Thursday, November 17, 2011

“NGABEN ” Sebuah Kajian Teologis

Salam Kasih

Oleh: I Wayan Sudarma (Bekasi, 26 Desember 2006)
Seperti diketahui, kata ngaben adalah bagian dari Upacara Pitra Yajna khususnya pembakaran mayat. Tetapi ada juga ngaben tidak disertai dengan membakar mayat oleh karena suatu tradisi di daerah tertentu.

Kata ngaben berasal dari kata beya yang artinya biaya atau bekal (Singgih, 2002:2). Dalam bahasa yang lebih halus, Ngaben disebut Palebon yang beralsal dari kata lebu yang artinya prathiwi atau tanah. Palebon artinya menjadikan prathiwi (abu). Untuk menjadikan tanah itu, ada dua cara yaitu dengan cara membakar dan dengan cara mengubur ke dalam tanah. Upacara Ngaben umumnya dilakukan dengan membakar jenazah sehingga menjadi abu. Tujuannya adalah untuk segera mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta yang ada pada diri manusia kepada asalnya.


Upacara Ngaben adalah bagian dari Pitra Yadnya. Kalau didalam melaksanakan Ngaben itu ada jasad yang akan diaben (ngewatang), maka upacara Ngaben itu dinamakan Sawa Wedana. Tetapi di daerah tertentu di Bali ada juga jenazahnya dikubur terlebih dahulu untuk beberapa lama, baru kemudian setelah dianggap cukup (dalam arti menyangkut biaya) baru kemudian kuburannya digali kembali untuk mengambil sisa-sisa tulang yang masih ada, atau kalau ternyata kuburannya tidak diketemukan (karena sudah membaur dengan yang lain) maka hanya diambil tanahnya saja secara simbolis. Ngaben seperti ini disebut Asti Wedana, ada juga Ngaben Nywasta yaitu apabila jasad yang akan diaben itu tidak ada misalnya karena hanyut, terbakar, dimakan binatang buas dan sebagainnya. Dari Ngaben ketiga di atas, dibedakan pada pengawaknya, yang dimaksud adalah kalau yang diaben ada jasadnya, maka jasad orang yang baru meninggal itu sebagai pengawak. Sedangkan pada Ngaben Asti Wedana, sebagai pengawaknya adalah tulng-tulang yang diambil dari kuburannya tadi atau tanah yang diambil sebagai simbul. Pada Ngaben Swasta, dimana jasadnya tidak diketemukan, maka yang dipakai sebagai pengawak adalah tirta atau daun alang-alang.
Yang dinamakan Ngaben Swasta bukan karena tidak ada jenazah saja tetapi ngaben yang sederhanapun juga disebut Ngaben Swasta. Manusia terdiri dari dua unsure yaitu unsure jasmani dan unsure rohani, serta terdiri dari tida lapis yaitu ragha sarira, suksma sarira dan antahkarana sarira. Ragha sarira adalah badan kasar yaitu badan yang dilahirkan karena nafsu antara ayah dan ibu. Suksma sarira adalah badan astral atau badan halus yang terdiri dari alam pikiran,perasaan, keinginandan nafsu (citta, manah, indriya dan ahamkara).

Antahkarana sarira yaitu Sanghyang Atma (yang menyebabkan hidup). Ragha sarira atau badah kasar manusia terdiri dari lima unsur yang umum dikenal dengan Panca Maha Bhuta yang terdiri dari:
1. Pertiwi adalah unsur padat yang ada dalam tubuh manusia.
2. Apah yaitu zat cair yang bagian-bagian badan yang cair seperti darah, eringat, kelenjar.
3. Teja adalah unsur panas seperti suhu badan.
4. Bayu adalah angin yaitu nafas.
5. Akasa yaitu unsur badan yang paling halus yang menjadikan kuku dan rambut.

Proses terjadinya ragha sarira adalah sari-sari makanan yang terdiri dari enam rasa yang biasa dikenal dengan sad rasa yaitu manis, asin, pahit, sepet, asam dan pedas. Sad rasa ini dimakan dan diminum oleh manusia laki-laki dan perempun dan diproses dalam tubuh sehingga disamping menjadi tenaga juga menjadi kama bang (sperma wanita) dan kama putih (sperma laki-laki). Dalam suatu hubungan badan kedua kama ini bercampur melalui proses alami menjadilah janin (badan bayi), dan sisanya menjadi air ketuban, ari-ari dan sebagainya.

Disamping Panca Maha Bhuta yang kemudian berubah menjadi janin, juga Panca Tan Matra yaitu benih halus dari Panca Maha Bhuta. Panca Tan Matra ini meliputi: sari suara, raba, warna, rasa dan bau. Panca Tan Matra ini dalam tubuh bayi juga memproses dirinya menjadi suksma sarira yang terdiri dari: Citta adalah ahlak manusia yang dibentuk oleh tri guna (sattwam, rajas dan tamas), Manah yaitu alam pikiran dan perasaan, indria adalah keinginan dan Ahamkara adalah ego atau keakuan. Ketika manusia meninggal, otomatis Atman akan meninggalkan badan kasar disertai dengan suksma sarira tadi. Oleh karena antara Atman dan suksma sarira ini sudah menyatu maka akan sulit meninggalkan badan kasarnya, dengan demikian akan menimbulkan penderitaan bagi sang Atman.

Untuk mempercepat proses kembalinya atman maka badan kasarnya perlu dibuatkan suatu upacara yang disebut Ngaben dengan tujuan untuk segera mengembalikan kelima unsure yang ada pada badan kasar itu ke alamnya (sumbernya).

Jika setelah meninggal jasadnya tidak diaben dalam kurun waktu yang cukup lama, maka badan kasarnya akan menjadi bibit penyakit atau Bhuta Cuil seperti disebutkan dalam Lontar Tattwa Loka Kretti lampiran 5a bunyinya sebagai berikut:
“Yan wwang mati mapendhem ring prathiwi
salawasnya tan kinenan widhi widhana, byakta
matemahan rogha ning bhuana, haro-haro gering
mrana ring rat, atemahan gadgad”.
Artinya:
Kalau orang mati ditanam pada tanah
Selamanya tidak diupacarakan diaben
Sesungguhnya akan menjadi penyakit bumi
Kacau sakit mrana di dunia, menjadi gadgad (tubuhnya).

Demikian juga dalam lontar yang sama lembaran 11 b disebutkan:
“Kunang ikang sawa yan tan inupakara
atmanya menadi neraka, munggwing tegal
panangsaran, mangebeki wadhuri, ragas,
katiksnan panesning surya, manangis angisek-isek,
sumambe anak putunya, sang kari mahurip lingnya
duh anakku bapa tan hana matra wlas ta ring
kawitanta, maweh bubur mwang we atahap, akeh mami
madruwe, tan hana wawanku mati, kita juga mawisesa
anggen den abecik-becik, tan eling sira ring rama rena,
kawitanta, weh tirtha pangentas, jah tasmat kita
santananiku, wastu kita amangguh alphayusa, mangkana
temahning atma papa ring sentana”.
Artinya:
Adapun sawa yang tidak diupacarakan (ngaben)
atmanya akan berada di neraka, bertempat di
tegal yang sangat panas, yang penuh dengan pohon madhuri
reges, terbakarnya oleh sengatan matahari, menangis
tersedu-sedu, menyebut anak cucunya yang masih hidup,
katanya Oh anakku, tidak sedikit belas kasihanmu kepada
leluhurmu, memberikan bubur dan air seteguk, saya
dulu punya tidak ada yang sayla bawa, kamu juga menikmati,
pakai baik-baik, tidak ingat sama ayah ibu, air tirtha
pangentas, pemastuku, semoga kamu umur pendek,
demikian kutukannya. (ngaben.26)

Atas dasar pemikiran tersebut maka menjadi landasan adanya upacara Ngaben. Didalam melaksanakan upacara Ngaben, ada kesan bahwa kalau tidak mempunyai biaya banyak maka upacara Ngaben masih dalam angan-angan belaka karena upacara Ngaben itu biasanya besar sehingga tidak sedikit orang-orang menjual warisan berupa sawah, kebun dan sebagainya demi melaksanakan upacara Ngaben tersebut. Padahal semua itu hanya salah kaprah belaka, karena hanya ketidak pahaman tentang hakekat dari pada upacara ngaben itu sendiri atau juga hanya demi gengsi. Pada dasarnya jumlah biaya atau besarnya sesajen bukan jaminan/ukuran untuk mengatakan bahwa upacara itu berhasil, tetapi besar kecilnya Yadnya yang dipersembahkan kalau didasari dengan niat yang tulus niscaya yadnya itu akan diterima. Pelaksanaan upacara dapat ditempuh dengan tiga jalan yaitu: nista, madhya dan uttama. Bahkan saat ini sudah banyak diadakan upacara ngaben secara masal, tujuannya adalah dengan biaya yang relatif minim tetapi upacara ngaben bagi orang yang tidak mampu dapat dilaksanakan tanpa mengurangi arti dari upacara tersebut. Satu hal yang sangat perlu diingat adalah betapapun upacara itu dilaksanakan, bukan jaminan roh seseorang bisa menyatu kepada Brahman tetapi tetap tergantung pada karma wasananya.

Seperti telah disinggung terdahulu bahwa upacara ngaben adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pertisentana kepada orang tuanya. Oleh karena itu laksanakan upacara itu sesuai dengan swadarma dan kemampuanmu. Ada tiga hal yang sangat prinsip yang harus dilaksanakan didalam setiap melaksanakan upacara ngaben yaitu: ngaskara, tirtha pangentas dan mralina Atma.

Ngaskara dikatakan sangat prinsip karena upacara Ngaskara adalah prosesi penyucian preta menjadi sang pitara. Tirtha pangentas adalah tirtha untuk memutuskan hubungan Purusa dengan Pradhana (aspek kejiwaan dengan aspek kebendaan) bisa dikatakan juga tirtha untuk menuntun atman menuju Brahman. Sedangkan pralina Atma dilakukan oleh Pandita yang memimpin upacara. Kata Pralina berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya hilang atau kembali. Secara filosofis tidak ada sesuatu yang hilang di alam semesta ini tetapi yang terjadi adalah perubahan tempat dan perubahan bentuk. Pada waktu manusia masih hidup, Purusa dan Pradananya bersatu secara utuh pada badan manusia. Ketika manusia itu meninggal Purusa dan Pradhana itu berpisah dari badan kasar manusia yang dikenal dengan istilah mati. Untuk lebih melapangkan jalansang atman kembali serta berpisah dari unsur-unsur Panca Maha Bhuta dan lain-lain yang mengikat sang atman, maka pendeta akan melakukan puja pralina.

Salam Rahayu

No comments: