Saturday, February 17, 2018

Meneropong Persembahan Suci Sāttvika-Yajña

Oleh: Darmayasa

Om Swastyastu

aphalākāṅkṣibhir yajño vidhi-dṛṣṭo ya ijyate
yaṣṭavyam eveti manaḥ samādhāya sa sāttvikaḥ
(Bhagavad-gῑtā 17.11)

“Persembahan korban suci yang dilakukan oleh mereka yang sudah tidak menginginkan hasil dari persembahan korban suci yang dilakukan, persembahan korban suci yang dilakukan sesuai dengan aturan kitab suci, yang dilakukan setelah memantapkan dalam hati bahwa persembahan korban suci yang dilakukan adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan, persembahan korban suci seperti itu adalah korban suci dalam sifat kebaikan Sattva-guṇa.”

Bali terkenal sebagai pulau yajña. Mendengar nama Bali, orang luar Bali akan terbayang pada persembahan Banten, Canang, Gebogan, Banten Bebangkit, Pulagembal, Banten Taman Sari dan haturan-haturan yajña lain yang indah menarik. Persembahan-persembahan yajña seperti itu tidak ada duanya di dunia. Hanya ada di Bali. Warisan tradisi agama spiritual yang “the only one in the world” – satu-satunya di dunia. Sangat disayangkan jika ada orang berlebihan mempermasalahkan bebanten haturan indah tersebut. Sesuatu yang sangat indah dan merupakan satu-satunya di dunia, mengapakah kita sebagai umat Hindu Dharma tidak berbangga mempertahankan dan memperindah serta memurnikannya?

Pada umumnya umat belum memberikan pemahanan lebih pada persembahan suci yajña yang dilakukannya. Yajña ada dibedakan dalam tiga jenis, yaitu yajña dalam tingkat Tāmasa-guṇa, yaitu yajña yang dilakukan dalam sifat kegelapan dan kebodohan, Rājasika-guṇa yaitu persembahan suci yajña yang dilakukan dalam sifat kenafsuan, dan Sāttvika-guṇa, yaitu  yajña-yajña yang dilakukan dalam sifat kebaikan, mulia, halus, indah asri penuh bhakti. Yajña yang dilakukan tidak semua sama. Ada pula yajña berbeda dipersembahkan kepada para Dewa-Dewi yang berbeda pula. Yajña dalam tutupan sifat alami Tri-guṇa tersebut dibedakan pula dalam 3 tingkatan, yaitu Kaniṣṭha-yajña (yajña yang terkecil paling sederhana), Madhyama-yajña (yajña menengah) dan Uttama-yajña (yang paling utama). Masing-masing juga dibedakan dalam tiga tingkatan lagi sehingga menjadi Navavidha-yajña atau sembilan jenis persembahan suci yajña. Keberadaan dan "rahasia" akan tiga jenis atau level yajña ini sangat penting diadakan pemahaman oleh umat. Jika tidak, maka umat akan melaksanakan yajña tanpa kendali dan tanpa arah jelas, hanya melihat lalu melakukan tanpa pemahaman yang benar.

Umat Hindu Dharma tidak bisa lepas dari yajña. Menurut Atharva Veda (12.1.1), pelaksanaan persembahan suci yajña juga berperan penting dalam usaha menjaga tegak dan damainya dunia (yajñaḥ pṛthivīṁ dhārayanti). Ida Sang Hyang Parama Kawi menciptakan alam semesta melalui yajña (saha-yajñāḥ prajāḥ sṛṣṭvā). Merupakan kewajiban umat untuk melakukan yajña. Kesadaran akan kewajiban dharma seperti itulah yang menyebabkan adanya tradisi pelaksanaan berbagai yajña setiap hari. Setidaknya umat sangat patuh mempertahankan tradisi pelaksanaan yajña-śeṣa atau masaiban setelah memasak. Selain itu, ada hari-hari tertentu dimana umat Hindu Dharma mempersembahkan yajña yang dilakukan secara khusus.

Secara umum yajña dibedakan dalam Nitya-yajña atau yajña yang dilakukan secara terus-menerus setiap hari, misalnya Yajña-śeṣa, Agnihotra dan lain-lain, selainnya ada Naimitika-yajña yaitu yajña yang dilakukan sewaktu-waktu dalam kurun waktu tertentu, bahkan ada yang dilakukan hanya sekali seumur hidup. Yajña-yajña dalam Naimittika-yajña antara lain Kajeng Kliwon, Purnama (Pūrṇimā), Tilem (Amāvasya), Piodalan-piodalan, Galungan, Otonan, Pawiwahan, Ngaben, dan lain-lain.

Ada pula yajña yang dibedakan dalam Pravṛtti-yajña, yaitu yajña yang dilakukan dalam mengumpulkan kārma (keinginan) demi pencapaian hidup damai sejahtera di dunia dan pencapaian Surga setelah meninggal.

Sedangkan jenis lain dinamakan Nivṛtti-yajña justru meninggalkan kāma (keinginan) untuk pencapaian pembebasan (mokṣa). Jenis dan tingkatan-tingkatan yajña ini sesungguhnya lebih banyak dilihat berdasarkan sarananya, bukan dari kegiatan apalagi hasil yang diperoleh dari pelaksanaannya.

Keutamaan sebuah yajña ditentukan oleh beberapa faktor. Yajña yang dilakukan dengan sarana yang sederhana (kaniṣṭha) bisa jadi nilainya lebih mulia daripada  yajña yang dilakukan dengan sarana yang lebih mewah dan jumlah yang lebih banyak (madhyama atau uttama-yajña). Jika yajña dilakukan dengan baik dan penuh śraddha bhakti maka upacara kaniṣṭhaning kaniṣṭha (paling sederhana dari yang paling kecil sederhana) akan dapat mengalahkan upacara yang paling lengkap dari yang paling lengkap (uttamaning uttama).

Kekuatan śraddha bhakti sangat ampuh, yang mampu mengalahkan persyaratan upacara banten. Akan tetapi, kesiapan pemahaman seperti ini pastilah belum bisa diterima oleh masyarakat atau umat kebanyakan.

Peluang pergeseran pemahaman di masyarakat dapat terjadi yang menganggap keutamaan yajña ditentukan oleh sarana yang lebih banyak dengan biaya yang lebih mahal. Kecendrungan alpa seperti ini dapat terjadi dengan mudah pada siapa saja khususnya para Sarathi banten (tukang Banten) dan yang lainnya. Niat baik memperindah yajña di sana-sini belum tentu diperlukan dan/atau bisa terjadi penempatan yang tidak tepat. Hal tersebut bisa terjadi terutama pada Sarathi Banten yang alpa “nglinggihang” (memuja) Penguasa Banten, yaitu Sang Hyang Tāpinῑ serta para Ancangan pengiringnya (makadewaning tukang banten, Ida Hyang Bethari Umā, meraga Sang Hyang Tāpinῑ).
Salah satu faktor yang mempengaruhi keutamaan sebuah yajña untuk dapat ditingkatkan pada level Sātvika-yajña adalah keyakinan yang mantap (śraddhā), bahwa yajña harus dilakukan dengan penuh keyakinan (lascarya), artinya yajña harus dilakukan dengan tulus dan ikhlas, tanpa ada rasa terpaksa atau dipaksa oleh siapa pun, terlebih jika yajña dilakukan demi harga diri, prestige atau status di masyarakat, maka tanpa disadari orang sudah menurunkan nilai yajña karena yajña tidak sekadar membuat banten sampai pelaksanaan upacara selesai.

Pemahaman arti dan makna yajña di dalam masyarakat perlu diperluas antara lain yajña juga merupakan sebuah usaha untuk mencapai masyarakat yang damai dan sejahtera lahir-batin. Untuk mencapai tujuan ini maka pemahaman yajña diarahkan juga dalam bentuk dṛvya yajña atau yajña harta benda.
Persyaratan lain dari Sāttvika-yajña yang patut dipenuhi juga adalah śāstra-pramāṇa, bahwa pelaksanaan yajña harus sesuai dengan petunjuk yang tercantum dalam Veda, Dharmaśāstra atau lontar-lontar bonafid yang dapat dipercaya. Yajña yang dilakukan berdasarkan “terka-terkaan”, sesuai dengan keinginan pribadi atau persetujuan beberapa orang, atau yang bertentangan dengan Śāstra-pramāṇa tidak dapat dikelompokkan ke dalam Sāttvika-yajña. Selanjutnya Sang Yajamāna (yang menyelenggarakan yajña) juga harus menghaturkan dakṣiṇā, wajib memberikan sesuatu yang layak kepada pemimpin upacara sebagai bentuk keseimbangan antara menerima dan memberi.

Selesai pelaksanaan upacara yajña Anna-dāna atau Anna-sevā harus dilakukan. Pada upacara yajña yang melibatkan orang lain sebagai pemimpin upacara atau mānuṣa-sākṣῑ maka sang Yajamāna wajib memberikan makanan dan minuman kepada mereka sebagai bentuk pelayanan dan penghormatan. Pemberian makanan merupakan bagian yang sangat penting dalam praktik-praktik upacara yajña yang dilakukan baik di Bali, India atau pun di tempat-tempat lain di dunia. Untuk Sāttvika-yajña Anna-dāna juga diusahakan yang Sāttvika-bhojanam, yaitu makanan dan minuman dalam sifat kebaikan (Sattva-guṇa).
Yajña hendaknya tidak dilakukan untuk tujuan pamer (nasmita). Sāttvika-yajña tentu harus dijauhkan dari tujuan pamer dan kebanggaan atau smita. Sattvika-yajña harus bersifat nasmita, bebas dari tujuan kebanggaan. Mereka yang hendak melaksanakan yajña diwajibkan menghitung kemampuan dirinya dan kemudian menentukan jenis, tingkat, atau besar-kecilnya yajña yang harus dilakukan. Umat yang baik akan menghindari pelaksanaan yajña yang “ditumpangi oleh rasa kebanggaan dan pamer, apalagi berakhir pada rasa tidak nyaman akibat utang-piutang dan kehabisan harta benda.

Persyaratan terpenting untuk sebuah Sāttvika-yajña adalah:
(1) yajña hendaknya dilakukan dengan ketulusan dan kesungguhan hati sebagai sebuah kewajiban suci (yaṣṭavyam eva iti manaḥ samādhāya),
(2) yajña harus terbebaskan dari keinginan untuk mendapatkan hasil atau pahala (aphalākāṅkṣibhiḥ yajñaḥ), dan
(3) yajña harus mengacu dan/atau dilakukan berdasarkan pada vidhi-śāstra, kitab-kitab suci yang memang memberikan tuntunan serta aturan peraturan yang otentik untuk pelaksanaan Sāttvika-yajña. Manggalamastu.

Om Santih Santih Santih Om