Monday, December 19, 2011

Sakralisasi dan fungsi simbol

Oleh: I W. Sudarma

Salam Kasih
Om Swastyastu

Setelah terwujudnya sebuah atau lebih beberapa simbol, baik yang langsung terjadi secara alamiah, atau yang sengaja dibentuk oleh undagi, sangging atau seniman, apakah setiap wujud atau simbol itu langsung dapat digunakan sebagai media pemujaan oleh umat Hindu? Secara tegas dapat dinyatakan bahwa sebuah arca atau murti atau gambar dewa-dewi (citradevatā ), akan dapat difungsikan bila telah memenuhi syarat ritual agama Hindu, seperti halnya di India disebut dengan "prayascitta" (penyucian, di Bali disebut upacara Melaspas) dan "abhiseka" (di Bali disebut Pasupati (masupati atau mapasupati, ngalinggihang atau ngenteg Linggih).

Sebuah patung, lukisan atau simbol-simbol yang lain belum disebut arca atau murti bila belum dilakukan upacara tersebut di atas. Apabila media pemujaan tersebut telah disucikan, tentunya akan disthanakan pada tempat-tempat yang patut untuk media tersebut, misalnya di dalam gedong atau meru dan sebagainya.

Di India, sebuah arca atau simbol akan dapat difungsikan sebagai media pemujaan bila telah melaksanakan Sodasopacara (16 macam rangkaian upacara), setelah di "prayascitta", di antaranya yang penting-penting dapat disebutkan antara lain: Avahana (memohon kehadiran-Nya), Asana (mempersembahkan sthana-Nya), Padya (mempersembahkan air pencuci kaki), Arghya (persembahan air) dan Snana (penyucian), Bhusana/wastra (persembahan pakaian), Yajñopavita (persembahan benang tali suci/di Bali dengan mantram Sivasùtram), Candana/Bhā sma (persembahan bubuk kayu cendana), Puspa (persembahan bunga, merupakan cerminan kesucian hati), Dhupa (persembahan api dengan asapnya yang berbau harum / juga disebut Agarbhatti), Dipa (persembahan api/mohon penerangan jiwa), Naivedya (persembahan makanan), Tambulam (persembahan sirih, di Bali disebut porosan) dan saat itu pula umat mempersembahkan Puspāñjali (persembahan bunga dengan cakupan tangan) dan akhirnya Visarjana (penutup persembahyangan, di Bali disebut Ngaluhur), setelah sebelumnya memohon Amrtha (Tìrtha/air suci kehidupan/kebahagiaan).

Demikian sedikit penjelasan tentang proses berfungsinya sebuah media pemujaan (simbol-simbol suci) dalam agama Hindu. Seperti telah dimaklumi, pada mulanya semua simbol atau benda-benda suci itu dibuat hanyalah dalam rangka fungsi keagamaan, namun karena keindahan bentuknya (artistik), banyak peminat, terutama setelah adanya kontak dengan kepariwisataan untuk memiliki benda-benda yang merupakan simbol-simbol suci tersebut. Para Citrakāra atau Sangging (seniman) dan hampir semua umat Hindu memahami, bahwa bila benda tersebut belum disucikan (di "plaspas" atau di "pasupati"), maka benda-benda tersebut belumlah diyakini suci, oleh karena itu, para pembuatnya tidak memasalahkan untuk dibeli yang kemudian bahkan dibuat sebagai barang kerajinan, yang hanya menekankan dari segi artistiknya belaka (sebagai souvenir).

Simbol-simbol suci agama Hindu sebagai media pemujaan, ditegaskan kembali oleh Swami Siwananda, sebagai berikut: Bagi seorang pemula, pratima, arca atau murti merupakan kebutuhan mutlak. Dengan sarana atau media pemujaan berupa sebuah arca, Tuhan Yang Maha Esa (Isvara) dimohon kehadiran-Nya. Arca dibuat dari lima unsur alam, yang merupakan virat (wujud kosmos yang dahsyat). Bagi seorang yang bukan penyembah-Nya, arca, ya tetap arca atau patung, namun bagi seorang penyembah, dengan media arca ini, ia menuju dan bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Bila anda berjabatan tangan dengan seseorang, anda merasa senang, pada hal anda menyentuh satu bagian kecil dari badannya, dan ia yang menerima uluran tangan andapun merasa senang. Demikian pula seorang pemuja Tuhan Yang Maha Esa dalam melakukan pemujaan melalui media arca, ia sangat berbahagia dapat menyentuh satu bagian kecil dari alam semesta. Sebuah arca merupakan sebagian kecil dari alam semesta ciptaan-Nya (yang juga disebut badan atau virat-Nya). Seorang penyembah memperoleh vibrasi kedevatā an (getaraan kesucian) yang memberi rasa bahagia yang terlukiskan.

Simbol-simbol tersebut, seperti telah diuraikan di atas, pada umumnya berfungsi sebagai sarana untuk memuja kebesaran atau keagungan-Nya. Dengan demikian simbol-simbol tersebut dapat juga berfungsi untuk memantapkan Sraddhā (keimanan) dan Bhakti (ketaqwaan) umat kepada-Nya. Di Bali kita jumpai persepsi masyarakat tentang perbedaan antara arca dengan pratimā . Menurut tradisi masyarakat arca adalah wujud dewa atau dewi yang jelas penggambarannya sebagai manusia atau binatang, sedang pratimā adalah sesuatu benda yang secara alami tidak dibentuk oleh manusia yang merupakan wujud atau sthana para dewa. Di samping istilah tersebut dikenal pula istilah pralingga atau nyā sa yang dimaksud adalah wujud atau simbol-Nya. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka fungsi simbol antara lain :

Meningkatkan dan memantapkan Sraddhā (keimanan atau keyakinan mendalam) umat dalam rangka menumbuhkan Bhakti (ketaqwaan), yang akan membentuk kepribadian umat manusia dengan moralitas yang tinggi yang pada akhirnya akan meningkatkan akhlak luhur masyarakat.

Menumbuh kembangkan dan tetap terpeliharanya nilai seni budaya baik melalui seni arca, seni lukis dan seni kriya lainnya yang mengacu kepada kitab Silpasāstra, sehingga arca atau simbol yang dibuat tidak menyalahi ketentuan kitab Silpasastra dimaksud.

Memupuk rasa kebersamaan di kalangan umat Hindu dalam mewujudkan sarana pemujaan, utamanya dalam kaitan dengan sakralisasi dan memfungsikan simbol-simbol yang dibuat tersebut.

Demikian antara lain fungsi dari simbol-simbol agama Hindu yang setelah difungsikan dengan rangkaian upacara tertentu, maka simbol tersebut tidak lagi sesuatu benda biasa, tetapi sesuatu yang hidup, mengandung daya spiritual guna memantapkan Sraddha dan Bhakti umat Hindu yang menggunakan sarana tersebut. terdapat berbagai variasi dan rangkaian upacara memfungsikan sebuah simbol. Semakin sederhana fungsi simbol tersebut, maka upacara (ritual) untuk hal terebut juga semakin sederhana.

Bila sebuah bangunan difungsikan, upacara penyucian untuk memfungsikan bangunan tersebut di Bali disebut "Pamelaspas" atau "Melaspas", dari kata "plaspas" yang artinya menyucikan atau mengepaskan. Upacara tersebut umumnya dilanjutkan dengan "Ngenteg Linggih" yakni memantapkan "Sthana" devatā yang dipuja melalui bangunan suci yang baru dibangun atau direnovasi. Upacara semacam ini di India disebut dengan istilah "Prayascitta" (penyucian) dan dilanjutkan dengan "Abhiseka". Bila untuk bangunan suci di sebut "Melaspas", maka untuk simbol-simbol tertentu untuk dewa-dewa seperti arca atau pratimā , upacara penyucian dan menghidupkan arca tersebut sebagai wujud-Nya dilakukan upacara yang disebut "Melaspas" dan "Masupati".

Kata "Masupati" berasal dari bahasa Sanskerta dari "pasupati". Pasupati adalah salah satu nama dari Sang Hyang Siva yang pada mulanya berarti dewa bagi binatang ternak, selanjutnya dalam ajaran Saiva Siddhā nta, kata Paúupati mengandung makna Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Siva) sebagai pemimpin seluruh mahluk hidup, termasuk umat manusia. Upacara "Masupati" mengandung makna menghidupkan simbol-simbol yang tadinya belum disucikan. Setelah disucikan dengan upacara penyucian yang berintikan sesajen "Prayascitta", maka dilanjutkan dengan "Masupati" yang di India disebut dengan istilah Abhiseka yang mengandung makna menobatkan, yakni memfungsikan simbol-simbol yang telah disucikan tersebut. Sebuah benda akan menjadi simbol yang amat suci, bila umat memuja-Nya dengan sraddhā dan bhakti yang tulus. Benda yang dijadikan simbol suci tersebut akan mengandung daya spiritual yang tinggi, ibarat sebuah besi yang didekatkan dengan magnit. Semakin lama didekatkan sebuah besi dengan magnit, maka lama kelamaan besi tersebut juga akan mengandung magnit. Di sinilah sebuah arca atau simbol tertentu akan hidup dan disembah dengan mantap oleh pemujanya.

Seperti diuraikan sebelumnya, sebuah kain mungkin tidak banyak mengandung makna bagi yang mempunyai kain tersebut. tetapi ketika kain itu dijadikan bendera nasional suatu bangsa, maka kain tersebut akan dihormati sedemikian rupa, apalagi kain tersebut tepat digunakan saat suatu bangsa memproklamasikan kemerdekaan bangsanya. Demikian pula gambar seorang pahlawan terkenal dapat membangkitkan rasa kepahlawanan dalam batin seseorang, demikian pula seseorang yang memandang arca, pratimā atau sebuah gambar ketuhanan (Citradevatā atau gambar dewa-dewa) akan meningkatkan kesadaran ketuhanan kepada yang bersangkutan. Peranan Úraddhā (keimanan) sangat menentukan dalam kehidupan beragama, sebuah arca atau murti akan hidup bila umat benar-benar meyakini bahwa benda tersebut hidup.

Seorang yang menyembah Tuhan Yang Maha Esa atau para devatā melalui sarana arca atau simbol-simbol ketuhanan tertentu tidak akan menganggap arca atau simbol itu sebongkah batu atau setumpuk logam dan sebagainya, melainkan ia merasakan kehadiran yang dipujanya itu. Orang-orang yang memiliki bakat kerohanian yang tinggi, akan mudah mengalami satu vision seperti diungkapkan oleh Swami Sivananda dalam bukunya All About Hinduism yang kini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, digambarkan sangat indah sebagai berikut: "Bagi seorang bhakta atau seorang pertapa, tak ada benda apapaun sebagai "jada" atau tidak berjiwa. Segala sesuatunya adalah "Vāsudeva" atau "Caitanya sarvam iti". Para penyembah memandang sungguh-sungguh Tuhan Yang Maha Esa yang disthanakan atau yang menghidupkan sebuah arca. Seseorang bernama Narsi Mehta pernah dipuji oleh seorang raja, dan raja berkata: "Wahai Narsi, bila kamu seorang penyembah yang tulus dari Sri Krshna, dan bila kamu mengatakan bahwa arca itu merupakan rSi Krshna sendiri, cobalah mita arca tersebut bergerak. Sesuai dengan doa dari Narsi Mehta, maka arca Sri Krshna itu bergerak (seperti benar-benar hidup). Demikian pula lembu suci Nandi di hadapan arca dewa Siva oleh Tulsidas diberi persembahan makanan, dan arca tersebut sempat bermain-main dengan Mìra Bai. Ia sepenuhnya hidup dan merupakan Caitanya bagi Mira Bai.

Ketika Appayya Diksitar, seorang penyembah Siva, pergi ke pura Tirupati (tempat pemujaan dewa Visnu) di India Selatan, para Vaisnava tidak mengijinkannya masuk ke pura tersebut. Pagi keesokkan harinya mereka terkejut, ternyata arca Visnu di pura tersebut telah berubah menjadi arca Siva. Para Vaisnava yang dikenal pula dengan sebutan Mahā nta itu terheran-heran dan tercengang, meminta maaf dan memohon kepada Appayya Diksitar untuk mengubah arca tersebut kembali kebentuknya semula yakni arca dewa Visnu. Kanaka Dasa adalah seorang penyembah Sri Krshna yang taat di kota Udupi, distrik Kanara Selatan, India Selatan. Ia tidak diperkenankan memsuki pura tempat memuja Si Krshna karena ia dilahirkan dari masyarakat yang dipandang rendah. Kanaka Dasa mengelilingi pura tersebut dan duduk di belakang bangunan suci tempat arca Si Krshnadisthanakan. Segera ia tenggelam dalam menyanyikan lagu-lagu pujaan kepada Sri Krshna. Banyak orang berkumpul mengelilinginya dan sangat tertarik dengan iramanya yang lembut dari musik dan rasa bathinnya yang mendalam. Ternyata Sri Krshna berpaling untuk memungkinkan Kanaka Dasa memperoleh Darsan-Nya (memandang wajah-Nya). Para pandita menjadi sangat heran atas peristiwa yang mentakjubkan tersebut. Arca, Murti atau patung sama seperti dewa-dewa, karena merupakan wahana ekspresi dari mantra Caitanya, yang merupakan devatā itu sendiri. Sikap yang sama hendaknya dimiliki oleh para penyembah berkenaan dengan arca sebagai sarana pemujaan pada sebuah pura, yang akan nampak, memperlihatkan diri-Nya, bila Tuhan Yang Maha Esa berkenan hadir di hadapannya dalam wujud pribadi dan berkata kepadanya sengan suara yang terang dan nyata.

Demikianlah seorang penyembah yang telah memiliki kesadaran spiritual yang tinggi tidak akan ragu-ragu melakukan pemujaan di hadapan sebuah arca, atau simbol-simbol lainnya yang merupakan media untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Demikian sekilas tentang sakralisasi Simbol yg dapat tiang ketengahkan, semoga bermanfaat bagi kita semuanya

Om Santih Santih Santih Om

No comments: