkan sesuatu tepat sasaran.

Pemahaman terhadap teologi Hindu hendaknya juga diikuti dengan upaya untuk menyucikan diri pribadi sebagai sarana untuk merealisasikan pemahaman dan penghayatannya itu. Penyucian yang mantap akan membuka atau memberi landasan yang kokoh dalam usaha menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi, Para Dewa dan Leluhur. Usaha tersebut merupakan Yoga, sebab Yoga tidak akan pernah dapat dilaksanakan apabila tidak dilandasai dengan kesuician diri, disiplin melakukan tapa-brata dan meningkatkan pemahaman terhadap ajaran agama. Tulisan singkat ini mengusahakan untuk mengetengahkan teologi Pūjāstava, yang merupakan himpunan dari para pandita Hindu di Bali. Sumber pengkajian tulisan ini adalah buku karya T. Goudriaan dan C. Hooykaas ‘Stuti and Stava (Bauddha, Śaiva, and Vaiṣṇava) of Balinese Brahman Priests’ (1971).


Pengertian Pūjā, Stuti, Stava, Stotra, dan Sêhê
Kata pūjā berasal dari urat kata pūj yang berarti menghormat, memuja, atau memuji. Kata pūjā berarti menghormati, utamanya Tuhan Yang Maha Esa, Para Dewa, dan Roh Suci Leluhur. Kata pūjā di atas menjadi kata puja di Indonesia yang artinya tidak jauh berbeda dengan kata asalnya, yakni Bahasa Sanskerta. Selanjutnya kata stuti atau stava berasal dari urat kata yang sama, yakni stu yang artinya juga sama dengan kata puja dalam Bahasa Indonesia. Di Indonesia terjadi perubahan kata karena kaedah bahasa yang berbeda. Orang Indonesia tidak bisa menyebutkan stava atau stuti (dua konsonan rangkap di depan) maka kata-kata tersebut berubah menjadi astava (astawa), Astuti, sedang kata sthāna menjadi istana dalam Bahasa Indonesia atau astana dalam Bahasa Jawa. Dengan demikian kata pūjā, stuti, stava, termasuk juga kata stotra mengandung arti yang sama yakni pemujaan. Dalam mempraktikkan pemujaan digunakan berbagai sarana, dan salah satu sarana yang terpenting adalah mantra. Oleh karena itu terbentuklah kata pūjāmantra. Oleh karena mantra disamakan dengan stuti, stava, atau stotra maka terbentuk pula kata pūjāstava, pūjāstuti, dan pūjāstotra, yakni memuja Tuhan Yang Maha Esa, Para Dewa, dan Roh Suci Leluhur dengan sarana mantra-mantra yang ditujukan untuk itu.

Selanjutnya adalah kata sêhê. Kata ini adalah kata Bahasa Bali. Di masa yang silam mantra-mantra dalam Bahasa Sanskerta diterjemahkan ke dalam Bahasa Bali dengan maksud memudahkan pemahaman serta memantapkan pemujaan kepada Sang Hyang Widhi, Para Dewa, dan Roh Suci Leluhur. Hampir di seluruh daerah termasuk di India juga mantra-mantra berbahasa Sanskerta itu diterjemahkan ke dalam bahasa lokal. Sêhê di Jawa disebut ujug-ujug merupakan sarana doa untuk mempersembahkan upacara yajña. Dalam pelaksanaan upacara yajña di Bali, umumnya para pandita menggunakan pūjāmantra atau pūjāstava, yakni menggunakan mantra-mantra berbahasa Sanskerta, sedangkan para pamangku menggunakan sêhê dalam Bahasa Bali, yakni doa atau mantra yang bersumber pada lontar Kusumadewa dan Sangkul Putih (Sang Akemul Putih) yang disebut sebagai pegangan (agem-ageman) pamangku.

Pengelompokan Īṣṭadevatāpūjā
Īṣṭadevatāpūjā atau Īṣṭadevatāmantra adalah mantra untuk devatā (Dewa) tertentu yang digunakan juga pada upacara tertentu, misalnya pada hari Sarasvatīpūjā, yakni hari untuk memuja Dewi Sarasvatī yang jatuh pada hari Sabtu Umanis Watugunung, maka mantra yang digunakan dalam upacara pemujaan kepada-Nya adalah mantra Sarasvatīstava atau Sarasvatipūjā. Demikian pula pada hari Śivarātri, yakni pemujaan kepada Dewa Śiva yang jatuh pada hari Purwanining Tilem Kapitu, maka mantra yang digunakan pada upacara tersebut adalah Śivastava atau Stuti Bhaṭāra Śiva. Bila pemujaan dilakukan di tepi pantai, maka mantra yang digunakan adalah Varuṇastava, dan seterusnya sesuai dengan devatā (Dewa) yang dimohon hadir pada saat itu.

Bila melihat perkembangan Agama Hindu di India maka Dewa-Dewa yang umum dipuja sebagai Īṣṭadevatā, yakni Dewa yang dimohon hadir dapat dikelompokan ke dalam 4 kelompok sesuai dengan paksa atau saṁpradaya yang berkembang di India, yaitu:
1). Śivastava yang digunakan untuk memuja Dewa Śiva oleh para penyembah Dewa Śiva yang disebut Śaivapakṣa, Śaivasaṁpradaya atau Śivāgama. Pengikut kelompok ini sangat dominan dan sangatbanyak jumlahnya hampir di seluruh India. Pada kelompok ini juga dipuja para Parivara Devatā, yakni keluarga Dewa Śiva, misalnya Dewi Parvatī atau Umā sebagai saktinya. Dewa Gaṇeśa dan Kumāra sebagai putranya, dan lain-lain, termasuk pula vahana atau kendaraan-Nya. Dewa Śiva juga dikenal memiliki seribu nama, oleh karena itu terdapat mantra Śivasahasranāma.

2). Viṣṇustava yang digunakan untuk memuja Dewa Viṣṇu oleh para penyembah Dewa Viṣṇu yang disebut Vaiṣṇavapakṣa, Vaiṣṇavasaṁpradaya atau Vaiṣṇavāgama yang jumlahnya di India juga hampir sama dengan pengikut Śaivapakṣa. Pada kelompok ini juga memuja para Parivara Devatā, yakni Śrī atau Lakṣmī, para avatara-Nya seperti Rāma, Kṛṣna, pengiringnya yang setia seperti Hanumān, dan kendaraannya seperti Garuda dan sebagainya. Juga terdapat mantra Viṣṇusahasranāma (seribu nama Viṣṇu.

3). Devīstava seperti Durgāstava untuk memuja Dewi Durgā oleh penyembah Dewi Durgā yang disebut pengikut Śakta atau Śaktī yang juga jumlahnya cukup banyak pengikutnya. Berbagai nama Durgā dipuja untuknya. Juga ditemukan Durgāsahasranāma yang lebih populer dengan Lalitāsahasranāma.

4). Brahmāstava digunakan untuk memuja Dewa Brahmā dan di India penyembah dewa ini sangat terbatas. Bahkan di seluruh India, hanya terdapat satu candi untuk memuja Dewa Brahmā terletak di Negara Bagian Maharasthra.

Dalam buku karya T. Goudriaan dan C. Hooykaas ‘Stuti and Stava (Bauddha, Śaiva, and Vaiṣṇava) of Balinese Brahman Priests’ (1971), kini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Penerbit Paramita Surabaya, 2004 ditemukan mantra sesuai dengan pengelompkan para Dewa dalam teologi Hindu, yakni Dewa-Dewa Trimūrti di samping Dewa-Dewa pada kitab suci Veda yang masih dipuja sampai saat ini. Mantra-mantra tersebut antara lain ditujuan kepada:
1) Dewa Brahmā atau Agni sebanyak 18 mantra (Goudriaan, et.al.1971:561, 562).
2) Dewa Viṣṇu sebanyak 17 mantra (Goudriaan, et.al.1971:572).
3) Dewa Śiva dalam bebeberapa jenis:
(1) Īśvara atau Maheśvara sebanyak 8 mantra (Goudriaan, et.al.1971:565).
(2) Maheśvara atau Īśvara sebanyak 38 mantra(Goudriaan, et.al.1971:567,568).
(3) Pasupati sebanyak 7 mantra (Goudriaan, et.al.1971:568).
(4) Rudra sebanyak 52 mantra (Goudriaan, et.al.1971:569,570).
(5) Śiva sebanyak 27 mantra (Goudriaan, et.al.1971:570).
(6) Mahādeva sebanyak 10 mantra (Goudriaan, et.al.1971:566-567).
(7) Gaṇeśa/Gaṇapati sebanyak 5 mantra (Goudriaan, et.al.1971:564).
4) Dewi Durgā sebanyak 11 mantra(Goudriaan, et.al.1971:564).
5) Sūrya atau Āditya sebanyak 43 mantra (Goudriaan, et.al.1971:561, 570, 571).
6) Yama sebanyak 5 mantra (Goudriaan, et.al.1971:572).
7) Ākāśa sebanyak 27 mantra (Goudriaan, et.al.1971:561, 562).
8) Bhairava sebanyak 25 mantra (Goudriaan, et.al.1971:562).
9) Brahmā sebanyak 13 mantra (Goudriaan, et.al.1971:563).
10) Buddha sebanyak 14 mantra (Goudriaan, et.al.1971:563).
11) Candra atau Soma sebanyak 12 mantra (Goudriaan, et.al.1971:563).
12) Devī Śrī/Durgā sebanyak 10 mantra (Goudriaan, et.al.1971:564).
13) Dhyāna sebanyak 9 mantra (Goudriaan, et.al.1971:564).
14) Gaṅgā sebanyak 11 mantra (Goudriaan, et.al.1971:565).
15) Gāyatrī sebanyak 21 mantra (Goudriaan, et.al.1971:565).
16) Kāla sebanyak 8 mantra (Goudriaan, et.al.1971:565-566).
17) Kāma sebanyak 4 mantra (Goudriaan, et.al.1971:566).
18) Kavaca/Pañjara 9 mantra (Goudriaan, et.al.1971:566).
19) Kubera sebanyak 5 mantra(Goudriaan, et.al.1971:566).
20) Liṅga sebanyak 11 mantra(Goudriaan, et.al.1971:566).
21) Pitṛ atau Pitrastava sebanyak 16 mantra (Goudriaan, et.al.1971:568).
22) Pṛthivī sebanyak 12 mantra (Goudriaan, et.al.1971:568).
23) Smara atau Kāma 13 mantra (Goudriaan, et.al.1971:570).
24) Varuṇa/Sāgara/Samudra sebanyak 9 mantra (Goudriaan, et.al.1971:571).
25) Vāsuki/Anantabhoga sebanyak 7 mantra (Goudriaan, et.al.1971:571).
26) Yama-Rāja sebanyak 5 mantra(Goudriaan, et.al.1971:572).

Berdasarkan jumlah mantra tersebut di atas, di samping mantra-mantra yang lepas atau tidak berkaitan langsung dengan devatā tertentu seperti di atas, menunjukkan bahwa mantra pemujaan kepada Dewa Śiva sangat dominan menonjol melebih mantra-mantra kepada Īṣṭadevatā lainnya.

Beberapa Pūjāstava & Makna Simbolis Penggambaran Devatānya
Berikut beberapa mantra yang sering digunakan dalam kegiatan sehari-hari.

4.1 Kramaning Sembah
1). Sembah Puyung (cakupan tangan kosong): Om ātma tattvātma Śuddha māṁ svāhā. - Om ātma, ātmanya kenyataan ini, sucikan hamba)

2). Sūryastava untuk mohon Kesaksian: Oṁ Ādityasya paraṁ jyoti, rakta-teja namo ’stu te, Śveta-paṅkaja-mādhyastha, Bhāskarāya namo ’stu te. - Om Hyang Widhi, sebagai kemegahan yang Agung putra Aditi,Ya Dikau dengan kilauan yang merah, sembah kehadapan-Mu;Dikau yang berdiri di tengah sekuntum teratai putih,sembah kehadapan-Mu, penyebar kesemarakan!

Sūrya adalah dewa matahari, ia dipuja sebagai wajah Agni di angkasa (Ṛgveda X. 7. 3), matanya Mitra dan Varuṇa, sebagai dewanya mata atau maha melihat, sebagai pengukur hari (Ṛgveda 1. 50.7), sebagai pencipta segalanya (Ṛgveda 1. 170. 4), sebagai planet angkasa (Ṛgveda X. 177. 1), sebagai roda (Ṛgveda 1. 175.4), pemusnah kegelapan, penyembuh orang sakit dan sebagai pandita (Purohita) bagi para dewa (Ṛgveda VIII. 90.12). Kata Svar (Svah) sebagai asal kata Sūrya. Ia juga disebut Divākara (Atharvaveda IV. 10. 5. Ia digambarkan sebagai laki-laki berkulit hitam kemerah-merahan, memiliki tiga mata dan bertangan empat, dua tangannya memegang bunga teratai, dan dua yang lainnya dalam sikap memberi anugrah. Ia duduk di atas bunga padma (teratai merah) dan dari seluruh tubuhnya memancar cahaya. Ia dipuja setiap hari oleh para rohaniwan melalui pembacaan Gāyatrī mantram.

Dalam Viṣṇu Purāṇa dinyatakan mempunyai istri bemama Sangnā, saudaranya ViŚvākarma, melahirkan tiga orang putra. Di dalam Bhaviṣya Purāṇa, ia disebut sebagai dewa tertinggi, sedang dalam Brahmā Purāṇa ia disebut memiliki 12 nama, sesuai dengan nama 12 Āditya (Dvadaśāditya). Kusir kreta dewa Sūrya benama Aruṇa, keretanya ditarik dengan 7 ekor kuda (mengingatkan warna cahaya yang dibiaskan) sedang dewi Candrā keretanya ditarik oleh 12 ekor kuda (mengingatkan 12 bulan setahun).

3). Menyembah Tuhan Yang Maha Esa sebagai Īṣṭadedvatā pada hari dan tempat persembahyangan tertentu (lihat mantram-mantram berikutnya): Oṁ nama deva adhisthanāya sarva vyāpi vai Śivāya, Padmāsana ekapratiṣṭhāya ardhanareśvaryai namo’ namaḥ. - (O Tuhan YME yang bersemayam pada tempat yang sangat luhur, kepada Sang Hyang Śiva yang sesungguhnya bersthana di padmāsana, sthana dari bunga teratai, kepada Ardhanarī (Tuhan YME) yang kami sembah).

4). Memohon anugrah-Nya (Tuhan YME sebagai pemberi anugrah: Om anugraha manohara deva dattānugrahaka, arcaṇam sarva pūjanaṁ namaḥ sarvānugrahaka, Deva-devī mahāśiddhi yajñāṅga nirmalātmaka, Lakṣmī Śiddhiśca dīrghāyuḥ nirvighna sukha vṛddhiṣca.- (Om Tuhan YME yang menarik hati pemberi anugrah, anugrah devatā yang maha agung, pujaan semua pujaan, hormat bakti hamba kepada Tuhan YME, sebagai pemberi anugrah)

5).Sembah penutup (cakupan tangan kosong): Oṁ deva s¬ūkṣma paramācintyāya namaḥ svāha. -(Om Hormat kepada devatā yang tidak terpikirkan, yang maha tinggi dan gaib.


4.2 Pemujaan kepada Īṣṭadedvatā tertentu pada pura tertentu.

1).Sembahyang di Pura Pamarajan Kamimitan.

Oṁ brahmā viṣṇu Īśvara devaṁ tripuruṣa Śuddhātmakaṁ
Tri-deva tri-mūrti-lokaṁ sarva vighna vinaŚanam.


(OM Hyang Widhi dalam wujud-Mu sebagai Brahmā, Viṣṇu, Īśvara. Tri Puruṣa Mahasuci, Trideva adalah Tri Mūrti, semoga hamba terbebas dari segala bencana)

2).Sembahyang di Pura Desa.

Om Īśānaḥ sarva-vidyāṇam Īśvaraḥ sarva-bhūtānām
Brahmaṇo ’dhi-patir Brahmā Śivo astu Sadāśiva

(Īśana raja semua pengetahuan, Penguasa atas semua mahluk,[Yang adalah] Brahmā, Raja dari para Brāhmaṇa, menyenangkan,Ya Sang Hyang Śiva yang Kekal !

3).Sembahyang di Pura Puseh

Oṁ Giri-mūrti mahā-vīryaṁ, mādeva-pratiṣṭhā liṅgam
sarva-deva-praṇamyanaṁ, sarva-jagat-pratiṣṭhanam.

(Om Hyang Widhi dalam wujud-Mu sebagai Dewa di Gunung yang suci dan jaya. Lingga adalah sthana Sang Hyang Mahādeva; semua devatā mumuja-Mu, merupakan yang menganugrahkan kepada semua para dewa, dasar-nya seluruh jagat raya).

4). Sembahyang di Pura Dalem atau tempat lainnya untuk memuja Dewi Durgā.

Oṁ Catur-divyā mahā-Śakti, catur-āśrame Bhaṭārī
Śiva-jagat-pati-devī, Durgā-ma-Śarīra-devī.

(Om Yang suci yang berada di empat tingkatan, yang berkekuatan besar, Devī, (untuk disembah) di dalam empat tingkat kehidupan; Śakti Sang Hyang Śiva, Penguasa Dunia, Devī Yang terwujud sebagai dewi Durgā).
Dalam mitologi Hindu Durgā dikenal sebagai dewi yang menyeramkan yang dianggap sebagai penjelmaan Umā atau Pārvatī dalam bentuk krodha. Dalam bentuknya yang menyeramkan Durgā dianggap sebagai manifestasi dari Kali. Di India pemujaan yang dilakukan bagi Durgā umumnya bertujuan untuk mendapatkan kemenangan dan keselamatan.

Durgā tercipta akibat terkumpulnya hawa amarah dan kemurkaan dewa-dewa, dewa Śiva dan Viṣṇu serta para dewa lainnya. Hal ini disebabkan karena ketika terjadi perang yang berlangsung ratusan tahun lamanya, antara para dewa melawan bala tentara asura. Indra adalah raja dari para dewa, sedangkan Mahisa merupakan kepala para asura. Kemudian Mahisa menjadi raja. Selanjutnya dewa-dewa yang kalah tadi mengangkat dewa Brahmā sebagai pemimpin, lalu bersama-sama menghadap Śiva dan Viṣṇu. Setelah mereka mendengar laporan para dewa itu maka murkalah keduanya. Akibat kemurkaan mereka itu, keluarlah suatu kekuatan yang besar dari Śiva dan Viṣṇu serta para dewa lainnya, yang kemudian bersatu sehingga terciptalah seorang wanita cantik (Rao, 1968:237). Dalam mythosnya itu diceritakan bahwa muka wanita itu berbentuk dari tenāga Śiva. Rambut dari tenāga Yama.

Tangan-tangannya timbul dari tenāga Viṣṇu. Dada terbentuk dari tenāga Candra. Perutnya dari Sūrya. Jari berasal dari Vasu. Giginya tumbuh karena kekuatan Prajāpati. Agni menyebabkan mata ketiga. Bulu mata berasal dari kekuatan fajar. Sedangkan Vayu dengan kekuatannya itu menimbulkan telinga (Knebel, 1906:237). Di situ disebutkan juga tentang pergulatan dengan Mahisasura bernama Durgāma, anak Ruru. Dia dapat memaksakan kehendaknya supaya dewa-dewa tinggal di hutan, sedangkan istri-istri Brāhmana diharuskan mempersembahkan mantra-mantra yang isinya memuja-muja dia. Brāhmana-Brāhmana dilarang mengadakan upacara keagamaan membaca kitab-kitab Weda dan lain-lain (Dowson, 1928, 860).

5). Sembahyang di Pura Prajāpati

Oṁ Brahmā Prajā-patiḥ Śreṣṭhaḥ, Svayambhūr Varado Guruḥ
Padma-yoniś Catur-vaktro, Brahmā sakalam ucyate.

(Dewa Brahmā, dewa Semua Mahluk, Dia Yang-Paling-Baik,Dia Yang-dilahirkan-secara-spontan (dengan sendirinya), Pemberi anugerah, Sang Hyang Guru; Dia Yang-dilahirkan dari Bunga-Teratai, Yang berwajah empat, demikianlah Brahmā Yang-Lengkap dan nyata disebutkan).

Pada mantra di atas, Dewa Brahmā disebut pencipta jagat raya (Prajāpati), Sva-yambhu (yang lahir dengan sendirinya). Disebut sebagai Guru pemberi anugrah, yang lahir dari bunga teratai dan memiliki wajah empat (empat arah). Dalam pengarcaanya Brahmā digambarkan dalam sikap berdiri atau duduk di atas padmāsana atau hamsāsana sebagai vāhananya. Brahmā disebut sebagai pencipta keindahan, seni usik, tari dan kerajinan, dan berbagai cabang seni lainnya. Brahmā dengan “catur mukha” (memiliki empat wajah) melambangkan penguasa alam semesta (ke empat penjuru alam semesta di bawah kuasa-Nya). “Catubhuja” (memiliki empat tangan) sebagai pencipta dan penguasa kitab suci (Caturveda). Angsa dewa Brahmā melambangkan penguasaan terhadap Vivekajñāna (yakni kemampuan untuk membedakan yang baik dan buruk, salah dan benar). Disebutkan pula bahwa Brahmā tinggal di hutan Tulasi (Brahmā-Vṛṇda), yang dimaksud tiada lain adalah seluruh alam semesta ini sebagai tempat tinggalnya (Danielou, 1964: 237).

6). Pemujaan kepada Dewa Śiva melalui bangunan Padmāsana

Ākāśaṁ nirmalaṁ Śūnyaṁ, guru-deva vyomãntaram
Śiva-nirvāṇa-vīryaṇaṁ, rekhā Oṁkāra vijayam.
(Penguasa) langit, tak-ternoda dan kosong,Sang Hyang Guru yang suci, di bagian-dalam langit;sorga Sang Hyang Śiva yang tertinggi, berwatak kepahlawanan [dilambangkan dengan] suku-kata Oṁ, yang jaya).

Sang Hyang Śiva digambarkan sebagai penguasa langit yang suci dan kosong, disebut juga sebagai Bhaṭāra Guru. Berdasarkan uraian tersebut dalam gambar (Citradevatā) Sang Hyang Śiva tubuhnya agak kebiru-biruan (warna langit) dan digambarkan juga sebagai Prāṇava atau Omkara.

7). Sembahyang di pura Sagara (Samudra)

Nāgëndra krūra-mūrtiṇaṁ, gajëndra matsya-vaktraṇam
Bruṇa-deva-ma-sārīram, sarva-iagat-Śuddhātmakam.

(Om Hyang Widhi, wujud-Mu menakutkan sebagai raja para ular,Raja para Gajah dengan moncong ikan; yang berwujud sebagai dewa Vāruṇa,Yang Mahasuci, hamba memuja-Mu).

8). Sembahyang di Pura Ulundanu, Ulusui, atau mata air.

Śrī dhana-devīkā ramyā, sarva-rūpavatī tathā
sarva-jñāna-maṇiś cāiva, Śrī Śrī-devī namo ’stu te.

(Om Hyang Widhi sebagai Devī Śrī, Devī kekayaan yang menarik,Yang juga memiliki seluruh keindahan dan kecantikan,Ia adalah benih bagaikan sebutir mutiara dari pengetahuan;Ya Devī Śrī Yang-Patut-Dimuliakan, sembah kehadapanMu)

9). Sembahyang kepada Sang Hyang Sarasvatī

Sarasvatī namas tubhyaṁ varade Kāma-rūpiṇi,
vidyārambhaṁ kariṣyāmi, siddhir bhavatu me sadā

(Om Sang Hyang Sarasvatī, sembah kehadapan-Mu,Yang melimpahkan anugrah, Yang mengubah wujud-Mu atas kemauan, Hamba akan memulai suatu usaha semoga berhasil,Curahkan keberhasilan selalu terjadi pada hamba).

10).Sembahyang kepada Mahārṣi Agung Pemuka Para Pandita (Dvijendra)

Dvijëndra-pūrvaṇaṁ Śivaṁ, Brahmāṇaṁ pūrva-tiṣṭhaṇam
sarva-deva-ma-śarīraṁ, Sūrya-niśākaraṁ devam.

(Om Hyang Widhi. Yang Pertama, Raja dari Yang-Dilahirkan-Dua-Kali, Śiva, Dia adalah Brahmā, yang berdiri di depan; yang berwujud di dalam semua para dewa, Sang Hyang Śiva adalah dewa dari Sūrya candra).

11).Sembahyang kepada Sang Hyang Gaṇa (GaneŚa)

Oṁ Gaṇa-pati rṣi-putraṁ, bhuktyantu veda-tarpaṇam
bhuktyantu jagat-trilokaṁ, Śuddha-pūrṇa-Śarīriṇam.

(Om Hyang Widhi, Rajanya para bhakta, Putranya Åṣi Agung (Sang Hyang Śiva), Menikmati persembahan suci; alam semesta dan jagat raya akan berbahagia,dengan perwujudan suci dan sempurna).

12). Śivastava, mantra memuja Sang Hyang Śiva, seperti pada hari Śivarātri dan lain-
lain.

Oṁ Namaḥ Śivāya Śarvāya, Deva-devāya vai namaḥ
Rudrāya BhuvanëŚāya, Śiva-rūpāya vai namaḥ.

(Sembah kepada Sang Hyang Śiva, kepada sang Sarva, sembah kepada Devatā para dewa; kepada Dewa Rudra Penguasa Dunia, sembah kepadaNya yang berpenampilan yang penuh kebajikan).

Dalam mantra di atas Sang Hyang Śiva sebagai Sarva atau segalanya, sebagai Rudra, Penguasa Kebajikan. Kata Śiva berarti: yang memberikan keberuntungan (kerahayuan), yang baik hati, ramah, suka memaafkan, menyenangkan, memberi banyak harapan, yang tenang, membahagiakan dan sejenisnya (Monier, 1990:1074). Sang Hyang Śiva di dalam menggerakkan hukum kemahakuasaan-Nya didukung oleh Śakti-Nya Durgā atau Pārvatī. Hyang Śiva adalah Tuhan Yang Maha Esa sebagai pelebur kembali (aspek pralaya atau pralina dari alam semesta dan segala isinya). Śiva yang sangat ditakuti disebut Rudra (yang suaranya menggelegar dan menakutkan). Śiva yang belum kena pengaruh Maya (berbagai sifat seperti Guna, Śakti dan Svabhava) disebut Parama Śiva, dalam keadaan ini, disebut juga Acintyarūpa atau Niskala dan Tidak berwujud (Impersonal God).

Berikut adalah nama-nama Śiva yang dikutip dari kitab Mahābhārata oleh Amārasingh dan dimuat dalam kitabnya Amarakoṣa, yang merupakan nama lain dari Śiva, yaitu: Aja, Ambhikāpati, Ananggānggahara. Ananta, Andhakaghāti, Andhakanipātī, Atharva, Bahurūpa, Bhagaghna, Bhava, Bhavaghna, Bhīma, Śangkara, Śarva, Śitikaṇṭha, Śmasānavāī, Śrīkaṇṭha, Śukra, Śūlabhrt, Śūladhara, Śūladhrk, Śūlahasta, Śūlāngka, Śūlapāṇi, Śūlī, Dakṣkratuhara, Dhanvī, Dhruva, Dhūrjati, Digvāsas, Divyagovrṣabhadhvaja, Ekākṣa, Gaṇādhyakṣa, Gaṇesa, Gaurīsa, Gaurīhrdayavallabha, Girīsa, Govrṣāngka, Govrṣbhadhvaja, Govrṣottamavāhana, Hara, Haryakṣa, Jaṭadhara, Jaṭila, Jaṭī, Kāmāngganāsana, Kapālī, Kapardī, Khaṭvaògadhārī, Krttivāsas, Kumārapitā, Lalāṭākṣa, Lelihana, Mahādeva, Mahāgaṇapati, Mahāyogī, Mahesvara, Mahiṣaghna, Maakhaghna, Mīdhvān, Mrgavyādha, Munīndra, Nandiśvara, Nisācarapati, Nīlagrīva, Nīlakaṇṭha, Nīlalohita, Pasubhartā, Pasupati, Pinākadhrk, Pinākagoptā, Pinākahasta, Pinākapāṇi, Pināki, Pinggala, Prajāpati, Rudra, Rṣbhaketu, Śarva, Śarvayogesvaresvara, Sthāṇu, Trisūlahasta, Trisūlapāṇī, Trilocana, Trinayana, Trinetra, Tripuraghātī, Tripuraghna, Tripurahartā, Tripuramardana, Tripuranāsana, Tripurāntaka, Tripurāntakara, tripurārdana, Tryakṣa, Tryambaka, Ugra, Ugresa, Umāpati, Visalākṣa, Vilohita, Virūpākṣa, Vrṣabhadhvaja, Vrṣabhāngka, Vrṣbhavāhana, Vrṣabhaketana, Vrṣavāhana, Yāmya, Yati, Yogesvara, Śambhu, ĪŚa, MaheŚvara, Bhūtesa, Khaṇdhparasu, Mrda, Mrtyuñjaya, Pramathādhipa, Śrīkaṇṭha, Kapālabhrt, Vāmadeva, Krṣānureta, Sarvajña, hara, Smarahara, Bharga, Ganggādhara, Anatakaripu, Kratudhvaṁsī, VyomakeŚa, Airbudhnya, Aṣṭmūrti, Gajāri, Mahānaṭa (Vettam, 1989:723).

13). Viṣṇustava digunakan pada saat pemujaan kepada Dewa Viṣṇu di Pura Puseh, atau Ulunswi, mata air dan sebagainya.
Oṁ Namas te bhagavan Viṣṇo, namas te bhagavan Hare
namas te bhagavan Kåṣṇa, jagad-rakṣa namo ’stu te.

(Sembah kepadamu Sang Hyang Widhi dalam wujud-Mu sebagai Dewa Viṣṇu, sembah kepadamu, Dewa Hari; sembah kepadamu, Bhaṭṭāra Kåṣṇa, Pelindung Dunia, sembah kepada Dikau).

Manifestasi Tuhan Yang Maha Esa memelihara jagat raya dan segala isinya. Ia yang menghidupkan segalanya. Kata Viṣṇu berarti: pekerja, yang meresapi segalanya dan sejenisnya (Monier, 1990: 999). Kemahakuasaan Sang Hyang Viṣṇu dalam memelihara alam semesta beserta segala isinya didukung oleh Śakti-Nya yang bernama Śrī dan Lakṣmī.

Di dalam beberapa kesusastraan dikenal adanya bermacam-macam avatāra Viṣṇu, di antaranya yang terkenal ada sepuluh yang lebih dikenal dengan sebutan daŚāvatāra Viṣṇu seperti yang terdapat dalam kitab Vāraha Purāṇa. Sebaliknya dalam kitab Bhāgavata Purāṇa disebutkan sebanyak dua puluh dua avatāra (Ratnaesih, 1997: 27) Dalam seni arca Sang Hyang Viṣṇu digambarkan dalam sikap berdiri atau terlentang di atas ular nāga (ŚeŚa), bertangan empat membawa Cakram (cakram), Śaòka (terompet kerang), Padma (teratai merah) dan Daṇða (tongkat pemukul).

14). Ganggāstava, pemujaan kepada Dewi Gaògā untuk memohon air suci.

Oṁ Ganggā Sarasvatī Sindhu Vipāsā Kausikī nadī
Tīrtha-tīrthī Śuddhãmalā, nirrogā nirupadravā.

Oṁ Ganggā-devī mahā-punyam, namas te Visva-bhamini
Yamunā parama-pūrṇa, namas te Paramësvari.

Om Apsu deva-pavitrāṇi, Gannggā-devī namo ’stu te
sarva-vighna-vināsanaṁ, toyena pariŚucyate.

Om Pañcãkṣaraṁ mahā-puṇyaṁ, pavitraṁ pāpa-nāsanam
pāpa-koṭi-sahasrāṇām, agādhaṁ bhavet sāgaram.

(Dewi Ganggā , dewi Sarasvatī dan Sindhū, Vipāsā dan Kausikī; Yamunā; Dia yang Agung dan terkenal, Sarayū dan mahā-nadī (adalah tujuh sungai suci tersebut).

(Devī Ganggā memiliki kebaikan yang Agung, sembah untuk Dikau Yang bersinar pada semua sudut; Yamunā yang berkelimpahan tertinggi).

(Ya Dikau Yang menyucikan di dalam air (perairan) Mu, Devī Ganggā, sembah kehadapan Dikau; Dikau menghancurkan semua rintangan, dengan airMu orang disucikan).

(Mantra dari lima buah sukukata, Dia Yang Berjasa besar, penyuci yang menghancurkan kejahatan;[tanpa Itu] akan terdapat sebuah samudera yang tak bisa dilintasi, dari ribuan jutaan perbuatan-perbuatan yang jahat).

Catatan: Umat Hindu yang pernah melakukan Tīrthayātra ke India Utara dan sempat menyucikan diri di Sungai Gaògā sangat merasakan kesucian dan manfaat air suci tersebut.

Simpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas teologi (Brahmavidyā) tentang Pūjāstava tidak dapat dilepaskan dengan teologi Hindu pada umumnya. Untuk itu penguasaan terhadap mantra-mantra Veda maupun pūjā, stuti, stava, stotra atau sêhê sangat mendukung pemahaman terhadap teologi tersebut.

Dalam mantra-mantra pemujaan di Bali ditemukan cukup banyak mantra-mantra yang ditujukan kepada Para Dewa manifestasi-Nya, demikian pula penggambaran masing-masing Dewa yang akan dimohon hadir dalam suatu upacara sangat penting untuk dipahami. Semuanya akan berhasil bila didukung pula oleh kesucian diri seseorang.

Om Santih Santih Santih Om

Daftar Pustaka

Danielou, Allain. 1964. Hindu Polytheism. London, United Kingdom: Routledge & Kegan Paul.
Dowson, John, 1987. A Classical Dictionary of Hindu Mythology and Religion, Geography, History, and Literature. New Delhi, India: Rupa & Co.
Goudriaan T. and C. Hooykaas. 1971. Stuti and Stava (Bauddha, Śaiva, and Vaiṣṇava) of Balinese Brahman Priests.– Amsterdam, London - North-Holland Publishing Company.
Monier, Sir Williams M.M. 1993. Sanskrit-English Dictionary. New Delhi, India: Motilal Banarsidass.
Rao, T. A. Gopinatha, 1968. Elements of Hindu Iconography, 2 Volummes, New Delhi, India: Motilal Banarsidass.
Mani, Vettam. 1989. Puranic Encylopaedia. New Delhi, India: Motilal Banarsidass.

Bali, 12 Desember 2009

No comments: