Om Swastyastu
Maharsi Manu yang disebut sebagai peletak dasar hukum digambarkan sebagai orang yang pertama memperoleh mantra dan mengajarkan mantra itu kepada umat manusia dan menjelaskan hubungan antara mantra dengan objeknya, demikianlah mantra merupakan bahasa ciptaan yang pertama. Mantra-mantra digambarkan sebagai bentuk yang sangat halus atau badan halus dari sesuatu, bersifat abadi, bentuk formula yang tidak dapat dihancurkan yang merupakan asal dari semua bentuk yang tidak abadi. Bahasa yang pertama diajarkan oleh Manu adalah bahasa yang awal dari segalanya, bersifat abadi, penuh makna. Bahasa Sanskerta diyakini sebagai bahasa yang langsung berasal dari bahasa yang pertama, sedang bahasa-bahasa lainnya dianggap perkembangan dari bahasa Sanskerta.
"Sesungguhnya, tubuh devatà muncul dari mantra atau bijamantra" (Yàmala Tantra).
Masing-masing devata digambarkan dengan sebuah mantra yang jelas, dan melalui bunyi-bunyi yang misterius arca dapat di sucikan dan arca tersebut menjadi 'hidup'. Demikianlah kekuatan sebuah mantra yang menghadirkan devatà dan masuk ke dalam arca. Sebagai benang penghubung dunia yang berbeda, jembatan dari yang berbeda, mantra-mantra adalah instrument, melalui mantra itu dapat dicapai sesuatu di luar kemampuan persepsi.
"Sebuah mantra, dinamakan demikian karena membimbing pikiran (manana) dan hal itu merupakan pengetahuan tentang alam semesta dan perlindungan (tràna) dari perpindahan jiwa, dapat dicapai" (Pinggala Tantra). "Disebut sebagai sebuah mantra karena pikiran terlindungi " (Mantra Mahàrnava, dikutip oleh Devaràja Vidyà Vàcaspati, "Tantra men Yantra aur Mantra".
Persepsi yang pertama tentang sebuah mantra selalu ditandai sebagai hubungan langsung antara umat manusia dengan dewa. Mantra diperoleh pertama kali oleh seorang Rsi. "Karenanya seorang rsi adalah yang pertama merapalkan mantra" (Sarvanukramani). Selanjutnya mantra ditegaskan dengan karakter matrik (irama) dihubungkan dengan karakter garis-garis lurus berkaitan dengan yantra; kenyataan ini merujuk kepada sesuatu yang dimiliki oleh mantra. Mantra menggambarkan devata tertentu yang dipuja dan dipuji; "mantra itu membicarakan devatà" (Sarvànukramanì). Selanjutnya pula, seseorang melakukan tindakan dan untuk mencapai tujuan tertentu dengan menggunakan mantra itu. Unsur-unsur bunyi digunakan dalam semua bahasa untuk membentuk "ucapan suku kata" atau varna-varna yang dibatasi oleh kemampuan alat-alat wicara manusia dan kecerdasan membedakannya melalui pendengaran. Unsur-unsur ini adalah umum dalam setiap bahasa, walalupun umumnya bahasa-bahasa itu adalah sebuah bagian dari padanya.
Unsur-unsur bunyi dari bahasa sifatnya sungguh-sungguh permanent, bebas dari evolusi atau perkembangan bahasa, dan dapat diucapkan sebagai sesuatu yang tidak terbatas dan abadi. Kitab-kitab Tantra melengkapi hal itu sebagai eksistensi yang bebas dan digambarkan sebagai yang hidup, kekuatan kesadaran bunyi, disamakan dengan dewa-dewa. kekuatan dasar dari bunyi (mantra) berhubungan dengan semua lingkungan dari manifestasinya. Setiap bentuk dijangkau oleh pikiran dan indria yang seimbang dengan pola-pola bunyi, sebagai sebuah nama yang alami. Dasar mantra satu suku kata disebut sebagai bìjamantra atau vijamantra (benih atau bentuk dasar dari pikiran).
Mantra disusun dengan menggunakan aksara-aksara tertentu, diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu bentuk bunyi, sedang huruf-huruf itu sebagai perlambang-perlambang dari bunyi tersebut. Untuk menghasilkan pengaruh yang dikehendaki, mantra harus disuarakan dengan cara yang tepat, sesuai dengan 'svara' atau ritme, dan varna atau bunyi. Mantra mempunyai getaran atau suara tersendiri, karena itu apabila diterjemahkan ke dalam bahasa lain, mantra itu tidak memiliki warna yang sama, sehingga terjemahannya itu hanya sekedar kalimat. Mantra itu mungkin jelas dan mungkin pula tidak jelas artinya.
Vija (vijaksara) mantra seperti misalnya Aim, Klim, Hrim, tidak mempunyai arti dalam bahasa sehari-hari. Tetapi mereka yang sudah menerima inisiasi mantra mengetahui bahwa artinya itu terkandung dalam perwujudannya itu sendiri (svarupa) yang adalah perwujudan devatà yang sedemikian itulah mantra-Nya, dan bahwa vija mantra itu adalah dhvani yang menjadikan semua aksara memiliki bunyi dan selalu hadir di dalam apa yang diucapkan dan yang didengar, karena itu setiap mantra merupakan perwujudan (rupa) dari Brahman. Dari manana atau berpikir didapatkan pengertian terhadap kesejatian yang bersifat Esa, bahwa substansi Brahman dan Brahmànda itu satu dan man yang sama dari mantra datang dari suku pertama manana, sedangkan tra berawal dari tràna, atau pembebasan dari ikatan samsàra atau dunia fenomena ini. Dari kombinasi man dan tra itulah disebut mantra yang dapat memanggil datang (amamtrana) catur varga atau 4 tujuan dari mahluk-mahluk luhur. Sekedar doa berakhir dengan kehampaan terkecuali ucapan-ucapan saja, mantra adalah daya kekuatan yang mendorong, ucapan berkekuatan (yang buah dari padanya disebut mantra-siddhi) dan karena itu sangat efektif untuk menghasilkan catur varga, persepsi kesejatian tunggal, dan mukti, karena itu dikatakan bahwa siddhi merupakan hasil yang pasti dari Japa. Dengan mantra dewata itu dicapai (sadhya). Dengan siddhi yang terkandung di dalam mantra itu terbukalah visi tri bhuvana.
Tujuan dari suatu puja (pemujaan), patha (pembacaan), stava (himne), homa (pengorbanan) dhyana (kontemplasi) dan dharana (konsentrasi) dan samadhi adalah sama. Namun yang terakhir, yaitu diksa mantra yang paling kuat. Di dalam puja, patha dan sebagainya yang bekerja hanyalah sadhana sakti dari seorang sadhaka saja, sedangkan pada waktu merapalkan dìksa mantra, sadhana sakti bekerja bersama-sama dengan mantra sakti yang memiliki daya revelasi dan api dan dengan demikian lalu memiliki kekuatan yang luar biasa. Mantra khusus yang diterima ketika diinisiasi (diksa) adalah vija mantra, yang ditabur di dalam tanah nurani seorang sadhaka. Terkait dengan ajaran tantra seperti sandhya, nyasa, puja dan sebagainya merupakan pohon dari cabang-cabang, daun-daunnya ialah stuti, vandana bunganya, sedangkan kavaca terdiri atas mantra adalah buahnya.
Nitya Tantra menyebutkan berbagai nama terhadap mantra menurut jumlah suku katanya. Mantra yang terdiri dari satu suku kata disebut Pinnda, tiga suku kata disebut Kartari. Mantra yang terdiri dari empat sampai sembilan suku kata disebut Vija mantra. Sepuluh sampai dua puluh suku kata disebut Mantra, dan mantra yang terdiri lebih dari 20 suku kata disebut Mala. Tetapi biasanya istilah Vija diberikan kepada mantra yang bersuku kata tunggal. Mantra-mantra Tantrika disebut Vija mantra, disebut demikian karena mantra-mantra itu merupakan biji dari buah yang ditak lain adalah siddhi, dan mantra-mantra Tantrika itu adalah saripatinya mantra. mantra-mantra Tantrika pada umumnya pendek, tidak bisa dikupas lagi secara etimologi, seperti misalnya Hrim, Srim, Krim, Hum, Am Phat dan sebagainya, dan mantra-mantra ini banyak ditemukan di dalam teks.
Setiap devata memiliki vija. Mantram primer satu devata disebut mula mantra. kata mula berarti jasad super halus dari devata yang disebut Kamakala. Mengucapkan mantra dengan tidak mengetahui artinya atau mengucapkan tanpa metoda tidak lebih dari sekedar gerakan-gerakan bibir. Mantra itu tidur. Beberapa proses harus dilakukan sebelum mantra itu diucapkan secara benar, dan proses-proses itu kembali menggunakan mantra-mantra, seperti usaha penyucian mulut (mukhasodhana), penyucian lidah (jihvasodhana), dan penyucian terhadap mantra-mantra itu sendiri (asaucabhangga), kulluka, nirvana, setu, nidrabangga (membangunkan mantra), mantra chaitanya atau memberi daya hidup kepada mantra dan mantrarthabhavana, yaitu membentuk bayangan mental terhadap devata yang menyatu di dalam mantra itu. Juga terdapat 10 samskara terhadap mantra itu. Mantra tentang devata adalah devata itu sendiri.
Getaran-getaran ritmis dari bunyi yang dikandung oleh mantra itu bukan sekedar bertujuan mengatur getaran yang tidak teratur dari kosa-kosa seorang pemuja, tetapi lebih jauh lagi dari dengan dan irama mantra itu muncul perwujudan devata, demikianlah kesejatiannya. Mantra siddhi ialah kemampuan untuk membuat mantra itu menjadi efektif dan menghasilkan buah, dalam hal itu mantra itu disebut mantra siddha.
Tidak terhitung jumlahnya mantra. Semua sabda Tuhan Yang Maha Esa di dalam kitab suci Veda adalah mantra. Walaupun demikian banyak jumlahnya, mantra-mantra itu dapat dibedakan menjadi 4 jenis sesuai dengan dampak atau pahala dari pengucapan mantra, yaitu:
1. Siddha, yang pasti (berhasil).
2. Sadhya (yang penuh pertolongan)
3. Susiddha (yang dapat menyelesaikan)
4. Ari, musuh (Visvasara Tantra).
"Siddhamantra memberikan pahala langsung tidak tertutupi dengan waktu tertentu. Sadhyamantra berpahala bila digunakan dengan sarana tasbih dan persembahan (ritual). Susiddhamantra, mantra tersebut pahalanya segera diperoleh, dan Arimantra, menghancurkan siapa saja yang mengucapkan mantra tersebut ” (Mantra Mahodadhi, 24,23).
Mantra-mantra tersebut akan berhasil (siddhi) sangat tergantung pada kualitas (kesucian) dari pemuja, dalam hal ini orang yang mengucapkan mantra tersebut. Ada tiga kualitas mantra, yaitu:
1). Sattvika Mantra, yaitu: mantra yang diucapkan untuk pencerahan rohani, sinar kebijaksanaan, mendapatkan kasih sayang Tuhan yang tertingi, cinta kasih dan perwujudan Tuhan.
2). Rajasika Mantra, yaitu: mantra yang diucapkan untuk mendapatkan kemakmuran duniawi.
3). Tamasika Mantra, yaitu: mantra yang diucapkan untuk menyeimbangkan kekuatan Bhuta dan menghancurkan ilmu hitam, mantra yang meiliki sifat penghancur (black magic).
Tata cara mengucapkan mantra secara umum ada tiga cara, yaitu:
1). Vaikari, yaitu: mengucapkan mantra dengan suara keras sehingga dapat didengar oleh orang lain, biasanya digunakan dalam kegiatan pemujaaan umum. Secara individu cara pengucapan mntra dengan Vaikari sangat baik jika seorang sadhaka merasa TAKUT jika berada sendirian ditempat sunyi, gelap. Karena pengucapan mantra dengan nada keras dapat memecah energi negatif yang diakibatkan oleh kekuatan atau pengaruh alam yang tidak bagus. Dalam hal utuk peningkatan kualitas spiritual, menurut beberapa sumber pengucapan mantra seperti ini memiliki kekuatan 10 kali.
2). Upamsu, yaitu; Mengucapkan mantra dengan cara berbisik-bisik atau mendesis (ngregep), sehingga hanya didengar oleh diri sendiri, pengucapan mantra dengan cara ini dpat memberikan dampak KAVACA atau perlindungan kepada sadhaka dari gangguan dunia luar seperti rasa dingin, ngantuk, termasuk binatang seperti semut dan nyamuk. Oleh para Waskita (tantrika) sering digunakan dalam dunia mistik untuk meramu obat dan membuat jimat. Dalam hal peningkatan kualitas spiritual pengucapan mantra dengan cara Upamsu memiliki kekuatan 100 kali.
3). Manasika, adalah mantra yang diucapkan dalam hati (bhatin), pengucapan mantra dengan cara ini sangat baik dipakai untuk mengucapkan mantra-mantra rahasia, Manasika mantra memiliki kekuatan yang paling besar untuk meningkatkan kualitas spiritual sadhaka. Biasanya dipakai pada sat bermeditasi.
Mantra dapat bersumber dari Veda (Sruti) maka disebut Vedik Mantra mantra yang bersumber dari Smrti seperti Purana, maka disebut Puranik Mantra, Dan Mantra yang bersumber dari kitab-kitab Tantra atau agama, termasuk dari Nibandha (lontar-lontar), maka disebut Tantrika Mantra.
Dari segi kualitas pengucapan mantra memiliki tiga fungsi, yaitu:
1). Produktif, adalah mantra yang berfungsi untuk meningkatkan kualitas spiritual/kesucian sadhaka, untuk mendoakan kesejahteraan, kedamaian alam semesta.
2). Protektif, adalah mantra yang difungsikan untuk memberikan perlindungan baik kepada sadhaka maupun bagi orang lain.
3). Destruktif Positif, adalah mantra yang berfungsi untuk menghancurkan segala kekuatan jahat.
4). Destruktif Negartif, adalah mantra yang dipakai untuk mencelakakan orang lain.
Sebuah mantra akan memiliki kesiddhian atau dapat mengantarkan seoarang sadhaka kepada hakekat Mantra tersebut, jika memenuhi syarat-syarat:
1). Sraddha; seorang sadhaka memiliki keyakinan yang kuat terhadap manfaat mantra yang diucapkannya.
2). Sadhana, seoorang sadhaka memiliki disiplin yang tinggi terhadap mantra yang dipilih sebagai bentuk disiplin kerohanian.
3). Bhakti; setiap sadhaka memiliki rasa hormat terhadap mantra yang diucapkan artinya tidak melecehkan mantra tersebut. (Aja wera)
4). Chanda, seoarang sadhaka harus memahami dan menguasai lagu atau melodi mantra yang diucapkan termasuk pemenggalan mantra, karena jika mantra salah ucap atau salah penggal akan memiliki makna dan maksud yang berbeda.
5). Kriya, seoarang sadhaka harus mamahami dan menghayati arti atau makna mantra yang diucapkan. Mantra yang diucapkan tanpa mengetahui arti, makna dan maksudnya ibarat berjalan di dalam gua yang gelap dengan memejamkan mata.
Demikian tulisan singkat ini, dengan harapan dapat menambah keyakinan, kasanah wawasan kita kepada Tuhan, dan untuk menepis anggapan bahwa mantra selalu dikaitkan dengan hal yang berbau mistik dan klenik.
Om Santih Santih Santih Om
Bali, 14 Januari 1999
No comments:
Post a Comment