Saturday, June 30, 2018

Kali Yuga dan globalisasi

Om Swastyastu



Oeh: I Wayan Sudarma 



Oṁ Hyang Widhi Semoga pikiran yang benar datatang dari segala penjuru dan menyelimuti kami semua

Di dalam berbagai kitab Purāṇa ditengarai bahwa sejak penobatan prabhu Parikṣit cucu Arjuna sebagai maharaja Hastina pada tanggal 18 Februari 3102 SM., umat manusia telah mulai memasuki jaman Kaliyuga (Gambirananda, 1984 : XIII). Kata Kaliyuga berarti jaman pertengkaran yang ditandai dengan memudarnya kehidupan spiritual, karena dunia dibelenggu oleh kehidupan material. Orientasi manusia hanyalah pada kesenangan dengan memuaskan nafsu indrawi (Kāma) dan bila hal ini terus diturutkan, maka nafsu itu ibarat api yang disiramdengan minyak tanah atau bensin, tidak akan padam, melainkan menghancurkan diri manusia.



Ciri jaman Kali (Kaliyuga) semakin nyata pada era globalisasi yang ditandai dengan derasnya arus informasi, dimotori oleh perkembangan teknologi dengan muatan filsafat Hedonisme yang hanya berorientasi pada material dan usaha untuk memperoleh kesenangan nafsu berlaka. Dengan tidak mengecilkan arti dampak postif globalisasi, maka dampak negatifnya nampaknya perlu lebih diwaspadai. Globalisasi menghapuskan batas-batas negara atau budaya suatu bangsa. Budaya Barat yang sekuler sangat mudah diserap oleh bangsa-bangsa Timur dan bila hal ini tidak terkendalikan tentu menghancurkan budaya atau peradaban bangsa-bangsa Timur.

Seperti telah dijelaskan secara sepintas tentang arti kata Kaliyuga atau jaman pertengkaran atau masyarakatnya suka bertangkar dan kemudian mengarah kepada peperangan, kini dapat kita rasakan, di mana-mana nampaknya masyarakat mudah tersulut pada pertengkaran.

Pusat-pusat pertengkaran yang menghancurkan kehidupan manusia digambarkan dalam kitab Skanda Purāṇa, XVII.1, antara lain pada : minuman keras, perjudian, pelacuran, dan harta benda/emas (Vettam Mani, 1989 : 373). Hal ini adalah logis, karena pada tempat-tempat tersebut merupakan arena yang sering mengobarkan pertengkaran. Minuman keras menjadikan seseorang mabuk dan bila mabuk maka pikiran, perkataan dan tingkah lakunya sulit untuk dikendalikan. Demikian di tempat judian, pelacuran dan persaingan mencari harta benda yang tidak dilandasi oleh Dharma (kebenaran), di tempat-tempat tersebut sangat peka meletupnya pertengkaran yang kadang-kadang berakibat fatal, yaitu pembunuhan.

Kehidupan modern yang sekuler,mengantarkan manusia pada kehancuran dan hal ini semakin nyata pengaruhnya dewasa ini. Nilai-nilai moralitas, nilai kemasyarakatan dan ritual Hindu menghadapi tantangan, apakah hal-hal tersebut mampu dipertahankan atau sebaliknya ditinggalkan oleh umatnya? Solusi untuk mengantisipasi permasalahan tersebut hendaknya dikaji secara seksama, sehingga agama Hindu sesuai dengan namanya yakni Sanatana Dharma, agama yang abadi atau berlaku sepanjang jaman benar-benar menjadi pedoman, suluh penerang yang memberikan kebahagiaan kepada umatnya.




Di antara berbagai bentuk tantangan dalam menghadapi globalisasi yang bercirikan filsafat Hedonisme yang berorientasi pada usaha mencari kekayaan material sebanyak-banyak sebagai sarana untuk memperoleh kesenangan duniawi, maka tantangan yang berat bagi umat beragama adalah menegakkan nilai-nilai moralitas, di samping etika dan spiritual seperti yang diamanatkan dalam kitab-kitab suci agama Hindu.

Kondisi masyarakat dewasa ini nampaknya persis sama dengan penggambaran
Viṣṇu Purāṇa, sebagai berikut :

"atha evā bhijana hetuḥ, dhanam eva aśesadharma hetuḥ abhirucir eva dāmpatyasaṁbandha hetuḥ, aṇrtam eva vyavahjayaḥ strītvam eva'pabhoga hetuḥ...................... ........brahma sūtram eva vipratve hetuḥ liṅga dhāraṇam eva aśrama hetuḥ" - Masyarakat hancur karena harta benda hanya berfungsi meningkatkan status sosial/kemewahan bagi seseorang,materi menjadi dasar kehidupan kepuasan hidup hanyalah kenikmatan seks antara laki-laki dan wanita,
dusta menjadi sumber kesuksesan hidup. Seks merupakan satu-satunya sumber kenikmatan dan kesalahan merupakan hiasan bagi kehidupan spiritual. Viṣṇu Purāṇa IV. 24. 21-22.

Demikian pula di dalam kitab Vānaparva, Mahābhārata keterangan serupa dapat kita jumpai sebagai berikut :

"Pada jaman Kaliyuga para Brahmana tidak lagi melakukan upacara  yajña dan mempelajari kitab suci Veda. Mereka meninggalkan tongkat  dan kulit menjangannya dan menjadi pemakan segala (sarvabhākṣa).  Para Brahmana berhenti melaksanakan pemujaan dan para Sudra
menggantikan hal itu (32-33)".

"Kelaparan membinasakan kehidupan manusia, jalan-jalan raya dipenuhi oleh wanita yang reputasinya jelek.Setiap perempuan bertengkar/bermusuhan dengan suaminya dan tidak memiliki sopan santun (42)"

"Para Brahmana diliputi oleh dosa dengan membunuh para dwijati dan menerima sedekah dari para pemimpin yang tidak jujur (43)"

"Pada jaman itu orang - orang bertentangan hidupnya dengan nilai-nilai moralitas,mereka kecanduan dengan minuman keras, mereka melakukan penyiksaan walaupun di tempat tidur gurunya. Mereka sangat terikat  keduniawian. Mereka hanya mencari kepuasan duniawi terutama daging dan darah (48)"

"Pada jaman itu ashram-ashram para pertapa dipenuhi oleh orang-orang  berdosa dan orang-orang angkara murka yang malang yang selalu mengabdikan hidupnya pada ketergantungan duniawi (49)"

"Pada jaman itu orang-orang tidak suci baik dalam pikiran dan perbuatan nya karena mereka iri hati dan dengki. Bumi ini dipenuhi oleh orang- orang yang penuh dosa dan tidak bermoral (51)".

"Pada jaman Kaliyuga para pedagang melakukan berbagai bentuk peni- puan, menjual barang-barangnya dengan ukuran dan timbangan yang  tidak benar (53)".

"Pada jaman Kaliyuga orang-orang budiman hidupnya miskin dan umurnya pendek. Orang-orang yang penuh dosa menjadi kaya raya dan memiliki umur panjang (55)".


"Gadis-gadis berumur 7 dan 8 tahun sudah melahirkan anak-anak dan  anak-anak laki berumur 10 atau 12 tahun telah menjadi ayah (60)".

"Orang-orang ketika berumur 16 tahun sudah jompo dan segera setelah itu ajalpun menjemput (61)"

"Para wanita mudah celaka, melakukan perbuatan yang tidak pantas dan melakukan perbuatan yang tidak terpuji, menipu suami-suami mereka yang berbudi pekerti luhur, melupakan mereka bahkan berhubungan dengan pelayannya dan atau dengan binatang sekalipun (63)". Vānaparva, CLXXXVIII.

Lebih jauh di dalam kakawin berbahasa Jawa Kuno, Nītiśāstra yang rupanya merupakan saduran dari Cāṇakya Nītiśāstra dalam bahasa Jawa Kuno dinyatakan sebagai berikut :  

"Singgih yan tekaning yugānta Kali tan hana lewiha sakeng mahādhana tan waktan guṇaśura paṇḍita widagdha pada mangayapiing dhaneśwara sakwehning rinahasya sang wiku hilang kula ratu pada hīna kāsyasih putrādwe pīta niṇḍa ring bapa si śūdra banija wara wīrya paṇḍita" - Sesungguhnya bila jaman Kali datang pada akhir yuga, hanya kekayaan /harta benda yang sangat dihargai. Tidak perlu dikatakan lagi, bahwa  orang yang saleh,orang-orang yang pandai akan mengabdi kepada orang- orang yang kaya. Semua ajaran rahasia kepanditaan lenyap, keluarga- keluarga dan para pemimpin yang bijaksana menjadi hina papa. Anak- anak menipu dan mengumpat orang tuanya. Orang - orang hina akan menjadi saudagar kaya, mendapat kemuliaan dan kepandaian. Nītiśāstra IV.7



Renungan:

Bila pada era globalisasi ini nilai-nilai moralitas tidak diindahkan lagi oleh orang-perorangan (individu) maupun oleh masyarakat, maka ciri-ciri yang digambarkan pada jaman Kaliyuga itu merupakan kebenaran. Nilai-nilai moralitas semestinya menjadi pegangan hidup setiap orang, namun karena trend jaman Kali lebih menekankan pleasure oriented , maka hal itu akan mudah ditinggalkan.

Bila kita melihat diturunkannya ajaran agama, yang maksudnya adalah untuk mensejahtrakan manusia, maka manusia hendaknya kembali kepada ajaran agama sebagai basis kehidupan. Manusia yang taat untuk mengamalkan ajaran agama, akan berhasil mengarungi samudra kehidupan dengan berbagai gelombangnya, apakah dahsyat atau lembut. Seorang yang berhasil meniti gelombang kehidupan adalah ibarat seorang peselancar yang mahir, sesekali tenggelam dihantam gelombang, namun tidak lama kemudian ia tersenyum riang di atas alunan pasang.

Oṁ Śāntiḥ Śāntiḥ Śāntiḥ Oṁ








No comments: