Wednesday, December 19, 2012

Pertimbangan

Salam Kasih
"Wignyeng paramarta duduga lawan prayoga"

Demikian langit bersabda....mengingatkanku, agar aku bisa menjadi pribadi yang dapat mengira-ngira dan mempertimbangkan dengan baik semua hal. Ini semata-mata agar aku bisa dan dapat menimbang baik-buruk apapun sebelum aku berbuat sesuatu melalui riak pikiranku, melalui lirik ucapanku, dan melalui gerak lakuku.....dengan harapan agar aku tidak menyesal di kemudian hari.

Matur Suksma Duh Hyang Maha Agung....atas semua anugerahMu sampai saat ini

Salam sungkem dan rahayuku untukMu


I W. Sudarma, 19/12/2012

Keserakahan Adalah Benih Kesedihan

Oleh: I Wayan Sudarma

Salam Kasih
Pada suatu ketika saat saya bercengkrama dengan Ki Nanang Nunung di Argo Dalem-Lawu dan menanyakan tentang sebab dan musabab tejadinya berbagai kesedihan yang mendera anak-anak Nusantara. Padalah tanahnya sedemikian subur, dan kekayaan alamnya berlimpah ruah.
Ki..."mohon dapat dijelaskan, apa yang menjadi sumber utama kesedihan dan kekacauan belakangan ini, yang telah menggerus nilai-nilai kemanusiaannya manusia?"

Kemudian Aki menjawab dengan ilustrasi berikut ini....
"Ngger....semoga dengan kisah sederhana berikut ini, dirimu mengetahui, dan memahami dan untuk selanjutnya untuk tidak mencontohnya....ya..!"

Di sebuah desa hiduplah dua orang teman. Pada suatu hari mereka berdua pergi bersama-sama untuk suatu pekerjaan yang harus dilakukan di desa tetangga. Dalam perjalanan itu mereka harus melewati hutan. Mereka melihat seseorang menunggang kuda di depan mereka menuju ke arah desa. Sebuah bungkusan kecil terjatuh ke tanah dari sebuah kantung di punggung kuda. Penunggang kuda itu berjalan terus, tidak menyadari bahwa barangnya ada yang hilang. Kedua teman itu berlari dan memungut bungkusan kecil tersebut. Mereka membukanya dan keheranan melihat sebutir permata langka yang berkilau-kilauan.

Mereka senang sekali dengan peristiwa kebetulan ini. Salah seorang dari mereka berkata, “Kawan, simpanlah permata itu. Saya akan pergi ke desa untuk mencari makanan bagi kita berdua, kemudian kita akan membicarakan permata tersebut.” Pikiran kedua anak muda itu menjadi jahat ketika melihat permata tersebut. Keduanya ingin memiliki permata itu bagi dirinya sendiri.

Pemuda yang pergi mencari makanan cepat-cepat menyelesaikan makannya lalu membeli sebungkus makanan yang dikemas dengan rapi. Setelah itu ia pergi ke toko dan membeli sebungkus kecil racun. Dalam perjalanan kembali ke tempat ia harus menemui temannya, dicampurkannya racun itu ke dalam makanan dan dibungkusnya lagi dengan rapi, kemudian ia bergegas pergi ke tempat itu. Segera setelah menerima bungkusan makanan dari temannya, pemuda yang satu lagi berkata, “Lebih baik bawalah permatanya, aku akan pergi mencuci tangan di kolam di dekat sini.” Pemuda (yang membawakan makanan tadi) dengan semangat mengambil bungkusan tersebut dan membukanya. Ia menundukkan kepalanya memandangi permata itu dengan serakah dan gembira. Tiba-tiba sebatang tongkat yang berat dan keras jatuh dan menimpa kepalanya dengan kekuatan demikian rupa sehingga ia menemui ajalnya seketika itu juga. Tentu temannyalah yang memukul kepalanya. Temannya mengambil permata tersebut, menyimpannya di saku, membuka bungkusan makanan, dan menyantap makanan itu dengan sangat berselera. Tidak lama setelah menelan dua-tiga suap, iapun jatuh mati dengan tangannya di dalam saku.

"Nah....Ngger....dari cerita itu, Angger past tahu apa yang menyebabkan kedua pemuda ini menemui ajalnya secara menyedihkan? Nafsu memiliki kekayaan itu. Itu adalah keserakahan. Ingatlah, serakah adalah benih kesedihan.”

Saudara/i ku terkasih....bisa jadi kita tanpa sadar kita pernah bersikap seperti itu, menginginkan apa- apa yang bukan hak kita. Bahkan belakangan ini banyak orang tidak malu lagi melakukan kejahatan demi kepentingan ego pribadinya, dan kemudian mengorbankan hak-hak orang lain....namun demikian.....Bagaimanapun juga keserakahan tidak akan pernah mendatangkan kerahyuan. Kita tak pantas untuk memiliki apalagi memeluknya dengan erat sifat dan sikap serakah seperti itu.

Rahayu
Pepeling Leluhur, Bali-27072009
 

1 SURO SAATNYA MELIHAT KEDALAM

Salam Kasih
TANGGAL 1 Suro adalah permulaan tahun baru Jawa. 1 Suro bersamaan dengan 1 Muharam dalam kalender Hijriah tahun Islam. Dulu, di beberapa kota di Jawa bahkan tahun barunya, ya, 1 Suro, bukan tahun baru Masehi.

... Sebagai pergantian tahun, 1 Suro tidak disambut dengan perayaan seperti halnya pergantian tahun masehi, tetapi dalam paham budaya Jawa, kesempatan ini adalah dimulainya kehidupan baru. Maka, harus disambut dengan penuh perenungan, instropeksi, atau melihat ke dalam apa yang sudah dilakukan selama setahun silam.

Intinya adalah mendekatkan diri, eling (ingat) kepada Tuhan yang telah memberi kesempatan kepada kita semua untuk lahir, hidup dan berkiprah didunia ini. Oleh karena itu, penyambutan 1 Suro suasananya khusuk khusuk.

Untuk itu, ekspresinya bisa dilakukan dengan berbagai cara, dengan maksud utama adalah untuk tirakat. Di berbagai tempat dilakukan dengan cara berbeda-beda. Itu tergantung dari kemantapan batin yang menjalani dan bisa juga sesuai dengan tradisi masyarakat setempat. Misalnya dengan cara lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk) di malam 1 Suro untuk perenungan.

Ada pula yang menuju tempat-tempat sakral untuk merenung, semedi, dan laku spiritual lainnya untuk membersihkan diri, dengan harapan mendapat kecerahan hidup. Di sini, 1 Suro berarti peralihan waktu atau tahun, di tahun baru masyarakat Jawa berdoa untuk harapan-harapan hidup lebih baik.
Oleh karena itulah, 1 Suro dianggap sebagai waktu yang tepat untuk membersihkan diri, dan membersihkan berbagai hal yang dianggap memiliki kekuatan, misalnya seperti pusaka-pusaka.

Tak heran pada 1 Suro, banyak pemilik pusaka anjamasi (memandikan) kerisnya, atau pusaka-pusaka lainnya. Kraton Solo pun mengadakan upacara dan kirab pusaka, yang sangat terkenal dengan kirab yang disertai dengan Kyai Slamet (kebo bule) yang dianggap sebagai bagian dari pusaka kraton.
Tempat-tempat yang biasanya menjadi tujuan untuk menyepi dalam rangka tirakat, antara lain pantai selatan Jawa, seperti di sekitar kraton Solo dan Yogya, Pantai Parangkusumo, Yogyakarta; Dlepih di kawasan Wonogiri yang dipercaya sebagai tempat semedinya Raja Sultan Agung, Puncak Gunung Lawu, lereng gunung Merapi dan Merbabu.

Selain itu masyarakat Jawa ada juga yang mendatangi beberapa mata air, sendang (tasik) dan tempuran sungai (pertemuan dua sungai) dipadati pengunjung untuk mandi sesuci di tengah malam. Tempuran sungai dipercaya mempunyai daya gaib/energi yang lebih kuat. Selain mandi, banyak yang berendam berlama-lama di sungai, mengadakan tirakatan dipinggiran sungai sampai pagi hari.
Makam-makam dan petilasan orang-orang tua bijak, raja, pertapa yang terkenal, banyak didatangi peziarah untuk melakukan doa kepada Tuhan dan selanjutnya melakukan meditasi, dan berjapa.

Selain untuk mendekatkan diri, masyarakat Jawa juga mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberi rejeki dan semua nikmat. Rasa syukur itu di berbagai daerah diekspresikan dengan berbagai cara, seperti sedekahan di tempat-tempat tertentu, larungan atau labuhan di pantai, danau, atau puncak gunung.

Ada juga yang melakukan kegiatan sebagai rasa syukur atas keberhasilan di masa lalu dengan cara pentas wayang kulit, ketoprak, dan kesenian tradisional lainnya. Semua itu intinya adalah perenungan diri sendiri (introspeksi) sebagai hamba Tuhan.
Di sisi lain, karena Suro sebagai saat-saat untuk tirakat, maka masyarakat menghindari bulan ini untuk mengadakan perayaan, seperti pernikahan atau perayaan lain.

Penyambutan 1 Suro bagi masyarakat Jawa sudah berlangsung sejak jaman kuno. Yang menarik, perayaan ini bertepatan dengan 1 Muharam dalam kalender Hijriah bagi umat Islam. Adanya persamaan ini memang ada tonggak sejarahnya, yakni berkat kecerdasan penguasa kerajaan Mataram Islam, yakni Sultan Agung (1613-1645 Masehi).

Sebelumnya orang Jawa terbiasa dengan kalender Saka yang didasarkan pada peredaran matahari. Namun, ketika Islam masuk dan menjadi agama di Mataram, dengan tetap menggunakan kalender Hijriah yang didasarkan pada peredaran bulan, ini menimbulkan kegelisahan, bahkan ketakutan rakyat karena adanya perbedaan dua kalender.

Melihat kondisi ini, maka Sultan Agung membuat kebijakan mengubah tahun Saka menjadi Tahun Jawa. Maka ketika tahun 1555 Saka, oleh Sultan Agung diganti menjadi tahun 1555 Jawa dan berlaku untuk masyarakat pengikutnya.

Penetapan tanggal dan bulannya disamakan dengan tanggal dan bulan Tahun Hijriyah. Berarti tanggal 1 Suro 1555 Tahun Jawa sama dengan tanggal 1 Muharram 1043 Hijriyah dan bertepatan pula dengan tanggal 8 Juli 1633 Masehi. Perubahan ini dengan serta merta menjadi perayaan gabungan dua penganut yang tetap saling menghargai.

Masyarakat Jawa hingga kini terus merayakan pergantian itu. Namun, akibat perkembangan zaman, dan juga dampak dari berbagai kepentingan yang sangat kompleks, lambat laun, banyak masyarakat tidak lagi mengetahui dengan jelas di balik makna asal tradisi budaya bulan Suro.

Mereka umumnya hanya ikut-ikutan, seperti beramai-ramai menuju pantai, mendaki gunung, bercanda ria sambil mengelilingi beteng, berbuat kurang sopan di tempat-tempat keramat dan sebagainya. Maka tidak heran jika mereka menganggap bahwa bulan Suro tidak ada bedanya dengan bulan-bulan lainnya. Di beberapa tempat, malah digelar hiburan dangdut dengan goyangan hot para penyanyinya. Mereka tidak paham 1 Suro yang seharusnya untuk menelisik diri (mulat sarira).

Rahayu _/|\_ I W. Sudarma
* Disunting dari berbagai sumber

TANAH SUCI

Salam Kasih
Ketika engkau merasa damai dan bebas dari berbagai kecemasan.....bumi yang engkau pijak itu sendiri menjadi sebuah tanah suci dan dirimu tidak perlu pergi ke tempat lainnya.

... Dan semua itu bersumber dari Energi kasih sayang. Energi inilah yang dapat membantu dirimu dari situasi yang tersulit sekalipun....milikilah hal ini maka setiap tanah yang engkau pijak akan menghadirkan kesucian dan kedamaian bagimu. (sumber: Salah Satu Wangsit Prabhu Siliwangi kepada Ningrat Surya Kancana)

Salam Rahayu _/I\_ I Wayan Sudarma
Papeling Leluhur, Gunung Putri, 17/10/2012

Ngertakeun Bumi Lamba

Oleh: I W. Sudarma

Salam Kasih

Harmoni Bumi melalui Sedekah Bumi 
Om Hyang Tiga Parama Wisesa
Masyarakat Sunda dari sejumlah wilayah berkumpul di Tangkuban Perahu. Mereka bersama mengharapkan Yang Kuasa menurunkan lagi kebaikan yang pernah diberikan kepada para leluhur.


Sangkuriang, ketika kecil diusir oleh ibunya, Nyi Dayang Sumbi, gara-gara menyembelih anjing kesayangan mereka yang sebenarnya adalah ayah Sangkuriang. Ketika dewasa, Sangkuriang berjumpa dengan Dayang Sumbi kembali dan saling jatuh cinta, tetapi belakangan Dayang Sumbi menyadari bahwa Sangkuriang adalah anaknya.

Cara menolaknya, ia meminta Sangkuriang membuat perahu dan membendung Sungai Citarum dalam semalam, tetapi dengan bantuan dewa, belum lagi perahu selesai sudah terdengar ayam berkokok. Sangkuriang marah dan menendang perahunya jauhjauh yang jatuh menangkup di bumi. Itulah yang menjadi Tangkuban Perahu.


Bukan itu saja yang menyebabkan gunung yang terletak di utara Bandung, Jawa Barat, itu dianggap sakral. Penyebab lain, konon Nyi Roro Kidul juga pernah berguru di gunung tersebut. Itu sebabnya masyarakat Sunda sampai sekarang terbiasa mengadakan ritual di kawasan yang sangat indah itu.


Di antaranya, upacara adat “Ngertakeun Bumi Lamba” yang dihelat pada akhir Juni 2011 dan akan dilaksanakan juga mulai hari Kamis Pon hingga Sabtu Kliwon (Tumpekan), Juni tahun 2012 ini. Ngertakeun (dari kata dasar kerta berarti ‘menyejahterakan’); bumi lamba (alam jagat atau dunia sebagai alam kosmos). Ini untuk keempat kalinya secara berturut-turut, sejak 2009, diadakan di Gunung Tangkuban Perahu. Sebelumnya, pernah dilakukan, antara lain, di Gunung Pangrango (Cianjur) dan Gunung Wayang (Bandung).


Upacara adat tahunan ini, menurut Ketua Panitia Wawan Akil, sebetulnya sudah dikenal sejak Prabu Siliwangi memerintah di Kerajaan Padjadjaran, abad ke-14 hingga ke-15. Kalau sekarang dilaksanakan kembali, tujuannya untuk merevitalisasi peradaban yang telah ditinggalkan banyak orang.


Rahayu Tatar Tanah Nusantara
 

Gampang Nambuh

Salam Kasih
Pepeling yang populer di daerah Pegunungan Tengger ini salah satunya adalah "Gampang Nambuh", yang dapat diartikan demikian: "sikap angkuh serta acuh tak acuh, seolah sudah menjadi orang yang teguh, ampuh dan keluarganya tak akan runtuh".

Belum pandai sudah berlagak pintar. Padahal otaknya buyar matanya nanar merasa cita-citanya sudah bersinar. Menjadikannya tak pandai melihat mana yang salah dan benar. Di mana-mana ingin diakui bak pejuang, walau hatinya tak lapang.

Sahabat....Pahlawan bukanlah orang yang berani mati, sebaliknya berani hidup menjadi manusia sejati. Sulitnya mencari jati diri kemana-mana terus berlari tanpa henti. Memperoleh sedikit sudah dirasakan banyak, membuat sikapnya mentang-mentang bagaikan sang pemenang.

Orang yang Gampang Nambuh adalah orang yang sulit mawas diri, mengukur diri terlalu tinggi. Ilmu yang didapatkannya seolah menjadi senjata ampuh tiada tertandingi lagi. Padahal pemahamannya sebatas kata orang. Alias belum bisa menjalani dan menghayati. Bila merasa ada yang kurang, menjadikannya sakit hati dan rendah diri. Jika tak tahan ia akan berlari menjauh mengasingkan diri. Menjadi pemuda pemudi yang jauh dari anugerah Illahi.

Simpulan pepeling ini adalah: kita mesti selalu belajar dengan teliti dan hati-hati. Jangan menjadi orang yang mudah gumunan dan kagetan. Bila sudah paham hayatilah dalam setiap perbuatan. Agar ditemukan diri kita yang sejati sebelum raga yang dibangga-banggakan itu menjadi mati.

Rahayu _/I\_ I Wayan Sudarma
Pepeling Leluhur-14092012

Mangasah Mangising Budhi

Salam Kasih

Salah satu Piwulang yang sangat terkenal dari Sabdo Palon Naya Genggong, tentang ajaran Welas Asih adalah "Mangasah Mangising Budhi", yang berarti: "Mengasah Kepekaan Hati". Pepeling ini juga bermakna Kepedulian terhadap sesama mahluk hidup.

Sekiranya pepeling ini menjadi sangat bermakna, di tengah-tengah maraknya konflik horizontal di antara kita. Dan menjadi sangat istimewa pula ketika umat Muslim merayakan Idul Fitri 1433 H, dan sebentar lagi umat Hindu akan merayakan hari Kemenangan: Galungan dan Kuningan. Dengan sebuah harapan semoga pepeling ini menjadi bahan renungan untuk kembali mereview, merefresh dan menata hati kita agar lebih aware dan care di antara penghuni semesta ini.

Kita semua tahu dan menyadari bahwa manusia diciptakan sebagai mahluk yang tidak bisa berdiri sendiri, daripadanya kita memiliki tugas dan kewajiban untuk saling tolong menolong. Kepekaan rasa terhadap penderitaan sesama perlu selalu diasah agar hati tidak buta. Karena kebutaan hati akan menumbuhkan sikap acuh tak acuh terhadap penderitaan orang lain dan juga mahluk lainnya.

Sekiranya inilah pesan lain dari makna hari Kemenangan yang bisa kita implementasikan ke dalam tindakan nyata: "Kepekaan Hati".

Rahayu _/I\_ I Wayan Sudarma
Pepeling Leluhur, Denpasar-19082012

Merebut Balung Tanpa Isi

Om Swastyastu

Bagi masyarakat Bali, kerukunan adalah bagian terpenting dari kehidupan. Begitu pentingnya kerukunan sehingga banyak piteket-piteket (bahasa Jawa: piwulang-piwulang) yang mengajarkan hal tersebut. Salah satunya adalah ungkapan "Merebut Balung Tanpa Isi". Secara harfiah ungkapan ini dapat diartikan; berebut tulang yang tiada isi.

Dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat seringkali kerukunan antar warga atau antar anggota keluarga terganggu karena adanya perselisihan-perselisihan yang kadangkala hanya dipicu oleh hal-hal sepele. Ungkapan "Merebut Balung Tanpa Isi", sangat tepat untuk menggambarkan hal tersebut. Orang yang berselisih karena hal sepele bagaikan orang yang berebut tulang-belulang yang sudah tidak ada dagingnya atau sumsumnya lagi.

Melalui sindirian ini diharapkan semua orang menghindari pertengkaran-perselisihan apalagi karena hal-hal yang sepele. Pertengkaran seperti itu tidak ada gunanya dan kalau keduanya tidak bisa menahan diri bisa menjadi masalah besar. Hal senada juga dapat kita temui pada kata pepeling Jawa "Kriwikan Dadi Grojogan" (gemericik air menjadi aliran air bah)


Ungkapan ini juga bisa menjadi pengingat bagi kita yang sedang berselisih, bertengkar agar segera rukun, guyub kembali. Ketika kita yang bertengkar disindir dengan ungkapan ini oleh orang lain, tujuannya agar kita sadar akan perbuatan kita bahwa hal itu adalah perbuatan sia-sia, sehingga kemudian tumbuh niat untuk saling meminta maaf dan memaafkan.

Om Santih Santih Santih Om

Oleh : I Wayan Sudarma
* Pepeling Leluhur-Denpasar, 18/08/2012
 

MAJU TATU MUNDUR AJUR

Salam Kasih
"Maju terluka-mundur hancur" demikian Pepeling itu secara harfiah dapat diartikan. Adalah merupakan gambaran ketika kita berada pada posisi terlanjur berada di tengah-tengah suatu urusan/persoalan. Berhenti ataupun terus tetap Akan membawa resiko masing-masing.

... Jika kita berada pada situasi seperti itu, biasanya maka pepeling ini bisa dijadikan motivasi diri sehingga berani menempuh resiko melanjutkan rencana yang telah dijalankan. Untuk apa Berhenti atau mundur ke belakang Jika akhirnya juga hancur. Lebih Baik terus Maju dengan harapan Akan Ada keberuntungan walau sekecil apapun.

Itulah betapa pentingnya segala pertimbangan sebelum kita hendak berbuat sesuatu, perlu menggunakan Teori SWOT Dalam Hal ini; mempertimbangkan semua kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan tantangan yang kita miliki. Tujuannya agar tidak Maju Tatu Mundur Ajur, atau meminjam istilah group Komedi Warkop; agar kita tidak "Maju Kena Mundur Kena"

Rahayu _/|\_ I Wayan Sudarma
Pepeling Leluhur, Denpasar-16082012

LEGA SELUK

Salam Kasih

"berbuatlah dengan tulus ikhlas tanpa pernah mengharapkan hasilnya", petuah itu seringkali mampir Dalam kehidupan kita. Dalam setiap tindakan kita diisyaratkan untuk melakukannya dengan rasa tulus ikhlas.

Tapi pepeling ini, justru menggambarkan sesuatu yang berbeda karena sering Kali kita Saat telah berbuat suatu kebaikan, kelihatannya saja ikhlas-tulus, tapi sering pula kita bergunjing dibelakangnya. Dengan berkata: "coba kalau bukan karena aku yang membantu, Sekarang ia pasti telah sekarat, bangkrut, mati, dan lain sebagainya". Inilah yang dinamakan "LEGA SELUK". Yang pada awalnya dipakai untuk menggambarkan orang yang bisa memberi makan-lalu memintanya kembali. Sikap Lega Seluk ini adalah gambaran bagi orang yang ingin menempatkan dirinya sok sebagai "hero-pahlawan". Padahal semua tindakannya bermuatan pamrih.

Setelah membaca pepeling ini, jujur.....Ternyata saya dan atau bahkan mungkin sahabat yang lainnya masih sering/kadangkala dihinggapi Oleh Si Lega Seluk.

Haparan kita adalah semoga kita menjadi pribadi yang "Lega Legawa"

Rahayu _/|\_ I Wayan Sudarma
Bali, 15/08/2012
 

NYICING SINGAL

Salam Kasih
Seperti menggendong seekor anjing-demikian diibaratkan oleh tetua kita tentang keadaan orang yang tidak puas, tidak bisa bersyukur, dan selalu ingin dan ingin lebih. Sikap dan sifat "Nyicing singal" juga digunakan untuk menggambarkan karakter orang yang senantiasa memanfaatkan kebaikan orang lain demi kepentingan pribadinya, dan setelah keinginannya tercapai kemudian IA justru m...encederai, melukai, Bahkan memfitnah orang yang telah menolongnya dengan ikhlas----terlaluu....!!!

Sifat Nyicing Singal ini semogalah tidak menular kepada kita semua.

Rahayu _/|\_ I Wayan Sudarma

Bali, 14/08/2012
* dipostkan juga di: http://dharmavada.wordpress.com

ANGGERET PERING SAKA PUCUK

Salam Kasih
"Anggeret Pering Saka Pucuk - Menarik Bambu Dari Pucuknya", tentu sangat sulit dan rumit. Orang yang menebang pohon bambu biasanya menarik keluar dari rumpunnya dengan menarik pangkalnya sehingga mudah dikeluarkan. Ungkapan "Anggeret Pering Saka Pucuk", merupakan kiasan orang yang menyelesaikan masalah tanpa mencari dulu akar permasalahannya. Tentu saja mas...alah tidak akan mudah terselesaikan, bahkan bisa menjadi semakin rumit.

Jadi, ungkapan ini menyiratkan nasihat agar dalam menyelesaikan suatu masalah jangan serampangan seperti orang menarik bambu dari rumpunnya dengan menarik pucuk/ujungnya. Sebaiknya masalah diselesaikan dengan mencari akar permasalahannya lebih dahulu, sehingga bisa semua terurai dengan jelas dan bisa dicarikan solusinya.

Rahayu _/|\_ I W. Sudarma
Pepeling Leluhur-Bali, 31072012 (Diinspirasi Oleh: Kitab Niti Sruti)

GEDE GELAR GEDE GELUR

Salam Kasih
Menemani perjalanan Jro Mangku Gde Wangi menuju Luhur Lempuhyang menjadi sangat menyenangkan karena diisi Dengan Percakapan ringan penuh makna. Saat melewati Pura Telaga Mas, dan memandang Ke samping kanan bukit sesekali Saya memanggil semeton yang Ada di Gamongan. Lalu Tiba-Tiba Jro Mangku Gde Wangi nyeletuk: "lamun Gede Gelare biasane Gede Gelurne Jro....(Bahasa indonesia: Kalau modalnya Gede biasanya bicaranya juga lantang).

Tanpa Saya sela, Beliau lantas melanjutkan pembabarannya; " Dalam banyak aspek, Jika orang sudah memiliki kemampuan, baik di bidang jnana, apalagi harta benda-biasanya suaranya lebih lantang dan lebih dipercaya."

Sekarang justru yang diagungkan adalah yang punya harta berlimpah-Walau bisa jadi bukan Dari hasil yang Benar. Dibandingkan Dengan kesucian diri-Walau sampai kadang sampai berbusa nuturang kadharman-pasti lebih sedikit yang percaya. Sekarang orang lebih kepada sikap pragmatis-instan. Makanya kalau geluran kita mau didengar mesti punya gelar yang besar.....

Jro Mangku Gde Wangi menegaskan: "Mangkin apin gelar-gelur yan gelare tuara ada- jeg...bedik anake ngugu" Namun demikian, kita tidak boleh larut dalam pemahaman seperti itu-kita tetap harus teguh dalam swadharma. Walau sedikit bicara tapi tetap harus ngayah dan bekerja sebaik-baiknya...!!

Tanpa tearasa pagi ini Saya sudah napak di Luhur Lempuyang.

Suksma Jro Mangku antuk pengeling-elingnya.

"Gede Gelar Gede Gelur
Gede Gelur Gede Galir
Gede Galir Gede Galur
Yen sampun Galur Galir-Galare maGelar.

Rahayu _/|\_ Jro Mangku Danu (I Wayan Sudarma)
Pepeling Leluhur, Bali-30072012 (Disarikan dare Percakapan Dengan Jro Mangku Gde Wangi-Pemangku Pura Lempuhyang-Karangasem)

Nangkane Edotang-Getahne Kelidin

Salam Kasih
Buah nangka merupakan buah yang bergetah sehingga jika hendak mengambil isinya orang harus terkena getahnya. Pepeling masyarakat Bali Utara ini sekiranya tidak berlebihan untuk menggambarkan sikap dan atau karakter orang suka mencari keuntungan sendiri di atas penderitaan orang lain. "Nangkane Edotang (Mau Nangkanya) ~ Getahne Kelidin (Tapi tidak mau... terkena Getahnya)" demikian secara harfiah pepeling ini bisa diartikan.

Hal ini merupakan "sesimbing/sindiran" bagi oprang-orang yang mau menerima hasil tapi tidak mau ikut bekerja keras. Dalam masyarakat hal ini sering terjadi. Ada orang yang saat ada banyak pekerjaan ia menghilang dan pura-pura sibuk dengan pekerjaann lai, tetapi ketika saatnya memanen hasil, orang tersebut menjadi yang nomor satu untuk mengambil hasil. Orang seperti itu tentu tidak menyenangkan hati dan akhirnya dijauhi oleh orang lain.

Adanya orang yang bersikap sepeti ini, akan membawa korban yang dikatakan dengan ungkapan: "Polih Getah Nora Mangan Nangkane" (terkena getahnya tapi tidak makan nangkanya). Ungkapan ini kiasan dari orang yang telah bekerja keras, tetapi ketika usaha kerasnya membuahkan hasil, justru tidak menikmati karena direbut oleh orang lain.

Dan kenyaataan membuktikan, masih banyak di antara kita yang hidup seperti ini; memanfaatkan kelemahan orang lain demi kepentingan diri sendiri, dan dimanfaatkan orang lain karena berbagai kelemahan dan kelengahan diri sendiri.

Rahayu _/I\_ I W Sudarma
Pepeling Leluhur, Bali-29072012 (Disarikan dari percakapan dengan Penyarikan Desa Bayung Gde)

SALULUNG SABAHAYANTAKA

Oleh: I Wayan Sudarma

Salam Kasih
Dalam berbagai event, simakrama, yang membicarakan tentang humanisme, sosial, keagamaan, pepeling ini acapkali dengan fasih disampaikan. "Salulung Sabhayantaka" (Satu dikala Suka-Satu dikala ada bahaya/duka), adalah petuah bagaimana agar masyarakat Bali khususnya dan kita pada umumnya dapat senantiasa menjaga kekompakan, persatuan dalam membangun tatanan hidup ya...ng harmonis dalam bingkai Tri Hita Karana, baik kepada Tuhan, Manusia lainnya, dan juga kepada alam termasuk mahluk lainnya.

Salulung Sabhayantaka; adalah petunjuk bagaimana sekat-sekat wangsa, soroh, pangkat, kedudukan, kaya-miskin, dan sebagainya luluh menjadi 'pasemetonan/nyama braya/persaudaraan', dengan berpijak pada prinsip "paras-paros" (saling menghargai, saling mendukung, saling. Mengayomi) sehingga tercapai tatanan hidup yang "Sarpanaya" (beradab, dan berkeadilan).

Sebuah pepeling yang sedemikian 'Linuwih' yang barangkali sudah kita abaikan. Untuk itu melalui kesempatan ini, ijinkan saya kembali mereview, agar kita tidak terjebak pada kotak-kotak kecil bernama 'fanatisme'. Bahwa keadaban kita akan tetap eksis manakala prinsip "Salulung Sabhayantaka" ini kembali hidup dan tumbuh dalam tata laku hidup kita, baik sebagai individu yang merdeka, pun sebagai bagian integral dari komunitas semesta ini.

Salam Rahayu Saudaraku semuanya
Pepeling Leluhur, Bali- 27/07/2012
Sent from my IPhone

PAMERIH NGAWE ENGSAP

Salam Kasih
Ungkapan 'Pamerih Ngawe Engsap' terdiri dari tiga kata, yakni 'Pamerih' (Pamrih), 'Ngawe' (Menyebabkan, membawa), 'Engsap' (Lupa, tidak ingat). Secara semantik dimaksudkan untuk menggambarkan orang yang menyimpan pamrih atau ambisi besar sangat dekat dengan tindakan lupa pada aturan dan rambu-rambu yang baik.

... Memang setiap kegiatan pastilah memiliki tujuan, tapi mesti kita bedakan antara tujuan dengan yang dinamakan pamerih; yang lebih kepada ada niat tersembunyi, terselubung di dalam tindakannya.

Ungkapan ini menjadi peringatan bagi orang-orang yang punya ambisi besar agar berhati-hati, waspada, dan selalu sadar-ingat (eling). Jangan sampai hanya mengejar ambisinya lalu mencari jalan pintas dan menghalalkan segala cara. Tindakan mencari jalan pintas dan menghalalkan segala cara inilah yang disebut dengan 'Lupa'.

Rahayu _/I\_ Jro Mangku Danu (IWS)
Pepeling Leluhur, 26072012 (Sesonggan Bali)

Sampunang Nganggoang Kite

Oleh: I Wayan Sudarma

Salam Kasih
Piteket (Pepeling) masyarakat Bali ini secara etimologi berarti "Janganlah Mengikuti Kehendak Diri", dan secara sosiologis dapat kita maknai sebagai "anjuran" agar kita tidak berbuat sekehendak sendiri. Dalam masyarakat Jawa sering diistilahkan dengan: "Aja Nggugu Karepe Dhewe".

Sebagai mahluk sosial kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang dan mahluk lainnya. Terlebih dalam kehidupan bermasyarakat/bernegara kita terikat pada peraturan-peraturan, norma-norma, serta etika. Dan sebagai anggota masyarakat yang baik sudah seharusnya mentaati dan mematuhi aturan yang ada, Sampunan Nganggoang Kite (Janganlah Mengikuti Kehendak Diri).

Sebagai Individu memang setiap orang memiliki hak untuk merdeka, untuk bebas berbuat. Tapi jangan sampai kebebasan kita melanggar hak damai, hak hidup tentram, hak dihargai, dan lain sebagainya yang dimiliki orang lain. Bebas boleh, tetapi bebas yang bertanggung jawab, baik kepada manusia, alam, maupun kepada Tuhan.

Makanya...Mari "Sampunan Nganggoang Kite", jika kita mau rukun, guyub, damai, dan bahagia.

Rahayu
Pepeling Leluhur, 25/07/2012 (Sesonggan Bali)

KAYA

Oleh: Jro Mangku Danu ( IWS )

Salam Kasih
Begitu membuka lembaran diskusi dengan pengelingsir sekaligus pujangga dari desa Pinggan-Kintamani, terhidangkan sebuah nasihat yang sedemikian dalam "SUGIH TANPA BANDHA", yang olehnya diartikan demikian: Kaya Tanpa Harta.

... Hmmm....sejenak saya berpikir..apa ya, ada orang kaya tanpa harta-pikiran saya langsung berasumsi "kekayaan material belaka".

Namun setelah dicerna dan direnungkan seksama, saya menemukan penjelasan yang justru lebih luas, luwes, dan menyentuh kalbu.

Sahabat...secara kasat mata tidak mungkin ada orang kaya, tatpi tidak berharta. Tapi, dalam pandangan orang Bali Mula untuk disebut kaya tidak harus berharta melimpah. Orang yang memiliki banyak sahabat, ilmu yang luas, keterampilan, dan sebagainya dapat juga dikatakan sebagai orang kaya. "KAYA" dalam pandangan Bali Mula tidak semata-mata berarti lahiriah tetapi yang lebih penting adalah "keKAYAan" batiniah. Kepuasan batin, ketentraman, dan rasa syukur atas yang dimiliki juga merupakan kekayaan yang luar biasa dalam prinsip hidup orang Bali Mula.

Pandangan ini tentu menjadi sangat penting, tatkala pencarian orang justru hanya baru sebatas kekayaan material-yang notabene bersifat temporer. Padahal kekayaan yang bisa kita gunakan sebagai bekal menuju alam sana sejatinya adalah kekayaan yang bersumber dari dalam (batin). Kekayaan material yang kita miliki saat ini "KUDU" dijadikan sebagai alat untuk meraih Kekayaan Sejati. Bukan sebaliknya menggadaikan kekayaan batin demi kekayaan material.

Semoga Pepeling ini dapat menjadikan kita menjadi orang BALI (Back And Look Inside).

Rahayu
Pengeling Leluhur, 24072012 (Disunting dari: Percakapan dengan Jro Mangku Nastra-Pemangku Lingsir Pura Dalem Balingkang)

PESUNEN SARIRANIRA

Oleh: I Wayan Sudarma

Salam Kasih
Pepeling yang berasal dari 'pewarah-warah' Prabhu Airlangga semasa kerajaan Kediri ini dapat diartikan demikian: 'Kendalikanlah Dirimu'.

Pepeling ini mengandung nasihat agar seseorang mampu mengendalikan dirinya terutama yang berkaitan dengan keinginan/nafsu dalam kondisi apapun. Karena Beliau seorang Raja, tentu utamanya ditujukan kaitannya dengan kepemimpinan. Walau sejatinya bermakna sangat dalam termasuk untuk hal-hal yang bersifat kerohanian, dan sosial masyarakat.

Pertama pepeling ini berpesan jika kita berada dalam kondisi sedang di bawah, orang harus bisa mengendalikan diri (nafsu) yang mendorong untuk berbuat menghalalkam segala cara untuk mencapai tujuan.

Kedua, jika kita berada dalam kondisi sedang di atas, seseorang harus dapat mengendalikan diri (nafsu) agar tidak terjebak dan berubah menjadi pribadi yang sombong, serakah, dan menyalahgunakan wewenang.

Karena apapun alasannya, mengikuti hawa nafsu hanya akan mendorong orang masuk ke jurang kenistaan.

Bercermin dari pepeling ini, kita dapat belajar bahwasanya 'mengendalikan diri' jauh lebih baik daripada 'membiarkan diri' terseret oleh rayuan 'keinginan yang tak terkendali alias nafsu'.

Rahayu
Pepeling Leluhur, 23/07/2012. Disunting dari: Kitab Niti Sruti
 

NGUDI SEJATINING BECIK

Salam Kasih

Salah satu tujuan utama kelahiran kita sebagai manusia ke dunia kali ini adalah dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dari Manusia yang berkecenderungan berwatak keraksasaan (Manava Danava) menjadi manusia yang berwatak kedewataan (Manava Madhava). Yang pada akhirnya agar kita dapat kembali bersatu dengan Sanghyang Sangkan Paraning Dumadi...sebuah cita-cita yang luhung.

Dari padanyalah kemudian susatra Veda dan juga para leluhur (waskita) memaparkan pepelingnya melalui ungkapan singkat: "Ngudi Sejatining Becik", yang secara harfiah dapat diartikan dengn: 'Mencari Kebenaran/Kebaikan yang Sejati'.

Manusia hidup di dunia ini akan menghadapi pilihan-pilihan hidup yang pada hakikatnya terdiri dari baik dan buruk (rwa bhineda/dualitas). Sebagai hamba Tuhan yang baik, dengan andel-andel budhi (intelektualitas) maka ia hendaknya memilih yang terbaik dan yang rahayu. Bagaimanapun sulitnya kebaikan harus diperjuangkan agar hidup selamat.

Slogan: 'aturan dibuat untuk dilanggar' harus tidak dipercaya, karena sejatinya 'aturan itu dibuat untuk ditaati', dijadikan suluh menemukan 'sejatining becik' itu.

Semoga tidak ada halangan bagi kita untuk menitinya..!!

Rahayu 
Oleh: I W. Sudarma
Pepeling Leluhur, 19 Juli 2012
 

Tuhan Memang Luar Biasa

Oleh: I W. Sudarma

Salam Kasih

Semua ilmu datangnya dari TUHAN, begitu juga Matematika:

... Jika 101% dilihat dari sudut pandangan Matematika, apakah ia sama dengan 100%, atau ia LEBIH dari 100%?

Kita selalu mendengar orang berkata dia bisa memberi lebih dari 100%, atau kita selalu dalam situasi dimana seseorang ingin kita memberi 100% sepenuhnya.

Bagaimana bila ingin mencapai 101%?
Apakah nilai 100% dalam hidup?
Mungkin sedikit formula matematika dibawah ini dapat membantu memberi
jawabannya.

Jika ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ

Disamakan sebagai 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26

Maka, kata KERJA KERAS bernilai :
11 + 5 + 18 + 10 + 1 + 11 + 5 + 18 + 19 + 1 = 99%

H-A-R-D-W-O-R-K
8 + 1 + 18 + 4 + 23 + !5 + 18 + 11 = 99%

K-N-O-W-L-E-D-G -E
11 + 14 + 15 + 23 + 12 + 5 + 4 + 7 + 5 = 96%

SKILL
19 + 11 + 9+ 12 + 12 = 63

ACTION
1 + 3+ 20+ 9+ 15+ 14 = 62

A-T-T-I-T-U-D-E
1 + 20 + 20 + 9 + 20 + 21 + 4 + 5 = 100%

Sikap diri atau ATTITUDE adalah perkara utama untuk mencapai 100% dalam hidup kita. Jika kita kerja keras sekalipun tapi tidak ada ATTITUDE yang positif didalam diri, kita masih belum mencapai 100%.

Tapi, LOVE OF GOD
12 + 15 + 22 + 5 + 15 + 6 + 7 + 15 + 4 = 101%

Silahkan di Share Kalo menurut Sahabat Menarik ^_^

Salam Rahayu
Taken from Book: Vedic Mathemati

Kawuk Enteu Ngartos Murang Kalih

Oleh: I W. Sudarma

Salam Kasih

Sehari setelah berjibaku dengan input data lapangan dan mengurus ijin penelitian, tiba saatnya bertukar pikiran dengan sesepuh di Baduy Luar: Mang Sunarja dan Mang Ade, berteman wedang the tubruk dan talas rebus.

Dalam obrolan menyoal kondisi sosial masyarakat yang masih banyak berada di lini kemiskinan bahkan masih terisolasi dan terdiskriminasi, dan kondisi masyarakat yang saling klaim kebenaran, dan menyalahkan
orang lain. Kemudian meluncur ungkapan berbahasa Sunda Alus dari Mang Ade (sehari-hari menjadi penghubung antara warga Baduy Luar dengan Baduy Dalam): "Kawuk Enteu Ngartos Murang Kalih." Kata 'Kawuk' adalah nama binatang sejenis tupai besar. Kata 'Enteu' artinya: tidak, kata
'Ngartos' artinya tidak, dan kata 'Murang Kalih' artinya anak. Dengan demikian ungkapan "Kawuk Enteu Ngartos Murang Kalih" dapat diartikan: Kawuk yang lupa pada anaknya. Ungkapan ini mengandung dua makna.

Makna pertama, menggambarkan orang yang suka mencela orang lain, tetapi ia tidak sadar bahwa dirinya sendiri penuh dengan kekurangan, keburukan yang dilihat oleh orang lain.

Makna kedua, orang yang telah mendapat kemuliaan, derajat, dan pangkat tetapi kemudian lupa kepada sanak saudaranya yang masih menderita dan kekurangan.

Sekiranya ungkapan ini memang banyak benarnya, jika kita potret kondisi masyarakat kita saat ini, mulai dari lingkup paling kecil hingga para pejabat dan penguasa di negeri ini. Sebuah ironi...kata
Mang Suud.

Obrolanpun berakhir seiring larutnya malam, berteman nyanyian jangkrik dan sesekali disela kicau burung hantu.

Salam Rahayu
Pepeling Leluhur, Baduy-04032012