Wednesday, February 23, 2011

MAKNA DOA DAN SEMBAHYANG

Salam Kasih

Om Swastyastu


Ananyāś cintayanto māṁ ye janāḥ pary upāsate,teṣām nityābhiyuktānāṁ yogakṣemaṁ vahāmy aham.
Mereka yang memuja Aku sendiri, mengingat Aku selalu, kepada mereka Aku bawakan apa yang mereka perlukan dan akan Aku lindungi apa yang mereka miliki. Bhagavadgῑtā IX.22.

A. Pendahuluan
Hidup manusia tidak selamanya manis, enak dan menyenangkan, tetapi terkadang juga mengalami pasang surut laksana gelombang di tepi laut. Dalam pasang surut kehidupan seseorang yang tidak memiliki pegangan akan terhempas dan mungkin terjerembab ke dasar lautan. Hidup dan kehidupan mestinya dinikmati bagaikan seorang peselancar yang mahir, selalu tersenyum riang meniti gelombang, walaupun sekali waktu ia harus tergulung ombak yang besar karena tiupan angin yang kencang.

Ajaran suci diturunkan oleh Sang Hyang Widhi, kemudian dirumuskan menjadi ajaran agama merupakan pegangan hidup dan kehidupan umat manusia. Seseorang yang memiliki pegangan yang jelas tidak akan khawatir dalam meniti kehidupan. Ajaran agama membimbing manusia bagaimana seharusnya hidup, bagaimana meniti hidup, apa tujuan hidup kita, bagaimana merealisasikannya dan berbagai bimbingan yang mengarahkan umat manusia menuju kesempurnaan hidup.

Dalam kehidupan ini, banyak hal yang dapat menjerumuskan diri manusia menuju jurang kehancuran. Di antara banyak hal yang menjerumuskan diri manusia, kitab suci Bhagavadgῑtā menyatakan adanya 3 sifat atau dorongan, yaitu nafsu (Kāma), emosi (Krodha) dan ambisi (Lobha) yang digambarkan sebagai tiga pentu gerbang menuju neraka:
Trividhaṁ narakasyedaṁ dvāraṁ nāśanam ātmanaḥ, kāmaḥ krodhas tathā lobhas tamād etat trayaṁ tyajet - Inilah tiga pintu gerbang menuju neraka, jalan menuju jurang kehancuran diri, yaitu: nafsu (Kāma), amarah (Krodha) dan ambisi /serakah (Lobha), setiap orang harus meninggalkan sifat ini. Bhagavadgῑtā XVI.21.

Ketiga sifat-sifat atau kecendrungan itu sering menjerumuskan umat manusia pada kehancuran diri dan lingkungannya. Untuk dapat mengatasi hal itu seseorang harus kembali berpegang kepada ajaran agama yang diturunkan oleh Hyang Widhi seperti tercantum dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu lainnya. Dalam hal ini pendidikan spiritual, moral, dan etika seperti diamanatkan dalam Veda dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) hendaknya semakin ditingkatkan dan direalisasikan dalam kehidupan nyata, sehari-hari baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, baik dalam lingkungan keluarga, lingkungan sosial maupun dalam hubungannya dengan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Pendidikan spiritual, moral, dan etika merupakan hal yang sangat mendasar dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Adapun yang menjadi sumber pendidikan ini tidak lain adalah ajaran agama. Pengamalan ajaran agama bagi seseorang maupun kelompok masyarakat akan tercermin dalam berperilaku di dalam keluarga dan masyarakat. Semakin arif dan bijaksana perilaku seseorang, maka orang tersebut dikatakan telah mengamalkan ajaran agama dengan baik, sebab tidak ada artinya mengerti atau memahami ajaran agama bila tidak diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk dapat mengamalkan ajaran agama dengan baik, seseorang hendaknya melaksanakan berbagai petunjuk atau petuah yang diajarkan oleh ajaran agama.

Ajaran agama Hindu bersumber pada kitab suci Veda yang merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Bila seseorang secara mantap mengikuti semua ajaran agama yang bersumber pada sabda suci Tuhan Yang Maha Esa itu, maka ia akan memperoleh ketentraman dan kebahagiaan hidup yang sejati. Ajaran agama merupakan pembimbing kehidupan spiritual, moral, dan etika bagi umat manusia. Sebagai telah dimaklumi bahwa kehidupan di dunia ini tidak selamanya stabil, tentang, tentram dan bahagia. Banyak duri dan rintangan yang mesti dihadapi, demikian pula gelombang kehidupan dengan pasang surutnya seakan-akan lebih dahsyat dari gelombang di samudra luas. Bila keadaan cuaca tentang, maka samudra kehidupanpun menjadi tenang, sebaliknya bila cuaca buruk, angin ribut, maka samudra kehidupanpun bergelombang tinggi yang kadang-kadang ombaknya menghancurkan bibir pantai. Bagaimanakah seseorang menyelamatkan diri dari gelombang kehidupan ini, maka jawabannya tidak ada yang lain, kecuali mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam ajaran agama Hindu kita mengenal empat jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, yakni melalui: Bhakti Mārga (jalan kebhaktian), Karma Mārga (jalan perbuatan), Jñāna Mārga (jalan pengetahuan kerohanian) dan Yoga Mārga (jalan Yoga/menghubungkan diri kepada-Nya). Dari berbagai jalan itu, nampaknya Bhakti Mārga merupakan jalan yang paling mudah dilaksanakan oleh umat manusia. Dari berbagai bentuk pelaksanaan Bhakti Mārga, maka melaksanakan Tri Sandhyā, sembahyang, dan berdoa merupakan jalan yang sederhana dan mudah dilaksanakan oleh setiap orang.

Tulisan singkat ini akan mengetengahkan dua hal seperti topik tulisan ini, yakni: Makna Doa dan Sembahyang. Doa dan sembahyang nampaknya merupakan hal yang rutin, namun sesungguhnya banyak hal yang perlu didalami, dalam usaha untuk memantapkan Śraddhā, yakni keyakinan kita, guna mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widhi. Sabda Tuhan Yang Maha Esa secara tegas menyatakan bahwa siapa saja yang senantiasa sujud dan bhakti kepada-Nya, akan diberikan apa saja yang diperlukan, akan dilindungi-Nya apa saja yang dimiliki oleh seseorang. Bila kita senantiasa mampu mendekatkan diri, maka ketentraman jiwa, kesejahtraan dan kebahagiaan akan dapat diwujudkan.

B. Pengertian Doa dan Sembahyang
Apakah terdapat perbedaan antara sembahyang dan berdoa? Secara singkat dapat dijelaskan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara kedua hal tersebut. Sembahyang lebih bersifat formal, dilakukan di tempat tertentu (tempat yang diyakini suci seperti berbagai tempat pemujaan), namun berdoa dapat dilakukan kapan saja, di mana saja dengan bahasa Sanskerta atau bahasa hati. Mengapa kita mesti berdoa, bukankah dengan sembahyang saja cukup? Jawaban yang pertama adalah kita berkewajiban untuk setiap saat ingat dan memusatkan perhatian kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kitab suci Bhagavadgῑtā secara tegas menyatakan: Man manāḥ bhava madbhakto madyājῑ māṁ namaskuru, māṁ evaiṣyasi satyaṁ te pratijāne priyo'si me - Berpikirlah tentang Aku senantiasa, jadilah penyembah-Ku, bersembahyang dan berdoa kepada-Ku, dengan demikian, pasti engkau datang kepada-Ku. Aku berjanji demikian kepadamu, karena engkau Aku sangat kasihi) Bhagavadgῑtā XVIII.65.

Berdasarkan kutipan wejangan suci di atas, dapatlah kita pahami bahwa sembahyang dan berdoa mesti senantiasa kita lakukan karena Tuhan Yang Maha Esa menegaskan bahwa dengan senantiasa berpikir tentang-Nya, mengingat-Nya, bersembahyang dan berdoa kepada-Nya, Tuhan Yang Maha Esa akan membukakan pintu hati-Nya dan kita datang kepada-Nya. Alasan lebih jauh mengapa kita perlu berdoa adalah dalam rangka proses membiasakan diri (abhyāsa) guna mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mendekatkan diri kepada-Nya dengan membiasakan diri, akan mudah dilakukan bila kita telah memiliki keikhlasan (tyāga) dan tidak terikat terhadap obyek keduniwian (vairagya), mensyukuri karunia-Nya (santosa) dan keseimbangan lahir dan batin dalam suka dan duka (sthitāprajña). Dengan membiasakan diri berpikir tentang-Nya, berdoa kepada-Nya di setiap saat, maka melalui doa kita ini, kita akan bebas dari segala penderitaan dan pikiran-pikiran negatif yang menjerumuskan diri kita dan orang lain. Di mana nama-Nya disebutkan, di sana Tuhan Yang Maha Esa hadir dan menganugrahkan kasih dan kebahagiaan.

Demikian pula memanjatkan doa, mohon keselamatan, kerahayuan, dan pengampunan dapat dilaksanakan kapan saja, di mana saja dan dalam situasi apapun juga.

C. Paramā Premā (kasih yang sejati) sebagai landasan Doa dan Sembahyang
Seperti telah disebutkan pada bagian awal dari tulisan ini, hidup manusia tidak selamanya manis, enak dan menyenangkan, tetapi terkadang juga mengalami pasang surut laksana gelombang di tepi laut. Dalam pasang surut kehidupan, seseorang yang tidak memiliki pegangan hidup, pegangan spiritual, moral, dan etika, ibarat sebuah perahu tanpa nahoda, akan selalu terobang-ambing, terhempas, dan mungkin terjerembab ke dasar lautan. Hidup dan kehidupan mestinya dinikmati bagaikan seorang peselancar yang mahir, selalu tersenyum riang meniti gelombang, walaupun sekali waktu ia harus tergulung ombak yang besar karena tiupan angin yang kencang.

Menurut kitab suci Bhagavadgῑtā (XIII.9), setiap orang dibelenggu oleh enam hal, yakni: janma-mṛtyu (kelahiran-kematian), jara-vyādhi (usia tua-penyakit), duḥkha-dośa (duka-dosa). Belenggu tersebut mesti dialami oleh setiap orang, dalam kondisi yang berbeda-beda, seperti umurnya pendek, baru beberapa saat setelah lahir kemudian meninggal atau ada yang memiliki umur panjang, dengan berbagai pengalaman suka dan duka dalam meniti kehidupan. Setiap orang tidak dapat melepaskan diri dari ketuaan, penyakit, penderitaan dan dosa. Bila kita kaji lebih jauh, frekwensi antara suka dan duka, nampaknya kesukaan atau kegembiraan hidup, pada umumnya lebih banyak dinikmati oleh umat manusia. Penderitaan tidak dapat dihindari. Penderitaan atau kedukaan mesti dihadapi. Bagi seseorang yang telah memiliki kebijaksanaan, keluhuran budhi atau intelek, maka penderitaan dipandang sebagai awan-awan di langit yang pada saatnya akan lenyap dalam berbagai bentuk, ada yang langsung menjadi hujan ada juga yang menjauh, tidak menutupi langit di atas kepala kita. Badai pasti berlalu, demikian keyakinan yang perlu ditumbuhkan. Untuk mengatasi badai tidak ada jalan lain kecuali mencari perlindungan dan perlindungan yang sejati, tidak ada lain kecuali datang dari pada-Nya.

Ajaran suci diturunkan oleh Sang Hyang Widhi, kemudian dirumuskan menjadi ajaran agama merupakan pegangan hidup dan kehidupan umat manusia. Seseorang yang memiliki pegangan yang jelas tidak akan khawatir dalam meniti kehidupan. Ajaran agama membimbing manusia bagaimana seharusnya hidup, bagaimana meniti hidup, apa tujuan hidup kita, bagaimana merealisasikannya dan berbagai bimbingan yang meangarahkan umat manusia menuju kesempurnaan hidup.

Membicarakan umat manusia, maka dalam ajaran Hindu dinyatakan bahwa pada diri setiap mahluk terdapat jiwa yang tidak lain merupakan perwujudan atau ekspresi dari Ātman, percikan dan bagian dari sinar suci-Nya. Sesuai dengan sifat Ātman, maka sesungguhnya hati nurani umat manusia selalu suci, seperti halnya sifat-sifat Paramātman, Tuhan Yang Maha Esa, jiwa dari seluruh alam semesta. Bila pada diri setiap umat manusia terdapat Ātman yang luhur sifatnya, maka seseorang hendaknya mampu mengekspresikan sifat-sifat luhur dari diri umat manusia. Manusia sesuai dengan arti katanya berasal dari Manu, kemudian berubah menjadi manuśya (yang berarti yang memiliki akal-pikiran/mind), dengan demikian sesungguhnya Ātman memancarkan budhi pekerti yang luhur, memililiki sifat yang arif dan bijaksana yang dalam bahasa Sanskerta, status manuśya ditingkatkan menjadi Madhava-Madhava (dari kata madhu, yang berarti yang memiliki kemanisan hidup dan sifat lemah lembut, kasih kepada-Nya dan segala ciptaan-Nya.

Sebagai telah dipahami, bahwa Bhakti Mārga adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jalan ini disebut jalan yang paling, mudah, sederhana dan tidak memerlukan biaya yang banyak, dan hampir seluruh umat Hindu menempuh jalan Bhakti ini. Dari ajaran Bhakti inilah muncul seni pengarcaan (membuat arca, sebagai sarana memuja keagungan-Nya, membuat bangunan suci yang indah dan sebagainya). Selanjutnya hidup tanpa seni, maka hidup seakan-akan kering tidak bermakna, oleh karena terdapat unsur seni dalam ajaran agama Hindu, maka unsur keindahan, selalu ditonjolkan.

Pokok-pokok ajaran tentang Bhakti Mārga dapat kita jumpai dalam kitab suci Veda, menunjukkan bahwa sejak Veda diturunkan dan diterima oleh para ṛṣi (ṛṣi agung atau mahaṛṣi) mengembangkan unsur Bhakti dalam dirinya. Berikut ini kami kutipkan mantram-mantram Veda yang mengajarkan ajaran Bhakti Mārga, sebagai berikut:
Oṁ Bhūr Bhūvaḥ Svaḥ Tat sāvitur varenyaṁ bhargo devasya dhῑmahi dhiyo yo naḥ pracodayāt - Ya Tuhan Yang Maha Kuasa, sumber segala yang ada, luhur dan maha mulia, pencipta alam semesta. Kami memuja kemaha mulian-Mu, anugrahkanlah kecerdasan dan budhi pekerti yang luhur kepada kami). Yajurveda XXXVI.3

Mengapa mantram yang sangat terkenal yang disebut Vedamātā (ibu dari semua mantram Veda) ini memohon kecerdasan intelek dan keluhuran budhi, alasan yang dapat diajukan tidak lain dengan berbekal kecerdasan intelek dan keluhuran budhi itu, seseorang memiliki Vivekajñāna, yakni kemampuan untuk membedakan yang baik dan buruk, yang benar dan salah. Selanjutnya setelah mengetahui, dan memahami hal tersebut, sinar budhi nurani umat manusia, mendorong supaya setiap orang melakukan kebaikan dan kebajikan. Perhatikanlah mantram selanjutnya:
Bhadraṁ karṇebhiḥ śrṇuyāma devā bhadraṁ paśyemākṣabhir yajatrāḥ sthirair aṅgais tuṣthusvāṁsas tanubhir vyaśemahi devahitaṁ yad āyuḥ - Ya Tuhan Yang Maha Esa, anugrahkanlah kepada kami untuk mendengar hal-hal yang baik, dan, Ya Tuhan Yang Maha Suci, kami dapat melihat hal- hal yang baik, dan semogalah kami dapat mempersembahkan bhakti kami dengan kekuatan tangan dan keteguhan badan kami, dapat menikmati kebahagiaan sejati sesuai dengan hukum kemahakuasaan-Mu). Ṛgveda I.89.8, Yajurveda XXV.21.

Mantram-mantram Veda berikut memberi petunjuk kepada kita bahwa segala sesuatu di alam semesta ini adalah ciptaan-Nya dan seseorang jangan terikat kepada keduniawian, demikian juga serakah ingin memiliki milik atau hak orang lain. Mengapa hal ini sangat ditekankan, karena pada hakekatnya dalam diri setiap mahluk terdapat Ātman yang senantiasa memancarkan keluhuran budhi. Keluhuran budhi ini hendaknya tetap dipelihara, dengan menghindarkan keterikatan diri dan keserakahan.

Puruśa evedam śarvam yad bhūtam yacca bhāvyaṁ, utāmātatvasyesā no yad
annenāti rohati - Tuhan Yang Maha Esa adalah asal dari segala yang ada
dan yang akan ada. Ia adalah raja dan penguasa alam yang kekal abadi dan dunia fana ini tempat tumbuhnya makanan (tanaman). Ṛgveda X.90.2

Īsā vāsyam idam śarvam yat kim ca jagatyām jagat tena tyaktena bhuñjῑthā mā gadhah kasya svid dhanam - Hendaknya dipahami bahwa segalanya diresapi oleh Tuhan Yang Maha Esa, segala yang bergerak dan yang bergerak dialam semesta. Hendaknya orang tidak terikat dengan berbagai kenikmatan dan tidak rakus serta mengingini milik orang lain). Yajurveda XL.1.

Dari beberapa mantram Veda yang mengajarkan bhakti ini, Mahaṛṣi Nārada dalam kitabnya Nārada Bhakti Sūtra (I.2) merumuskan bahwa bhakti itu sesungguhnya Paramā Premā atau Paramā Premārūpa, cinta kasih yang sejati, yang tertinggi. Kasih yang sejati digambarkan sebagai kasih dari seorang bapak, sanak saudara, sahabat, dan di dalam Gurupūjā, Tuhan Yang Maha Esa tidak saja digambarkan sebagai seorang ibu dan bapak, tetapi juga sebagai keluarga dan sahabat, pemberi pengetahuan dan kekayaan. Perhatikanlah mantram-mantram berikut:
Agniṁ manye pitaram agnim āpim agniṁ bhrātaraṁ sadami sakhāyam, agner anῑkaṁ bṛhatah saparyaṁ divi śukraṁ yajataṁ sūryasya - Tuhan Yang Maha Esa yang kami yakini sebagai bapak kami, sanak kerabat dan saudara kami, kami puja Engkau sebagai yang
memiliki wajah yang agung, sinar suci Sūrya di langit) Ṛgveda X.7.3.
Tvam eva māta ca pitā tvam eva tvam eva bandhuś ca sakhā tvam eva, tvam eva vidyā dravinaṁ tvam eva tvam eva sśarvaṁ māmā deva-deva - Tuhan Yang Maha Esa sesungguhnya adalah ibu kami, bapak kami, sahabat kami dan keluarga kami. Tuhan Yang

Maha Esa sesungguhnya pemberi pengetahuan, dan Engkau penganugrah kekayaan. Engkau adalah segalanya, Ya Engkau adalah dewata tertinggi dari seluruh dewata). Guru Stotra 14.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka pengertian bhakti seperti nampaknya dekat dengan yajña, yakni pengorbanan yang tulus dengan landasan kesucian hati dan berseminya kasih sayang. Selanjutnya dalam kitab Śabdakalpadruma III.463b, kata Bhakti dinyatakan sebagai vibhāga (pembagian atau pemisahan, memisahkan penyembah dan yang disembah), sevā (pemujaan atau pelayanan). Selanjutnya para ahli Sanskerta, menyatakan bahwa kata bhakti berasal dari akar kata bhaj yang berarti memuja, cinta kasih yang sejati kepada-Nya dengan penuh perasaan dan ketulusan. Di dalam Brahma Sūtra atau Vedānta Sūtra, pengertian tentang bhakti diungkapkan dalam kalimat Sūtra berikut: athātobhaktijijñāsa, sekarang diuraikan makna bhakti, sāparānuraktῑśvare, cinta kasih yang sejati kepada Tuhan Yang Maha Esa dari seseorang dengan sepenuh hati. Jadi pengertian tentang bhakti ini sejalan dengan makna kata paramā premā, kasih yang tinggi dan sejati.

D. Prapatti (penyerahan diri) sebagai usaha mendekatkan diri kepada-Nya
Di dalam Bhagavadgῑtā (VII.16-17) kita jumpai penjelasan tentang empat macam orang yang berusaha mendekatkan diri, berbhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, mereka itu adalah: orang yang sengsara, yang mengejar kekayaan, yang mengejar ilmu pengetahuan dan orang yang berbudhi luhur. Di antara ke empat macam orang tersebut, maka orang yang berbudhi luhur dinyatakan yang paling mulia. Mengapa demikian, orang yang berbudhi pekerti luhur sepenuhnya menyerahkan diri kepada-Nya. Penyerahan diri secara total kepada-Nya disebut prapatti, demikianlah bhakti-prapatti mengandung makna bhakti yang murni, sebab mereka telah merasakan dalam kebhaktiannya itu, ia berada dalam lindungan-Nya. Bila kita bhakti dan menyerahkan diri sepenuh hati, maka Tuhan Yang Maha Esa hadir di hadapan kita.

Dari uraian tersebut di atas, kita menjumpai dua jenis atau bentuk bhakti, yaitu para bhakti dan apara bhakti. Para bhakti mempunyai makna yang sama dengan prapatti, yakni penyerahan diri secara total kepada-Nya sedang apara bhakti adalah bhakti dengan berbagai permohonan dan permohonan yang dipandang wajar adalah mohon keselamatan atau mohon berkembang-mekarnya budhi nurani, sedang permohonan untuk keayaan dan kekuasaan, sering disebut bhakti yang bersifat Rājas dan Tāmas. Perlu pula ditegaskan bahwa prapatti itu bukan fatalistik, artinya dengan penyerahan diri kepada-Nya, kemudian yang bersangkutan tidak bekerja sebagai mana mestinya, tidak melakukan tugas dan kewajiban dengan baik. Tuhan Yang Maha Esa di dalam kitab suci Veda tegas menyatakan bahwa Dia hanya menyayangi umat manusia yang suka bekerja keras, tidak malas, suka tidur dan banyak omong kosong.
Lebih jauh, bila kita mengkaji berbagai bentuk, sifat bhakti atau metodologi pendidikan untuk senantiasa bhakti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, kitab Bhāgavata Purāṇa (VII.52.23) membedakan 9 jenis bhakti (Navavidhabhakti), yaitu: (1). Śravanam (mempelajari keagungan Tuhan Yang Maha Esa melalui membaca atau mendengarkan pembacaan kitab-kitab suci), (2). Kῑrtanam (mengucapkan/menyanyikan nama-nama Tuhan Yang Maha Esa), (3). Smaranam (mengingat nama-Nya atau bermeditasi tentang-Nya), (4). Pādasevanam (memberikan pelayanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, termasuk melayani, menolong berbagai mahluk ciptaan-Nya), (5). Arcanam (memuja keagungan-Nya), (6). Vandanam (sujud dan kebhaktian), (7). Dāsya (melayani-Nya dalam pengertian mau melayani mereka yang memerlukan pertolongan dengan penuh keikhlasan), (8). Sākhyanam (memandang Tuhan Yang Maha Esa sebagai sahabat sejati, yang memberikan pertolongan ketika dalam bahaya) dan (9). Ātmanivedanam (penyerahan diri secara total kepada-Nya).

Berbagai bentuk atau contoh perwujudan bhakti tersebut di atas dapat kita lihat dari berbagai ceritra baik dalam kitab-kitab Itihāsa seperti Rāmāyana dan Mahābhārata maupun kitab-kitab Purāṇa. Untuk memantapkan pemahaman kita tentang bhakti ini, kami kutipkan dua buah ceritra tentang kebhaktian Hanumān kepada Śri Rāma dalam Rāmāyana sebagai berikut:
Saat itu, setelah penobatan Vibhisana sebagai mahāraja dan kota Lengka sudah diganti namanya menjadi Śrῑlaṅka, semua pasukan Śrῑ Rāma telah kembali ke Ayodhyā. Śrῑ Rāma bersama dewi Sitā dan Lakṣamana mengendarai kereta terbang bernama Manipuṣpaka, yang merupakan hadiah dari dewa Kuvera. Setibanya di keraton Ayodhyā, segera itu dilaksanakan upacara Abhivandana, yakni upacara syukuran atas kejayaan Śrῑ Rāma berhasil menundukkan Ravana. Pada persidangan agung yang mulia dihadiri oleh seluruh petinggi kerajaan, Śrῑ Rāma membagi-bagikan berbagai hadiah kepada siapa saja yang pernah berjasa dalam memenangkan perang untuk merebut kembali dewi Sitā. Setelah setiap pejabat tinggi mendapatkan hadiah, selanjutnya dipanggillah Hanumān untuk menerima hadiah dari Śrῑ Rāma. Saat itu Hanumān tampil berdatang sembah, dengan sangat hormat ia menyatakan tidak bersedia lagi menerima hadiah. Alasan Hanumān, dengan Śrῑ Rāma menginjinkan dirinya sebagai abdi sang Pūrṇa Avatara, dirinya sudah mendapat hadiah yang tiada taranya, sebab siapa saja yang dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa, para dewa atau Avatara-Nya, seseorang menikmati kebahagiaan yang sejati.

Terhadap penolakan Hanumān ini, Śrῑ Rāma dan dewi Sitā kembali mendesak Hanumān untuk bersedia menerima hadiah sebagai kenang-kenangan atas keberhasilan di medan perang. Demikian pula keberhasilan Hanumān sebagai Duta serta keberanian dan kekuatan Hanumān mendapat pujian dari segenap yang hadir. Hanumān tidak menjawab. Saat itu dewi Sitā berbisik kepada suaminya, untuk mengijinkan kalung mutiara hadiah Prabhu Janaka, ayahnda dewi Sitā diberikan kepada Hanumān. Śrῑ Rāmapun menyetujuinya, walaupun kalung mutiara itu memiliki arti yang istimewa bagi Śrῑ Rāma dan Sitā, karena dihadiahkan saat Śrῑ Rāma berhasil mematahkan busur milik dewa Śiva dalam sayembara dan berhasil memenangkan serta mempersunting dewi Sitā sebagai istrinya. Saat Hanumān tertunduk, Śrῑ Rāmapun langsung membuka kalung dewi Sitā dan tampil ke depan menyerahkannya kepada Hanumān. Hanumān seperti terpaksa menerima hadiah tersebut. Hanumān merasa malu, seorang yang telah lama diterima sebagai abdi harus menerima hadiah bukankah hal ini salah satu wujud kerakusan ? Setelah Hanumān menerima hadiah tersebut, satu-persatu butiran mutiara itu diperhatikan oleh Hanumān, maksudnya untuk menemukan gambar Śrῑ Rāma dan Sitā pada biji-biji mutiara tersebut. Iapun tidak menemukan hal itu, tanpa disadari ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan kemudian menggigit rangkaian mutiara itu dan melemparkannya ke tanah. Hadiran tercengang dan gemas menyaksikan kejadian itu. Panglima Sugrῑva sangat marah dan membentak Hanumān. "Hai Hanumān, engkau kera hina tidak tahu diri, kelakuanmu itu memalukan, kuhancurkan wajahmu! Kau telah hina persidangan yang agung ini !" Ia berdiri tegak sambil mengepalkan tangan hendak memukul Hanumān. Bila saja tidak di depan persidangan yang mulia itu, Sugrῑva sudah pasti menempeleng muka Hanumān. Sugrῑva sangat geram, tubuhnya gemetar menahan marah.

Pada saat yang menegangkan itu, Śrῑ Rāma dan Sitā tersenyum dan memandang Sugrῑva yang sedang marah. Demikian tatapan Śrῑ Rāma dan Sitā menyapu wajah Sugrῑva, saat itu pula emosi dan kemarahan Sugrῑva lenyap. Śrῑ Rāma dan Sitā benar-benar mengalirkan pancaran kasih yang tiada taranya. Selanjutnya Śrῑ Rāma mendatangi Hanumān dan menepuk bahunya : "Engkau seperti anak kecil, mengapa lakukan hal itu ?". Maaf tuan Śrῑ Rāma dan ibu dewi Sitā, hamba telah mengecewakan persidangan yang mulia ini. Memang hamba seekor kera yang hina, tetapi hamba kira diri hamba tidak lebih rendah dari seorang manusia. Bagi hamba dengan diijinkan sebagai abdi, hamba sudah bahagia, karena ketika hamba dekat dengan tuan dan ibu sebagai perwujudan Avatara Tuhan Yang Maha Esa dan dewi Laksmi, saat itu pula kebahagiaan tiada taranya hamba peroleh dari tuan. Bukankah dengan pemberian hadiah ini hamba menunjukkan kerakusan hamba ?".

Śrῑ Rāma kembali menepuk bahu Hanumān. "Tidak ! Engkau tidak rakus. Lalu apa yang engkau minta Hanumān! Katakanlah jangan seperti anak kecil !" "Baiklah tuan dan ibu dewi Sitā, bila hamba boleh meminta lagi, ijinkanlah hamba senantiasa dekat tidak saja secara jasmaniah, tetapi tuan dan ibu dewi Sitā hendaknya selalu berada di hati kami. Untuk itu sudikah tuan Śrῑ Rāma dan ibu dewi Sitā untuk bersthana pada jantung hati kami. Pada singasana bunga hati kami. Bila tuan dan ibu dewi Sitā berkenan bersthana, maka itulah hadiah yang hamba senantiasa mohon".
Śrῑ Rāma selanjutnya berdiri tegak dan bersabda : "Hai Hanumān dan hadirin yang tercinta dan supaya di dengar pula oleh seluruh jagat raya. Siapa saja yang maju satu langkah menghadap Aku dan mau mendekatkankan dirinya serta membuka pintu hatinya. Aku akan datang sepuluh langkah mendekati mereka, masuk ke dalam hatinya dan memberikan kebahagiaan yang sejati tiada taranya!". Mendengar sabda Śrῑ Rāma demikian merdu dan menggetarkan alam semesta. Hanumān dengan mencium kaki Śrῑ Rāma terlebih dahulu, kemudian menegakkan dadanya. Dengan kekuatan "Bayubajra", bagaikan kekuatan petir, tiba-tiba dengan kukunya yang tajam ia menoreh dadanya. Dan dengan tenaganya yang dahsyat, tiba-tiba yang merobek dadanya, darah berhamburan ke berbagai arah. Saat itu pula Śrῑ Rāma dan dewi Sitā hilang dari singgasana kencananya yang indah. Suasana menjadi hening dan terdengar mantra-mantra para dewa dan para ṛṣi dari sorga dengan taburan bunga harum semerbak, nampaklah cahaya gemerlapan pada dada Hanumān yang menganga lebar. Pada cahaya itu kemudian nampak sebuah singasana emas di atas padma hati Hanumān. Ketika itu kelihatan Śrῑ Rāma dan Sitā duduk melambaikan tangan dengan sikap Abhaya dan Varamudra, yaitu sikap tangan menjauhkan serta menolak bencana dan memberi hadiah. Hadirin mengucapkan Jaya-jaya Śrῑ Rāma, Jaya-jaya dewi Sitā. Setelah suana hening kembali. Hanumānpun menutup dadanya, tidak nampak ada luka dan tiba-tiba Śrῑ Rāma dan dewi Sitā sudah kembali bersthana pada singasana kencana di depan persidangan.

Demikian cuplikan singkat dari ceritra Rāmāyana yang memberikan pendidikan secara simbolis, bila di hati kita telah bersthana sang Avatara, para dewa manifestasi Tuhan Yang Maha Esa, maka niscaya kebahagiaan akan selalu berada dalam diri kita. Berbagai upacara termasuk piodalan dan lain-lain mengandung makna untuk mendekatkan diri kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan mendekatkan diri, maka Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud-Nya sebagai Anandarūpa, yakni kebahagiaan yang sejati akan turun dan memberikan kebahagiaan yang tak terhingga kepada kita.
Demikian ceritra tentang bhakti yang sejati adalah sesungguhnya pelayanan kepada-Nya, lebih jauh kami petikkan tentang arogansinya Ārjuna yang populer dikenal dengan ceritra Ārjuna Pramada, mengisahkan perjumpaan Ārjuna dengan Hanumān, Ārjuna merasakan betapa kelirunya bila tidak hormat dan bhakti kepada Avatara-Nya:

Sekali waktu Śrῑ Kṛṣna berjalan-jalan diikuti oleh Ārjuna di pinggir pantai Kanyakumari yang dikenal pula dengan nama tanjung Komorin di ujung Selatan anak benua India atau Bhāratawarsa. Śrῑ Kṛṣna mengagumi kemegahan pura Rāmeśvaram yang nampak berdiri agung bagaikan sebuah gunung putih berkilauan. Ārjuna pun menyaksikannya dengan penuh ketakjuban. Perhatian mereka beralih menyaksikan puing-puing jembatan Situbandha, jembatan yang menghubungkan India dengan Śrῑlaṅka. Śrῑ Kṛṣna menunjukkan betapa megah proyek dikerjakan oleh ribuan wanara bala tentara Sugrῑva untuk mensukseskan perang merebut kembali dewi Sitā dari tangan raja angkara murka Rāvana.
"Lihatlah Ārjuna , batu yang demikian gedenya mampu diangkat oleh bala tentara kera, sungguh mengagumkan!", demikian antara lain ucapan Śrῑ Kṛṣna kepada Ārjuna . Ārjuna pun menjawabnya dengan penuh kekaguman. Namun yang terjadi saat itu sesunggunya dalam diri Ārjuna muncul keangkuhan. "Membuat jembatan demikian saja kok mengerahkan ribuan bala tentara kera. Kalau aku, sendirian dengan sebatang panahku aku mampu membikin jembatan yang jauh lebih besar dari mega proyeknya Śrῑ Rama itu", demikian keangkuhan Ārjuna , walaupun tidak diucapkan, namun Śrῑ Kṛṣna dengan detektor gaib yang dimilikinya mampu mengetahui pikiran Ārjuna sekalipun belum terucapkan.
Kecongkakan atau pramada yang muncul dari pikiran Ārjuna ini ingin dilenyapkan oleh Śrῑ Kṛṣna. Saat itu pula Kṛṣna dengan power yang dimilikinya mampu memanggil Hanumān yang sedang rileks di lereng gunung Kailasa. Bagaikan kilatan cahaya, entah dari mana datangnya, tiba-tiba seekor kera bengil (kecil dan nampak kurang sehat) berdiri di samping Ārjuna dan ternyata kera itu mampu berbicara kepada Ārjuna. "Maaf tuan, apakah tuan bernama Sang Ārjuna dan apakah tuan bernama Śrῑ Kṛṣna ?" demikian, sapaan suara kera bengil itu kepada kedua tokoh yang tegap dan tampan di hadapannya. Śrῑ Kṛṣna mengangguk: "Ya saya Kṛṣna dan ini adik saya Ārjuna ". Tiba-tiba keangkuhan Ārjuna tidak tertahankan dan nyeletuk: "Apakah anda mengenal mega proyek jembatan Situbanda yang mengagumkan dalam kisah Rāmāyana ?", demikian pertanyaan Ārjuna kepada kera yang sambil jalan nampak renta. "Ya tuan, saya tahu itu". "Wah kalau jembatan yang demikian saja mengerjakannya mengerahkan ribuan kera, maka berarti Śrῑ Rāma itu tidak hebat, mestinya beliau dengan satu panahnya saja mampu membuat sebuah jembatan yang besar dan kokoh". Aku mampu melakukan hal itu!".
Demikian kata-kata Ārjuna , kera itu semakin mendekat: "Wah hebat benar tuan!" Kiranya bila berkenan, tunjukkanlah kepada hamba biar hamba juga mengenal kemampuan tuan sebagai orang ketiga dari keluarga Pandawa. Śrῑ Kṛṣna memberikan isyarat kepada Ārjuna dan Ārjuna pun mengeluarkan satu batang panah bernama Nagapasa dari selongsongnya dan seketika itu ia melepaskan panahnya dan tiba-tiba panah itu berubah menjadi sebuah jembatan yang besar, megah dan nampak kokoh. Kera kecil itu minta ijin kepada Ārjuna untuk mencobanya. "Maaf tuan Sang Ārjuna , apakah saya boleh mencoba lewat pada jembatan yang besar ini?". "Ya Ya Ya silakan....silakan, engkau boleh melompat seenaknya pada jembatan karyaku ini!". Tiba-tiba saja kera kecil itu melompat, demikian satu kali injakan, ternyata jembatan itu roboh. "Maaf tuan Sang Ārjuna , saya kera yang bengil begini saja membuat jembatan anda hancur, apalagi ribuan bala tentara Sugrῑva yang akan menyerang Alengka, bisakah mereka menyeberangi jembatan tuan!".
Muka Ārjuna merah padam dan sangat malu kepada Śrῑ Kṛṣna , ternyata seekor kera bengil mampu merobohkan karyanya yang hebat itu. Ārjuna pun bertindak kesatria dan bertanya: "Maaf, saya bertanya siapakah anda ?" "Saya yakin anda bukan seekor kera biasa ? Saya mengagumi anda?". Kera kecil itupun menunjukkan jati dirinya: "Ya tuan Sang Ārjuna , aku ini......aku ini adalah Hanumān, abdi setia Śrῑ Rāma". "Maaf, tuan Hanumān, saya dengar anda sangat besar, hebat dan mampu terbang kemana-mana, kini mengapa anda kelihatan kecil, tua renta dan seperti tidak berdaya?. Ijinkanlah saya menghormati anda" demikian kata-kata Ārjuna terbata-bata dengan penuh penyesalan. Hanumānpun menjawan: "Wahai Ārjuna , setiap mahluk mengalami proses menuju ketuaan. Ketika saya masih menjabat sebagai panglima divisi Selatan untuk membebaskan Sitā dari belenggu Rāvana, saya punya jabatan tinggi. Sebagai pejabat besar saya mendapat fasilitas terbang kemana-mana dan gratis lagi. Kini saya telah pensiun. Jabatan itu telah saya serah terimakan. Sebagai seorang yang tidak menjabat, segalanya kini nampak kecil, tubuh saya kecil, sakit-sakitan lagi dan tidak seorangpun mau menolehnya. Syukur saya tempo hari dapat berkesempatan dekat dengan Śrῑ Rāma, beliau banyak memberikan karunia kepada saya untuk menghadapi berbagai persoalan hidup termasuk bagaimana cara menghindari Postpower syndrome, karena aku tidak menjabat lagi. Sebagai orang yang sudah mulai uzur, maka saya sejak kanak-kanak telah mempersiapkan diri untuk memasuki masa Vanaprastha, masa tua, jauh dari hiruk pikuk panggung politik dan ikatan duniawi, bila kita sadari semua dengan keikhlasan, bahwa tunas-tunas baru akan senatiasa tumbuh pada cabang-cabang kayu menggantikan ranting-ranting yang mulai lapuk, maka kesadaran itu memberikan kebahagiaan yang sejati. Śrῑ Rāma telah menganugrahkan saya ajaran Muktika Upanisad, sebagai bekal menuju alam keabadian. Karunia Śrῑ Rāma tiada taranya. Kini engkau Ārjuna dekatkanlah hati dan pikiranmu kehadapan kaki Śrῑ Kṛṣna , maka engkaupun akan memperoleh kejayaan. Bila saatnya perang Bhāratayudha meletus, pasanglah sebuah bendera berisi gambarku, ketika engkau menoleh bendera itu, engkau ingat kepada aku, maka akupun segera datang membantumu di medan laga". Demikianlah ucapan Sang Hanumān, Ārjuna pun berkaca-kaca. Sejak saat itu, Nagapasa sang Ārjuna diabadikan dalam umbul-umbul, dan bendera Ārjuna selalu berisi gambar Hanumān. Kedua hal ini selalu dipancangkan pada pura-pura atau mandira-mandira sthana muja-Nya terutama ketika upacara piodalan, mengingatkan peristiwa Ārjuna pramada.
Dari kedua cuplikan ceritra di atas, dapat dipetik hikmahnya bahwa pada hati seorang bhakta yang tulus, Tuhan Yang Maha Esa senantiasa hadir didepannya, demikian pula kecongkakan dan arogansi dapat menyesatkan diri seseorang dalam mengikuti jalan bhakti atau bhakti mārga

E. Mantra sebagai sarana berdoa dan sembahyang
1. Pengertian mantram
Apakah setiap kita sembahyang mesti menggunakan mantram, bagaimana bila kita tidak mengetahui tentang mantram, apakah boleh menggunakan bahasa hati, bahasa yang paling kita pahami? Berbagai pertanyaan muncul berhubungan dengan penggunaan mantram dalam acara persembahyangan. Dalam melaksanakan Tri Sandhyā, sembahyang dan berdoa setiap umat Hindu sepatutnya menggunakan mantram, namun bila tidak memahami makna mantram, maka sebaiknya menggunakan bahasa hati atau bahasa ibu, bahasa yang paling dipahami oleh seseorang yang dalam tradisi Bali disebut "Sehe" atau "ujuk-ujuk" dalam bahasa Jawa.

Mengapa penggunaan mantra sangat diperlukan dalam sembahyang? Terhadap pertanyaan ini dapat dijelaskan bahwa sesuai dengan makna kata mantra, yakni alat untuk mengikatkan pikiran kepada obyek yang dipuja. Pernyataan ini tidak berarti bahwa setiap orang harus mampu mengucapkan mantra sebanyak-banyaknya, melainkan ada mantra-mantra yang merupakan ciri atau identitas seorang penganut Hindu yang taat, yakni setiap umat Hindu paling tidak mampu mengucapkan mantra sembahyang Tri Sandhyā, Kramaning Sembah dan doa-doa tertentu, misalnya mantram sebelum makan, sebelum bepergian, mohon kesembuhan dan lain-lain. Umumnya umat Hindu di seluruh dunia mengenal Gāyatrῑ mantram, mantram-mantram ŚubhaSitā (yang memberikan rasa bahagia dan kegembiraan) termasuk Mahāmṛtyuñjaya (doa kesembuhan / mengatasi kematian), Śāntipatha (mohon ketenangan dan kedamaian) dan lain-lain.

Sebelum lebih jauh menguraikan tentang fungsi atau manfaat pengucapan mantram, maka sangat baik pula dipahami perbedaan pengertian antara mantram, stuti, stava, pūjā atau stotra, sūtra dan śloka. Mantram pada umumnya adalah untuk menyebutkan syair-syair yang merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa, yang disebut Śruti. Dalam pengertian ini yang termasuk dalam pengertian mantram adalah seluruh syair dalam kitab-kitab Saṁhitā (Ṛgveda, Yajurveda, Sāmaveda, Atharvaveda), Brāhmana (Śatapatha, Gopatha, dan lain-lain), Āranyaka (Taittirῑya, Bṛhadāranyaka, dan lain-lain) dan seluruh Upaniṣad (Chāndogya, ῑśa, Kena, dan lain-lain).

Di samping pengertian mantram seperti tersebut di atas, syair-syair untuk pemujaan yang tidak di ambil dari kitab Śruti, sebagian di ambil dari kitab-kitab Itihāsa, Purāṇa, kitab-kitab Āgama dan Tantra juga disebut mantra, termasuk pula mantram para pandita Hindu di Bali. Mantram-mantram ini digolongkan ke dalam kelompok stuti, stava, stotra, dan pūja. Selanjutnya yang dimaksud dengan sūtra adalah kalimat-kalimat singkat yang mengandung makna yang dalam seperti kitab Yogasūtra oleh mahaṛṣi Patañjali, Brahmasūtra oleh Badarāyana dan lain-lain, sedang śloka adalah syair-syair yang dipakai dalam kitab-kitab Itihāsa dan Puæāna, termasuk seluruh kitab-kitab sastra agama setelah kitab-kitab Itihāsa dan Purāna.

2. Fungsi mantram
Kini marilah kita bahas fungsi atau manfaat penggunaan mantram. Seperti telah diuraikan di atas, maka mantram-mantram berfungsi sebagai stuti, stava, stotra atau pūjā yang bermakna untuk mengagungkan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa, para dewata manifestasi-Nya, para leluhur dan guru-guru suci, dalam pengertian ini termasuk pula untuk memohon keselamatan, kerahayuan, ketenangan dan kebahagiaan. Dalam fungsinya untuk memohon perlindungan diri, maka mantram berfungsi sebagai Kavaca (baju gaib yang melindungi tubuh dan pikiran kita dari kekuatan-kekuatan negatif atau jahat) dan Pañjara (membentengi keluarga dari berbagai halangan atau kejahatan.

Perlu pula ditambahkan, bila mengucapkan mantram-mantram, hendaknya dipahami benar-benar arti dan makna sebuah mantram yang hendak dirapalkan. Mengucapkan mantram tanpa mengerti makna, kitab Nirukta (I.13) menyatakan: Seorang yang mengucapkan mantram dan tidak memahami makna yang terkandung dalam mantram itu, tidak pernah meperoleh penerangan (kurang berhasil) seperti halnya sepotong kayu bakar, walaupun disiram dengan minyak tanah, tidak akan terbakar bila tidak disulut dengan korek api. Demikian pula halnya orang yang hanya mengucapkan mantram tidak pernah memperoleh cahaya pengetahuan yang sejati.

Pertanyaan yang sering diajukan oleh sebagian masyarakat adalah bagaimanakah caranya mengucapkan sebuah mantram, apakah perlu keras-keras, berbisik-bisik atau diam saja, atau cukup di dalam hati. Menurut berbagai informasi dinyatakan bahwa terdapat tiga macam cara pengucapan mantram, yaitu:
1.Vaikari (ucapan mantram terdengar oleh orang lain).
2.Upāmṣu (berbisik-bisik, bibir bergerak, namun suara tidak terdengar).
3. Mānasika(terucap hanya di dalam hati, mulut tertutup rapat).

Dari ketiga jenis atau cara pengucapan mantram di atas, Mānasika yang diyakini paling tinggi nilainya dan menurut hemat kami, yang penting adalah kesujudan, kekusukkan dan kesungguhan yang dilandasi oleh kesucian hati. Memang tidak semua orang berhasil mengucapkan mantram dengan baik dan mantram atau doanya itu terkabulkan. Untuk menunjang keberhasilan pengucapan mantram (mantram akan siddhi-mandi), hal yang sangat perlu dilakukan antara lain: sebelum mengucapkan mantram hendaknya seseorang menyucikan dirinya baik jasmani maupun rohani (asuci laksana) dan bagi seorang rohaniwan, melakukan berbagai brata (janji atau tekad bulat tertentu melaksanakan ajaran agama/berdisiplin), upavāsa (mengendalikan makanan) dan japa (pengucapan mantram-mantram berulang-ulang), mendukung keberhasilan dalam mengucapkan mantram.

3. Mantram Tri Sandhyā sebagai sarana berdoa dan sembahyang
Mengapakah kita wajib melaksanakan puja Tri Sandhyā, apakah sumber ajaran ini dan bagaimana kita bila tidak mampu melaksanakan hal tersebut? Apakah harus melaksanakan puja Tri Sandhyā itu di tempat-tempat yang di pandang suci, bagaimanakah apa boleh dilaksanakan di kantor atau tempat-tempat pertemuan dan lain-lain muncul sebagai akibat belum memasyarakatnya Tri Sandhyā secara baik.

Tri Sandhyā adalah sembahyang yang wajib dilakukan oleh setiap umat Hindu tiga kali dalam sehari. Sembahyang rutin ini diamanatkan dalam kitab suci Veda dan sudah dilaksanakan sejak ribuan tahun yang lalu. Bila kita tidak tekun melaksanakan Tri Sandhyā berarti kita tidak secara sungguh-sungguh mengamalkan ajaran yang terkandung dalam kitab suci Veda. Banyak hambatan yang dialami mengapa seseorang tidak tekun melaksanakan puja atau sembahyang Tri Sandhyā, beberapa hambatan tersebut di antaranya: karena kurang memahami makna yang terkandung dalam melaksanakan puja Tri Sandhyā, karena enggan, sebab belum dibiasakan (abhyāsa), bahasanya tidak atau kurang dipahami dan sebagainya.

Untuk mengatasi berbagai hambatan tersebut di atas, pertama-tama tumbuhkan tekad bahwa kita mampu untuk melaksanakan hal itu. Selanjutnya pelajari dan hafalkan tiap-tiap kata dalam mantram yang digunakan dalam Tri Sandhyā. Usaha lainnya adalah dalami maknanya seperti telah kami ungkapkan di atas, mantra Tri Sandhya, khususnya mantram Gāyatrῑ, di samping fungsi utamanya sebagai stava, stotra atau pūjā, maka fungsinya sebagai kavaca dan pañjara mendorong kita untuk menuju keselamatan jiwa dan raga. Sebagai dimaklumi, di dalam mantram-mantran yang digunakan untuk puja Tri Sandhyā, terdapat sebuah mantram yang sangat disucikan oleh umat Hindu, yakni mantram Gāyatrῑ, mantram pertama dari 6 bait mantram Tri Sandhyā, dan seperti diamanatkan dalam kitab Atharvaveda, mantram Gāyatrῑ atau Gāyatrῑ mantram adalah Vedamātā, ibu dari semua mantram Veda, yang dapat memberikan perlindungan, keselamatan, kegembiraan dan kebahagiaan.
Penelitian ilmiah di Madras (India) maupun di Amerika menunjukkan bahwa orang yang tekun mengucapkan Gāyatrῑ mantram, butir-butir darah putih dan merahnya semakin segar dan bertambah jumlahnya. Mantram ini dapat digunakan sebagai mantram Japa, yakni diulang-ulangi beberapa kali dengan khusuk untuk permohonan tertentu.

F. Penutup
Demikian antara lain makna doa dan sembahyang yang mesti dilakukan oleh setiap orang dalam mengarungi lautan kehidupan yang maha luas. Dengan berdoa dan sembahyang yang didasari dengan Śraddhā (keimanan) dan Bhakti (ketaqwaan), maka kehidupan ini akan penuh makna. Terpenuhilah segala keinginannya dan terlindungilah apa yang dimikilikinya seperti dinyatakan oleh Śri Kṛṣna dalam Bhagavadgῑtā seperti dikutip pada awal bagian tulisan ini.

Om Santih Santih Santih Om

No comments: