Friday, November 25, 2011

Jangan Pernah Meremehkan Dirimu

Salam Kasih

by I W Sudarma on Wednesday, November 23, 2011 at 5:12pm

Sahabat....Tuhan memberikan kita hidup bukan karena kita membutuhkannya,tapi karena seseorang membutuhkan kita.

Jangan hiraukan mereka yang menjelekkan diri kita. Siapa diri ini hanya kita yang tahu,
hanya kita yang menentukan, bukan mereka!

Menjadi yang “terbaik” lebih penting daripada menjadi yang “pertama." ~»Jangan terlalu tergantung pada orang lain,
karena kita lebih kuat dari yang kita pikirkan, hanya terkadang kita tidak mempercayainya..

Jangan tangisi dia yang telah mengkhianati kita. Tapi bersyukurlah, karena Tuhan telah menunjukkan bahwa dia bukan orang yang tepat bagi kita.

Jangan buang energi untuk membalas, karena hukum alam lebih mengerikan.

Jangan lari dari masalah, mereka akan selalu menghampiri kita. Yang harus kita lakukan lakukan adalah: belajar dan mencari cara mengatasinya.

Jangan meremehkan diri sendiri. Karena kita terlahir dengan banyak talenta, Manfaatkanlah. Mereka adalah jembatan menuju kebahagiaan kita.

Ingat....Sesuatu yang dimulai dengan kebaikan akan menghasilkan kebaikan. Namun jika hasilnya belum baik,
maka itu bukanlah akhir.

Rasa iri merugikan kita. Luangkan waktu untuk bersyukur atas segala hal yang kita miliki.

Kita adalah terbaik dengan cara kita sendiri.

Walau tak dapat dipungkiri-hidup selalu punya banyak hal untuk membuat kita jatuh. Namun,apa yang benar-benar bisa membuat kita jatuh adalah sikap kita sendiri. Untuk itu Janganlah pernah berpikir bahwa kita bukan siapa-siapa, karena kita tak pernah tahu bahwa "ada seseorang yang berpikir kamu adalah segala-nya"

Jangan pikirkan mereka yang membenci, karena mereka hanya iri atas pribadi kita yang lebih baik. Abaikan mereka & teruslah melangkah...!!

Nyatakan dalam diri: "Saya tidak bangga karena kesalahan saya. Tapi saya bangga karena
saya dapat belajar dari kesalahan saya."

Sekali lagi....Sahabat semua.....Jangan memandang rendah diri sendiri. Jika kita tidak bahagia dengan hidup saat ini, intropeksi diri & berusahalah lebih baik. Karena sejatinya semua orang punya kelebihan & kekurangan, tapi jika kita tidak bisα menghargai kekurangan itu, kita tidak akan bisa menghargai diri kita sendiri...:)

Salam Rahayu

CUNTAKA – KECUNTAKAAN

Salam Kasih

Om Swastyastu.
Ada kecendrung banyak dari kita, yang salah kaprah dlm penerapan kata Cuntaka sehingga sering terjadi perbedaan persepsi serta implementasi dalam menanggapi cuntaka itu sendiri.

Pada dasarnya Hyang Maha Suci ( Hyang Widhi Wasa) hanya bisa didekati dengan kesucian, sehingga sudah sewajarnyalah kalau kita ingin mendekatkan diri kita kepadaNya seyogyanya memakai jalur khusus yaitu kesucian lahir dan bathin, sehingga itulah sebabnya di beberapa tempat suci khususnya Utamaning Mandala sebuah pura biasanya sangatlah dipertahankan / diusahakan untuk memposisikan Pura itu di tempat yang suci, atau disucikan.

Tempat suci dengan tempat yang disucikan ada sedikit berbeda :
* Tempat Suci = ada beberapa area yang sudah dianggap suci oleh umat hindu berdasarkan lokasi yang dimilikinya suatu contoh : Puncak gunung ( manara giri ) Telebutan air / campuan air ( Danau ) Telengin segara ( samudra ) pura segara.
* Sedangkan Tempat yang Disucikan = Tempat yang sebelumnya kita tidak tahu historynya seperti apa, bisa jadi kuburan, bisa jadi alun alun dan sebagainya, karena merupakan kebutuhan masyarakat untuk dijadikan rumah Ibadah maka lokasi itupun disucikan sehingga menjadi tempat suci.

Nah dari kedua tempat suci yang disucikan itu, agar tetap kesuciannya terjamin sehingga dirasakan vibrasinya sangat istimewa, sehingga perlulah dibuat Guide line atau tatanan acara / sesananning masuk pura. Sehingga sesananing masuk pura di suatu tempat terkadang tidak sama dengan di tempat yang lain, meskipun tujuannya sama sama untuk menjaga kesucian Pura, hal ini sangat banyak dipengaruhi oleh Dresta setempat pada saat awig-awig itu disepakati bersama. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yang dilarang dilakukan dipura adalah sebagai berikut :

A. Cuntaka lantaran kotor lahiriah ( sebel )

* Hindari Bedarah darah masuk pura, yang sedang Menstruasi, luka berdarah termasuk tukang paebat yang tangannya masih belepotan dengan darah.
* Hindari netekin / menyonyonin di pura.
Hindari badan yang masih kotor, belepotan masuk pura, sehingga menimbulkan nuansa yang tidak sreg untuk sembahyang bagi yang lainnya yang datang sembah.
* Hindari membuang kotoran di pura ( buang air besar / kecil ).
* Hindari rambut jatuh di pura, sehingga diusahakan untuk mepusungan ke pura bagi yang istri, bagi yang lanang jangan potong rambut, kumis, jenggot dipura.
* Hindari meninggalkan kotoran, daki, bagian dari tubuh kita di pura, misalnya potong kuku, gosok gigi, korek kuping dan sebagainya.
* Terkadang ada yang menerapkan bagi anak wanita yang sudah semestinya datang bulan, tetapi sudah tutug kelih bulannya tak kunjung datang.

B. Cuntaka lantaran manah Bathiniah ( sebet )

* Ada bagian keluarga yang meninggal ( Umumnya mereka yg tunggal sembah ) penerapan awig-awig ini sangat beraneka ragam : Area Sebelnya ada sebatas tunggal sembah, sebatas tembok kiri kanan depan belakang, ada sampai sebatas dusun dan juga terkadang ada sampai satu desa. Demikianpun durasi lama waktu cuntaka ini, sangat bervariasi, ada sebatas s/d Ngerorasin bagi yang meninggal, ada sebatas ngelinggihan dewa hyang tergantung dari commitment krama adat itu sendiri.
* Hilang ingatan ( dianggap mati ) mayat berjalan.
* Kelahiran Bayi ( puput puser batas cuntaka sang ayah), dan 42 hari batas cuntaka sang Ibu.

Pada umum cuntaka seperti d iatas ini penerapannya hampir sama, namun terkadang ada juga yang berbeda, tetapi perbedaannya tidak terlalu menjolok. Nah inilah biasanya di buatkan awig-awig dalam tatanan masuk pura yang bertujuan untuk menjaga kesucian pura yang merupakan milik orang banyak.

C. Unpredicable cuntaka.

Ada bebrapa cuntaka yang sangat sulit untuk dideteksi orang lain, malahan terkadang hanya orang yang bersangkutan saja mengetahui dirinya tak layak untuk ke pura misalnya:
* Telah melakukan perbuatan asusila, nyolong, memfitnah, berkelahi (tetapi orang lain belum tentu tau kondisinya).
* Gamya Gemana – kawin dengan cara yang tidak wajar ( dengan ibu kandung, anak, dengan binatang dan sebagainya).
* Marah-marah (Mojar gangsul, nangun kroda), sehingga kalau dipaksakan dirinya berada di pura bisa jadi akan mempengaruhi keheningan dalam sembahyang.

Banyak lagi contoh-contoh yang lainnya, sehingga yang seperti ini sangat sulit untuk di prediksi sehingga sulit untuk mengundang-undangkan.

Demikian sekilas tentang Cuntaka
Om Santih Santih Santih Om

Sang penyelamat itu adalah DIRI SENDiRI

Salam Kasih

Sungguh mudah untuk melakukan Hal-Hal yang buruk dan tidak bermanfaat bagi diri sendiri.
TETAPI
Sungguh sulit untuk melakukan Hal-Hal yang bermanfaat dan baik bagi diri sendiri


Sahabat....
Ayo bangun...!
Jangan lengah...!
Tempuhlah kehidupan benar, karena hanya mereka yang menempuh kehidupan benar yang Akan hidup bahagia baik di dunia ini maupun di dunia selanjutnya...!

Leluhur kita selalu berpesan: " Sing sapa kang sakawit lumuh, nanging sabanjure Ora lumuh, ing kono dheweke bakal nyawang jagad iki kaya rembulan kang kalis saka limputaning mega."----He who formerly was reckless and after wards become sober, brightens up this world, like the moon when freed from clouds.

Rahayu
oleh: I Wayan Sudarma
Bali, 24112011

All are One, Be Alike to Everyone.

Salam Kasih

Dear All
Space is one. But it is held in diverse containers like the home, the pot, the building and the canvas.
There is no truth in this divided existence; it is the one space that exists in all these ‘receptacles’ which are varied shapes and forms, with distinct names attached to them, and different modes of behaviour and use.


So too, individual beings (jivas) have different names and forms, peculiarities, specialties and behaviours.
But like the string that holds the beads, passing in and through each one, the Super Consciousness in all individuals is ONE.

That is the Self, Atma, which is mistaken as the ego through ignorance. Only when this truth is acquired, can man release himself from the hold of this transient world.

Taken from: Sathya Sai Vahini, Ch 20: “The Primal Purpose”.

SETIAP ORANG PUNYA CERITA

Salam Kasih

Hidup selalu terbungkus oleh banyak lapisan. Kita hanya melihat lapisan luar & tidak tahu isi dalamnya...

Kita hanya melihat, wah.... pengusaha itu hebat, rumahnya besar, mobilnya mewah, hidupnya bahagia sekali...
Padahal dia lagi stress & hidupnya penuh hutang, kerja keras hanya buat bayar bunga pinjaman, semua asetnya sudah jadi milik bank...


Huaaa... pasangan anggun yang hadir di acara reuni itu begitu serasi & mempesona, mereka pasti hidup harmonis & bahagia...
Padahal hidup mereka penuh dengan kebencian, saling menuduh, menghianati & menyakiti, bahkan sudah dalam proses perceraian & bagi harta...

Lihat pemuda itu, lulusan Harvard dengan nilai cumlaude, pasti mudah dapat kerja, gaji besar, hidupnya pasti bahagia...
Padahal dia kena PHK sudah 10x, jadi korban fitnah di lingkungan kerjanya. Sudah 2 bulan belum dapat job baru...

Woww... Ibu muda itu, selalu ke pub clubbing & diskotik, dia punya banya waktu, nggak perlu pusingin kerjaan rumah, hidupnya enjoy banget, dia pasti bahagia....
Padahal batinnya hampa & kesepian, jiwanya merintih. suaminya tak pernah menghargai & mengasihinya...

Lihat tetangga kita anaknya sudah besar-besar semua, bapak ibunya sudah boleh santai & tenang, mrk pasti bahagia, namun kenyataannya orang tua mrk tak pernah bisa tidur nyenyak, anak-anaknya tak berbhakti, suka judi & narkoba.

Sahabat.....Kita sedemikian sering tertipu oleh keindahan di luar & tidak tahu realita yang di dalam.

Sesungguhnya semua keluarga punya masalah. Semua orang punya cerita duka. Begitulah hakekat hidup.

Janganlah menggosip tentang masalah orang, sebenarnya siapapun tidak mau mengalami masalah tapi manusia tak luput dari masalah.

Jangan mengeluh karena masalah. Hayatilah makna dibalik semua masalah maka semua masalah akan membuat hidup menjadi bermakna!

Jangan bandingkan hidupmu dengan orang lain, karena orang lain belum tentu lebih bahagia dari kita......
Be wise, when after you're
Read this :)
Rahayu, Catatan pinggir Jalan, Bali 22112011
Dedicated with love: Goes De TG

KEBAJIKAN HATI---> KEINDAHAN WATAK

Salam Kasih

Sahabat......Survey membuktikan bahwa tidak akan pernah ada kedamaian hati pada mereka yang fanatik —walaupun mulutnya sedemikian mudahnya mengubar kalimat-kalimat perdamaian, mengubar kata-kata sorgawi dan atau sejenisnya. Karena apa yang kita fanatiki akan kita nobatkan sebagai ‘Tuan’ kita; tak peduli apakah ini kita sadari atau tidak. Bisa dibayangkan, betapa menderitanya batin yang diperbudak seperti ini. Makanya, batin fanatik adalah batin terbelenggu, batin sengsara


Hanya bila ada kebajikan dan keluasan dalam HATI, saat itulah kefanatikan batin akan terguusur dan akan memunculkan keindahan dalam Watak kita.

Rahayu, Bali 21/11/2011
Dedicated with love by: I Wayan Sudarma

Hati-Hati Dengan Serangan Sakit Kejiwaan

Salam Kasih

“ Badannya tampak sehat namun jiwanya mengalami sakit yang dalam”,

Sehingga kesadarannya akan kebenaran mengalami penurunan. Ketidakseimbangan ini menyebabkan kita gampang melakukan perbuatan yang sering bertentangan dengan norma atau hukum yang berlaku, dari perbuatan phisik, hingga menjangkiti tataran psikis, emosi, dan mental. Kalau perbuatan yg dilakukan secara phisik barangkali kita lebih mudah untuk mengenalinya, tapi yang mendera tataran yang lebih halus berupa rasa iri, syirik, dendam, sakit hati, kecewa, fitnah, dan sebagainya-justru lebih berbahaya dan lebih sulit menanganinya. Dilihat dari kehidupan phisik dan materinya bisa jadi kita tampak sehat dan berkecukupan, namun kita sering lupa untuk memberikan makanan kepada rohani kita, akibatnya kita rentan terjangkit penyakit ketidakseimbangan emosi.


Nah....ketika akumulasi disharmoni ini sampai pada titik kulminasinya, maka seperti letusan bom kita ini akan jatuh ke dalam penderitaan.

Jadi....mari selalu waspada...karena penyakit kejiwaan sering menyelinap penuh tipu daya...!!

Rahayu
Diinspirasi oleh artikel: Kesehatan Jasmani dan Kecenderungan Kriminal, oleh: Goes De Tantrayana G (di upload di Divine Society) 18112011.

Friday, November 18, 2011

SIMBOL ILMU PENGETAHUAN, MENGAPA CECAK?

Salam Kasih

Written by: Jro Mangku Danu on Friday, November 18, 2011 at 12:22pm

Setiap umat Hindu merayakan Hari Raya Saraswati, dalam banten-nya selalu ada jajan berwujud cecek atau seekor cecak. Bila ditanya mengapa dibuat jajan dengan bentuk seperti itu, jawaban yang kita peroleh, karena lambang ilmu pengetahuan Sang Hyang Aji Saraswati adalah cecak. Cecak adalah binatang yang bijak, sakti, dan magis. Buktinya?


JIKA umat Hindu di Bali ketika sedang ngobrol atau berbicara kemudian terdengar bunyi cecak, berarti apa yang bicarakan diyakini telah dibenarkan oleh sang cecak. Sehingga terlontarlah ucapan, "Pukulun Batara Sang Hyang Aji Saraswati". Lantas, mengapa dipilih wujud seekor cecak sebagai lambang ilmu pengetahuan?

Ada yang menjawab bahwa cecak itu adalah binatang keramat atau hewan suci dan cerdik. Ketika dikejar oleh pemangsanya, dia akan melepaskan ekornya. Ekor ini, setelah lepas, akan bergerak-gerak sendiri. Lalu, pemangsa akan tertarik dan perhatiannya beralih ke potongan ekor cecak yang bergerak-gerak tersebut, bukan kepada cecaknya. Dengan cara ini, cecak dapat meloloskan dirinya dari kejaran pemangsanya. Cecak akhirnya bebas berlari dan selamat dari terkaman pemangsanya. Jawaban pembenaran lainnya, bahwa cecak itu mampu berjalan merayap di dinding dan di langit-langit rumah dengan punggung menghadap ke bawah. Telapak kakinya mempunyai alat khusus untuk menempel di dinding dan plafon rumah.

Cerita tambahan lainnya, bahwa Prabu Anglingdharma yang sakti mandraguna, sampai bertengkar dengan permaisurinya gara-gara mendengarkan percakapan dua ekor cecak. Oleh karena Sang Prabu tidak mau menceritakan apa yang telah didengarnya, Sang Permaisuri kemudian melalukan labuh geni, menceburkan dirinya ke dalam api yang berkobar-kobar sehingga hangus terbakar dan tewas. Inilah akibat merahasiakan apa yang telah didengar tentang percakapan dua ekor cecak yang merupakan pasangan suami istri tersebut. Dampaknya amat fatal pada kelangsungan kehidupan rumah tangganya.

Aksara Bali
Betulkah cecak itu binatang yang bijaksana, serba tahu, sakti, keramat, magis, ibarat penjelmaan Sang Hyang Aji Saraswati, lambang ilmu pengetahuan? Benarkah cecak cocok dan tepat dipergunakan sebagai simbol ilmu pengetahuan?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita simak terlebih dahulu aksara Bali. Aksara Bali terbagi atas aksara biasa dan aksara suci. Aksara biasa terdiri atas aksara wreastra -- aksara yang dipergunakan sehari-hari, terdiri atas 18 aksara (lihat boks penjelasan aksara Bali), misalnya: a, na, ca, ra, ka, dan aksara swalalita atau aksara yang dipergunakan pada kesusastraan Kawi yang terdiri atas 47 aksara, misalnya: a, i, u, e, o.

Aksara suci terbagi atas aksara wijaksara atau bijaksara (aksara swalalita + aksara amsa, misalnya: ong, ang, ung, mang) dan modre atau aksara lukisan magis. Aksara amsa terdiri atas ardhacandra (bulan sabit ), windu (matahari, bulatan ) dan nadha (bintang, segi tiga). Ketiganya melambangkan Dewa Tri Murti -- utpatti-sthiti-pralina atau lahir-hidup-mati. Dewa Brahma dengan lambang api, Dewa Wisnu dengan simbol air dan Dewa Siwa atau Iswara dengan lambang udara. Aksara amsa adalah lambang Hyang Widhi dalam wujud Tri Murti.

Selain itu, dalam aksara Bali ada yang disebut pangangge tengenan. Tengenan adalah aksara wianjana (huruf konsonan, huruf mati) yang terletak pada akhir kata yang melambangkan fonem konsonan. Tengenan ini dilukiskan dengan pangangge tengenan serta gantungan (ditulis di bawah aksara) atau gempelan (digabungkan dengan aksara di depannya). Contoh pangangge tengenan: cecek ( ' ), surang ( r ), bisah ( h ), dan adeg-adeg atau tanda bunyi mati ( . ) . Misalnya kata gamang, kasar, asah, dan aad. Jika kita perhatikan tulisan aksara mang, dapat ditulis ma dengan cecek sebagai aksara biasa atau ma dengan amsa sebagai aksara wijaksara/bijaksara.

Jadi, dilihat dari fungsinya sebagai pangangge tengenan, cecek ( ' ) sama dengan aksara amsa yang berbunyi ng. Berdasarkan hal ini, logislah kalau pangangge tengenan atau aksara amsa yang merupakan simbol Dewa Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa), niasa Hyang Widhi, oleh umat Hindu di Bali dilukis atau diwujudkan dengan simbol binatang cecek atau cecak. Ini bukan berarti binatang cecak itu binatang bijak, cerdik, sakti, magis, atau religius, tetapi semata-mata karena binatang tersebut namanya sama dengan pangangge tengenan cecek atau amsa, yang bunyinya ng ( ' )

Dengan demikian, agar logis, rasional, dan konsisten pada ajaran Hindu, maka dipergunakanlah binatang itu, yang hanya memiliki dwi pramana (bayu dan sabda, tanpa idep atau pikiran) sebagai simbol Sang Aji Saraswati, lambang ilmu pengetahuan dalam banten Saraswati. Bukan karena cecak itu binatang bijak, cerdik, sakti dan sebagainya. Kemampuan melepaskan ekornya atau merayap di dinding, bukan hasil kreativitasnya atau inovasinya sendiri berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi karena tidak mempunyai idep, tetapi memang merupakan kodratnya sebagai binatang cecak yang diciptakan dan ditakdirkan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa harus demikian.

Penjelasan Tentang Aksara Bali
1). Aksara Wreastra: = a, = na, = ca, = ra, = ka, dstnya.
2). Aksara Swalalita: = a, = i, = u, = e, = o.
3). Aksara Suci terbagi atas aksara Wijaksara atau Bijaksara (aksara Swalalita + aksara Amsa, misalnya : ong, ang, ung, mang) dan Modre (aksara lukisan magis).
4). Aksara Amsa terdiri atas : Ardhacandra (bulan sabit), Windu (matahari, bulatan,) dan Nadha (bintang, segi tiga).
5). Dewa Brahma berlambang api, Dewa Wisnu berlambang air, dan Dewa Siwa atau Iswara berlambang udara.
6). Contoh Pangangge Tengenan: cecek ( ' ) = ng, surang ( r ) = r, bisah ( h ) = h, dan adeg-adeg ( . ) = tanda bunyi mati. Aksara "mang", dapat ditulis (ma dengan cecek, sebagai aksara biasa) atau (ma dengan Amsa , sebagai aksara Wijaksara/Bijaksara).

Jadi, dilihat dari fungsinya sebagai Pangangge Tengenan, cecek sama dengan aksara Amsa yang berbunyi "ng". Berdasarkan hal ini, ia merupakan simbol Dewa Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) -- umat Hindu di Bali melukiskan dengan simbol binatang cecek atau cecak. Ini bukan berarti binatang cecak itu binatang bijak, cerdik, sakti, magis, atau religius, tetapi semata-mata karena binatang tersebut namanya sama dengan Pangangge Tengenan cecek atau Amsa, yang bunyinya "ng" ( ' ).

Salam Rahayu-Semoga Bermanfaat
Bali, 18 Nopember 2001
Also Posted in facebook: Jro Mangku Danu

Thursday, November 17, 2011

JANGAN PERNAH BERHENTI BERHARAP

Salam Kasih

Mutiara Dharma 16/11/2011:

"Selama HARAPAN masih menyala, DAMAI, IMAN, dan CINTA masih bisa kembali kita nyalakan. Untuk itu Jangan pernah berhenti berharap....!!!" (Jero Mangku Danu)

Saat upacara jamuan makan, dalam rangka upacara Pawiwahan ponakan, tak lupa kami menyalakan lilin untuk mengusir lalat di musim hujan-yang sedikit lebih banyak.

Ada 4 lilin yang sedang menyala. Sedikit demi sedikit habis meleleh. Suasana begitu sunyi sehingga terdengarlah percakapan mereka.

Lilin yang pertama berkata: "Aku adalah DAMAI, namun manusia tak mampu menjagaku. Maka lebih baik aku mematikan diriku saja! Demikianlah sedikit demi sedikit sang lilin pertama Padam.

Lilin yang kedua berkata: "Aku adalah IMAN", sayang aku tak berguna lagi. Manusia sudah tak mau mengenalku, mereka hanya manis di bibir saja. Tak ada gunanya aku tetap menyala. Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya.

Dengan sedih giliran lilin ketiga bicara: "Aku adalah CINTA", aku juga sudah tak mampu lagi untuk tetap menyala, manusia tak lagi memandang dan menganggapku berguna. Mereka malah saling membenci. Bahkan membenci mereka yang mencintainya, dan tak jarang membenci keluarganya. Tanpa menunggu waktu lama, Maka matilah lilin yang ketiga.


Namun Tanpa terduga

Seorang anak saat itu masuk ke dalam kamar, dan melihat ketiga lilin telah padam. Karena takut Akan kegelapan itu, Ia berkata: "Eh, apa yang terjadi?? Kalian harus tetap menyala. Aku takut Akan kegelapan, dan di luar lalatnya juga banyak..!! Lalu Ia menangis tersedu-sedu.

Lalu dengan haru lilin keempat berkata: "Jangan takut, dan jangan menangis...! Selama aku masih ada dan menyala, kita tetap dapat selalu menyalakan ketiga lilin lainnya.

"Akulah HARAPAN"

Dengan mata bersinar, sang Anak mengambil lilin harapan, lalu menyalakan kembali ketiga lilin lainnya.

Sahabat....apa yang tidak pernah mati dialah HARAPAN. Jangan sampai kita kehilangan HARAPAN..!!


Kiranya pesan singkat ini bermanfaat bagi bertumbuhnya kesadaran kita.

Salam Rahayu
Dedicated with love by: I Wayan Sudarma 
Bali, 16/11/2011

MIRACLE of SMILE

Salam Kasih

Why we must smile....? It's not because everything is fine
BUT
Because when we smile everything is going to be fine....

So...let's smile..:)
Because SMILE means:
S : See
M : Miracle
I : in
L : Life
E : Everyday


When you smile with your heart believe there will many miracles comes to you

Inner peace
Dedicated with smile n love by: Goes De Tantrayana G
Bali, 16112011

Terima Kasih Pak Sopir Atas Pembelajaranmu

Salam Kasih

Sebuah kisah nyata tentang kebaikan
Siang hari tadi saya naik angkutan kota dari Banjarangkan menuju Pasar Galiran-Klungkung. Pengemudi angkot itu seorang anak muda. Didalam angkot duduk 7 penumpang, termasuk saya. Masih ada 5 kursi yang belum terisi.


Di tengah jalan, seperti biasanya angkot-angkot saling menyalip untuk berebut penumpang. Tapi ada pemandangan aneh. Di depan angkot yang saya tumpangi, ada seorang ibu dengan 3 orang anak berdiri di tepi jalan. Tiap ada angkot yang berhenti dihadapannya, dari jauh kami bisa melihat si ibu bicara kepada sopir angkot, lalu angkot itu melaju kembali.

Kejadian ini terulang beberapa kali. Ketika angkot yang saya tumpangi berhenti, si ibu bertanya "Dik, lewat terminal bis ya?", supir tentu menjawab "ya".
Yang aneh ibu tidak segera naik. Ia bilang "tapi saya dan ke 3 anak saya tidak punya ongkos." Sambil tersenyum, sopir itu menjawab "gak papa Bu, naik saja", ketika si Ibu tampak ragu-ragu, sopir mengulangi perkataannya "ayo bu, naik saja, ten kenapi (tidak apa-apa)"

Saya terpesona dengan kebaikan sopir angkot yang masih muda itu, di saat jam sibuk dan angkot lain saling berlomba untuk mencari penumpang, tapi si sopir muda ini merelakan 4 kursi penumpangnya untuk ibu & anak-anaknya. Ketika sampai di terminal bis, 4 penumpang gratisan ini turun. Si Ibu mengucapkan terima kasih kepada sopir. Di belakang ibu itu, seorang penumpang pria turun lalu membayar dengan uang Rp.20 ribu.

Ketika sopir hendak memberi kembalian (ongkos angkot hanya Rp.4 ribu). Pria ini bilang bahwa uang itu untuk ongkos dirinya & 4 penmpang gratisan tadi. "Terus jadi orang baik ya, Dik " kata pria tersebut kepada sopir angkot muda itu.

Siang itu saya benar-benar dibuat kagum dengan kebaikan-kebaikan kecil (namun luhur) yang saya lihat. Seorang Ibu miskin yang jujur, seorang sopir yang baik hati,& seorang penumpang yang budiman. Mereka saling mendukung untuk kebaikan. Andai separuh saja bangsa kita seperti ini, maka dunia akan takluk oleh kebaikan kita!

Silahkan disebar jika menurut anda hal ini patut di contoh sebagai cara berbuat kebajikan.

Salam Rahayu
Klungkung, 15112011
Serve with love by: Goes De Tantrayana G

BUKAN KOREK API

Salam Kasih

Sahabat....kita pasti pernah menyalakan korek api bukan...?? Korek api mempunyai kepala,
tapi tidak mempunyai otak,
oleh karena itu setiap kali ada gesekan kecil, sang korek api langsung terbakar.

Kita mempunyai kepala dan juga otak, jadi kita tidak perlu kebakaran jenggot hanya karena gesekan kecil. Jadi dengan menggunakan otak, kita dapat mengurangi stress.


Tahukah anda bahwa untuk setiap detik yang diluangkan dalam bentuk kemarahan, maka satu menit kebahagiaan telah terbuang?

Mari belajar untuk mengendalikan diri, karena ketika anda bekerja dengan emosi yang stabil, anda dapat menyikapi kehidupan dengan lebih arif dan bijaksana.

Semua yang dimulai dengan rasa marah akan berakhir dengan rasa malu dan menyesal.

Coba bayangkan,
Apakah bisa dengan maksimal bila anda bekerja dengan cemberut?

Coba ganti cemberut anda dengan senyum, pasti hasilnya akan berbeda.

Salam Rahayu
Klungkung 15112011
Serve with love by: Goes De Tantrayana G

MALAS & RAGU

Salam Kasih

Orang ragu – ragu memasuki lapangan sadhana, meskipun mereka mengharapkan untuk memetik kegembiraan.
Banyak yang enggan menggunakan tenaga sedikit juapun, tetapi berharap pembebasan dan realisasi diri jatuh dari keatas pangkuannya.
Mereka ingin memiiki pandangan Ketuhanan yang disuntikan tanpa rasa sakit di otaknya.


Inilah sebentuk 'kemalasan & keraguan diri'
~ I Wayan Sudarma
Bali-14/11/2011

DIRIMU SPECIAL

Salam Kasih

Orang yang hebat tidak dihasilkan melalui ..kemudahan, kesenangan, tapi Mereka dibentuk melalui keSUKARan, TanTanGan, dαn keSULITan

Ketika engkau mengalami sesuatu yang sangat berat dan merasa ditinggalkan sendiri dalam hidup ini ..Angkatlah Tangan dan Kepalamu ke atas , Tataplah masa depanmu..!


Ketahuilah..Engkau sedang dipersiapkan untuk menjadi. Orang yang Luar Biasa...:) Karena sejatinya engkau adalah pribadi yang menakjubkan, engkau adalah insan yang sedemikian istimewa...sadarilah...!! :)

Rahayu, Bali, 12112011
Serve with love by: Jro Mangku Danu

NAMAKARA SAMSKARA ( BAYI TIGA BULAN ) Sebuah Kajian Filosofis

Salam Kasih

Oleh : Tantrayana Gautama
Bayi adalah anugerah Tuhan, manusia adalah titipan Tuhan Yang Maha Esa, yang harus dirawat dan dipelihara sebaik-baiknya. Bukan dirawat raganya saja tetapi jiwanya pun harus ikut dirawat. Raga dan jiwa sudah menjadi tanggung jawab orang tua untuk merawatnya dengan segala macam usaha. Untuk perawatan raganya diperlukan makanan yang bergizi serta gerakan-gerakan yang menyehatkan raganya sehingga pertumbuhan badaniahnya dapat terjamin dengan baik. Hindu memandang pemenuhan syarat-syarat ini belumlah cukup jika menginginkan untuk mendapatkan manusia-manusia yag sempurna, untuk dapat menyumbangkan kepada masyarakat dan Negara manusia-manusia sempurna lahir-bathin.


Kesempurnaan rohaniah akan bisa dipupuk dengan jiwa yaitu agama yang berunsurkan Tattva (fisafat), Etika (Susila) dan Upacara (ritual). Tattva dan Susila dapat diberikan setelah umur manusia itu cukup dewasa untuk menerimanya. Tetapi untuk bayi sampai umur tertentu, unsur upacaralah yang lebih diperlukan untuk keselamatan, kelangsungan hidup bayi yang masih rawan kondisinya. Dengan pemikiran beginilah mengapa orang Hindu menyibukkan diri dengan upacara-upacara keagamaan mulai dari awal-awal kehidupan seorang bayai yang tumbuh menjadi manusia yang utuh lahir dan bathin. Upacara-upacara itu ialah wujud dari permohonan kehadapan Tuhan untuk keselamatan serta panjang umur sang bayi.

Setelah bayi berumur tiga bulan dikenal dengan uapacara Tigang Sasih. Kalau di India dinamakan upacara Niskarmana (bayi umur tiga bulan ) atau Namakara (upacara pengesahan nama si bayi). Dalam bahasa Inggris disebut First Outing ( membawa bayi ke luar untuk pertama kalinya). Untuk apa ? untuk melihat matahari. Sedangkan untuk boleh melihat bulan dilakukan setelah bayi berumur empat bulan. Jadi ada perbedaan antara melihat matahari dan melihat bulan. Ini adalah symbol dari kondisi bayi untuk beradaptasi dengan udara siang dan udara malam di luar rumah.

Upacara tiga bulan ini dilakukan di rumah atau pura keluarga, pemujaan dilakukan oleh Pandita atau Pinandita dengan mengucapkan mantra-mantra suci Veda memohon kehadapan Hyang Widhi dalam manifestasiNya sebagai Dewa Kumara (dewanya para bayi) agar berkenan melindungi dan menjaga kelangsungan hidup si bayi.

Untuk pertama kalinya pula sang bayi diperkenankan menyentuh tanah (pertiwi) dan boleh dipakaikan hiasan-hiasan seperi cincin, anting-anting, kalung atau gelang dari jenis logam, dengan maksud bayi telah siap terhadap perjalanan hidupnya di dunia ini . Demikian makna upacara tiga bulan (Namakara Samskara) pada agama Hindu.
Om Santih Santih Santih Om

Aku Orang Biasa

Salam Kasih

Tak pantas bagiku mengaku superior...
Apalagi menyangkut hal-hal rasa,
Keterbatasan ku yang tak berbatas tak lebih dari udara dalam kungkungan buluh-
Tak pantas pentas di belantika riuh para pedagang-
Hanya percikan kecilNya yang sanggup ku hadirkan dalam tiap langkahku-
Rahayu

KETEGUHAN

Salam Kasih

Jika teratai yang sedemikian terbatas tetap dapat menjadi sedemikian indah dan suci, hingga dipakai simbol kemurnian Oleh para bijak- walau Ia hidup di antara kubangan lumpur.

Semestinya....

Sebagai manusia yang dikaruniakan kelengkapan sedemikian hebat-dapat menjadikan kesempatan emas ini untuk menemukan kemurnian diri.
Alam lingkungan bolehlah dikatakan edan
Jaman bolehlah dibilang kian tak bersahabat
Tapi bilamana kita menyadari hakikat kemanusiaan kita, tak Ada satu alasan apapun bagi kita untuk melemparkan tudingan dan menyalahkan jaman dan alam.

Belajar dari teratai yang menjadikan lumpur (baca; masalah) Sebagai Lahan untuk bertumbuh dalam kesadaran
Menjadikan gelombang pasang surut (baca: suka duka) Sebagai latihan menghaluskan budhi
Menjadikan terik-hujan-angin (baca: pesaing) Sebagai teman separing untuk mengokohkan keimanan

Sahabat....bukan berapa kali kita jatuh tersungkur dan gagal yang harus kita sesali, tapi adalah seberapa kuat kita bisa menghadapinya hingga masih tegar dan teguh melangkah dijalan rahayu hari ini yang patut kita syukuri

Rahayu, semoga suluh redup ini dapat menemani perjalanan saya dan sahabat semuanya
Karena Kita adalah insan yang penuh karunia

Lembang, 08112011
Serve with love by: I Wayan Sudarma

Yang Tersisa

Salam Kasih

Retakku kian menganga
Tak layak lagi aku Merasa perkasa
Untuk menampung semua aliran kasihmu

Ruas Ruas persendianku kian kaku
Semakin kusadari....Aku semakin lamban
Dan tak segesit tiupan anginmu

Kulit belulangku kian legam dan berkerak
Membuat suram pancaran cahayamu yang mestinya berpendar

Hanya senyum ini yang bisa ku Hadirkan
Sebagai tegur sapaku
Harapanku....semoga aku tak dianggap kurang waras
Di tengah kegilaanku padamu

Hanya senyum ini yang bisa kusunggingkan
Sebagai persembahanku
Harapanku...semoga aku tak disangka mengejek
Di tengah ledekan yang menerpaku

Karena hanya ini yang tersisa
Dari sedemikian banyak hadiahmu

Bandung, 07112011
Serve with love by: I Wayan Sudarma

3 Kata Terlarang

Salam Kasih


1. Saya Tidak Bisa (I Can't)
Ketika Anda berkata "saya tidak bisa", maka pintu pikiran Anda tertutup untuk mencari jalan dan mencoba.
Sebaliknya jika Anda berkata saya bisa ini masih membuat otak kita bekerja mencari jalan.

2. Tidak Mungkin (Impossible)
Orang-orang yang sering berkata "tidak mungkin" akan menutup berbagai pintu keajaiban. Dengan sikap seperti ini mereka akan sulit meraih sesuatu yang hebat. Karena hampir segala sesuatu yang kita nikmati hari ini adalah sesuatu yang mustahil di hari kemarin. Selalu ada mujizat Tuhan setiap hari, bagi org yg percaya.

3. Saya Sudah Tahu (I Know)
Setiap kali Anda mengucapkan bahwa "saya sudah tahu", sebenarnya Anda sedang menutup pintu pembelajaran. Sehingga kita tidak lagi berusaha untuk mempelajari hal-hal baru. Padahal dalam kehidupan selalu ada hal baru yang dapat kita pelajari.

Rahayu
~ I Wayan Sudarma

KOIN PENYOK

Salam Kasih

by Goesde Tantrayana G on Monday, November 14, 2011 at 4:22pm

Salam Kasih
Seorang lelaki berjalan tak tentu arah dgn rasa putus asa. Kondisi finansial keluarganya morat-marit.

Saat menyusuri jalanan sepi, kakinya terantuk sesuatu. Ia membungkuk dan menggerutu kecewa. “Uh, hanya sebuah koin kuno yg sudah penyok.” Meskipun begitu ia membawa koin itu ke bank.

“Sebaiknya koin in dibawa ke kolektor uang kuno,” kata teller itu memberi saran. Lelaki itu membawa koinnya ke kolektor. Beruntung sekali, koinnya dihargai 30 dollar.


Lelaki itu begitu senang. Saat lewat toko perkakas, dilihatnya beberapa lembar kayu obral. Dia pun membeli kayu seharga 30 dollar utk membuat rak buat istrinya. Dia memanggul kayu tersebut dan beranjak pulang.

Di tengah perjalanan dia melewati bengkel pembuat mebel. Mata pemilik bengkel sudah terlatih melihat kayu bermutu yg dipanggul lelaki itu. Dia menawarkan lemari 100 dollar utk menukar kayu itu. Setelah setuju, dia meminjam gerobak utk membawa pulang lemari itu.

Di tengah perjalanan dia melewati perumahan baru. Seorang wanita melihat lemari yg indah itu dan menawarnya 200 dollar. Lelaki itu ragu-ragu. Si wanita menaikkan tawarannya menjadi 250 dollar. Lelaki itupun setuju dan mengembalikan gerobaknya.

Saat sampai di pintu desa, dia ingin memastikan uangnya. Ia merogoh sakunya dan menghitung lembaran bernilai 250 dollar. Tiba-tiba seorang perampok keluar dari semak-semak, mengacungkan belati, merampas uang itu, lalu kabur.

Istrinya kebetulan melihat dan berlari mendekati suaminya seraya bertanya, “Apa yg terjadi? Engkau baik saja kan? Apa yg diambil oleh perampok tadi?”

Lelaki itu mengangkat bahunya dan berkata, “Oh, bukan apa-apa. Hanya sebuah koin penyok yang kutemukan tadi pagi”.

Demikianlah Tuhan mengatur hak-hak kita.... Bila kita sadar kita tak pernah benar2 memiliki apapun, kenapa saat kehilangan kita harus tenggelam dalam kepedihan yang berlebihan? Bersyukurlah.

Salam Rahayu,
Bali-10102011

Universitas Kehidupan

Salam Kasih

by I Wayan Sudarma on Sunday, November 13, 2011 at 6:45pm


Ketika usahamu dinilai ...Tidak penting, maka saat itu kau sedang belajar tentang: KEIKHLASAN
Ketika hatimu ...terluka sangat dalam, maka saat itu kau sedang belajar tentang: МEMAAFKAN
Ketika kau harus Lelah & kecewa, maka saat itu kau sedang belajar tentang: KESUNGGUHAN
Ketika kau merasa ...sepi & sendiri, maka saat itu kau sedang belajar tentang: KETANGGUHAN

Ketika kau harus .. membayar biaya yang sebenarnya tidak perlu engkau tanggung, maka saat itu kau sedang belajar tentang: KEMURAHAN HATI


Sahabat.....
Tetap semangat..
Tetap sabar...
Tetap tersenyum...
Terus belajar...!

Karena kau sedang menimba ilmu di universitas ..KEHIDUPAN

Dan....Engkau berada di tempatmu yang sekarang, bukan karena KEBETULAN :)

Rahayu, Bali-13112011

Kemurnian, Kesabaran, Ketekunan

Salam Kasih

by I Wayan Sudarma, on Friday, November 11, 2011 at 6:22am

Seorang peminat kehidupan spiritual pergi menghadap seorang bijaksana dan mohon agar diberi mantra. Orang bijaksana itu berkata bahwa ia hanya akan memberikan mantra jika murid tersebut mau melayaninya selama dua belas tahun dan melaksanakan semua perintahnya. Murid itu setuju. Ia melayani gurunya dengan penuh bhakti selama dua belas tahun. Pada akhir waktu yang dijanjikan, orang bijaksana itu merasa bahwa akhir hayatnya telah mendekat. Ia menyuruh murid tersebut mengambil daun lontar. Ia akan menuliskan mantranya pada daun itu sebelum meninggal. Murid tersebut pergi mencari daun lontar, tetapi sebelum ia pulang, sang guru meninggal. Ketika ditanyakan kepada seorang anak laki-laki yang berada di sana, diketahuinya bahwa sebelum meninggal, orang bijaksana itu menuliskan sesuatu di atas pasir. seorang wanita mengutip tulisan itu, lalu menghapusnya. Murid tersebut mencari wanita itu, yang memiliki beberapa ekor keledai.


Diketahuinya dari wanita itu bahwa kutipan tersebut dituliskan pada gulungan daun lontar yang dikenakan pada cuping telinganya. Ketika wanita itu mengetahui dari sang pemuda bahwa tulisan di atas pasir yang dikutipnya adalah mantra untuk pemuda tersebut, dan untuk mantra itu ia telah melayani gurunya dengan setia selama dua belas tahun, wanita itu berkata bahwa ia mau memberikan daun lontar tersebut kepadanya jika pemuda itu mau mengabdinya dengan patuh selama dua belas tahun. Pemuda ini, yang bertekad untuk mendapatkan mantra tersebut dengan cara apapun, setuju untuk mengabdinya. Anak muda ini memelihara keledai dan melayani wanita tersebut selama bertahun-tahun. Ia hidup dari makanan yang diberikan wanita itu.
Suatu hari ia tidak diberi makan, maka iapun pergi berkeliling untuk mencari makan. Pada waktu itu diketahuinya bahwa Raja di kawasan tersebut sudah lama memberi makan orang-orang miskin dan mungkin ia bisa mendapat makanan jika ia pergi ke tempat pembagian makanan itu. Dalam perjalanan ke sana diketahuinya bahwa raja telah menghentikan pemberian makanan mulai hari itu karena kegiatan tersebut tidak memberikan hasil yang diharapkannya. Raja mulai memberikan makan orang-orang miskin setelah mendapat nasehat dari gurunya. Sang guru memberitahu bahwa Raja akan dikarunia seorang anak laki-laki jika ada orang yang benar-benar saleh memakan makanan yang disajikan untuk orang miskin. Sebuah genta dipasang di Istana. jika genta itu berbunyi dengan sendirinya, hal itu merupakan tanda bahwa seseorang yang saleh telah memakan makanan pemberian Raja. Karena pemberian makanan tersebut telah berlangsung lama dan genta itu tidak berbunyi, Raja memutuskan untuk menghentikan pemeberian makanan tersebut.

Pada hari itulah pemuda tersebut datang ke tempat pemberian makanan. Ketika diketahuinya bahwa semua panci yang digunakan untuk memasak makanan tersebut telah dibawa ke sungai untuk dicuci, pemuda tersebut bergegas pergi ke tepi sungai untuk mencari sisa-sisa makanan yang masih tertinggal dia kuali. Ia menemukan sedikit rempah di sana dan mulai memakannya.

Pada saat itu juga genta di istana mulai berdentang. Raja terkejut mendengar dentang genta dan segera mengirim utusan untuk mencari siapa yang memakan makanan hari itu yang menyebabkan genta berdentang. Setelah diselidiki, utusan Raja menemukan pemuda itu di sungai dan membawanya ke hadapan Raja. Raja amat gembira melihat pemuda tersebut karena merasa bahwa beliau akan segera dikarunia seorang putra. Raja menawarkan akan memberiakn separoh kerajaannya kepada pemuda tersebut dan mengundangnya tinggal di istana. Pemuda ini menceritakan semua kisahnya kepada raja dan berkata bahwa ia tidak tertarik pada kerajaan ataupun yang lainnya, tetapi hanya menghendaki mantra dari gurunya yang sekarang disimpan wanita pemilik keledai tersebut. Pemuda itu mendesak agar subang daun lontar yang dikenakan wanita itu bisa didapat tanpa paksaan.

Raja mengutus orang untuk mencari wanita tersebut dan membawanya ke hadapan beliau. Ketika mengetahui bahwa wanita itu seorang akrobat yang dapat melakukan permaianan di atas tali, Raja menyuruhnya memperlihatkan keahliannya di hadapan Ratu yang sekarang sedang hamil. Pada waktu wanita itu sedang menari di atas tali, Raja bertanya apakah ia dapat menangkap sepasang subang berlian yang beliau lemparkan kearahnya, dan mengenakannya sambil menari di atas tali. Wanita itu segera menyetujuinya. Raja melemparkan subang berlian berkilauan ke arahnya. Setelah menangkap subang itu, wanita tersebut melepas subang daun lontar dari telinganya, melemparkannya ke bawah, dan menggantinya dengan subang berlian. ketika subang daun lontar itu jatuh, pemuda itu segera berlari menangkapnya. Dengan penuh hasrat dibacanya pesan yang tertulis di situ. Segera setelah membaca mantra tersebut, pemuda itu mendapat penerangan dan moksa pada saat itu juga.

Seorang peminat kehidupan spiritual harus memiliki kebulatan tekad semacam itu dan siap melakukan pengorbanan apapun untuk mencapai tujuannya.

Disarikan dari: China Katha IV
Salam Rahayu

TEOLOGI PŪJĀSTAVA (Mantram Pandita Hindu Di Bali)

Oleh: I Wayan Sudarma

Om Swastyastu

Sarasvatī namas tubhyaṁ varade Kāma-rūpiṇi,
siddhārambhaṁ kariśyāmi, siddhir bhavatu me sadā

Sarasvatīstava 1
Om Sang Hyang Sarasvatī, sembah kehadapan-Mu,
Yang melimpahkan anugrah, Yang mengubah wujud-Mu atas kemauan
Hamba akan memulai suatu usaha semoga berhasil,
Curahkan keberhasilan selalu terjadi pada hamba

Pendahuluan
Seorang pandita atau pamangku, demikian pula setiap pemuka umat, dan mereka yang terpelajar hendaknya memahami teologi (Brahmavidyā) dengan baik, sebab dengan pemahaman yang baik akan memudahkan melakukan pemujaan dengan penghayatanya yang mantap akan menumbuhkan ‘śraddhā dan ‘bhakti’ kepada Sang Hyang Widhi, Para Dewa, dan Roh Suci Leluhur. Peningkatan pemahaman terhadap teologi Hindu sekaligus juga mencakup teologi Pūjāstava, yakni mantram-mantram yang digunakan oleh pandita maupun pinandita atau pamangku perlu diusahakan terus menerus sehingga dalam mempersembahkan sesuatu tepat sasaran.

Pemahaman terhadap teologi Hindu hendaknya juga diikuti dengan upaya untuk menyucikan diri pribadi sebagai sarana untuk merealisasikan pemahaman dan penghayatannya itu. Penyucian yang mantap akan membuka atau memberi landasan yang kokoh dalam usaha menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi, Para Dewa dan Leluhur. Usaha tersebut merupakan Yoga, sebab Yoga tidak akan pernah dapat dilaksanakan apabila tidak dilandasai dengan kesuician diri, disiplin melakukan tapa-brata dan meningkatkan pemahaman terhadap ajaran agama. Tulisan singkat ini mengusahakan untuk mengetengahkan teologi Pūjāstava, yang merupakan himpunan dari para pandita Hindu di Bali. Sumber pengkajian tulisan ini adalah buku karya T. Goudriaan dan C. Hooykaas ‘Stuti and Stava (Bauddha, Śaiva, and Vaiṣṇava) of Balinese Brahman Priests’ (1971).


Pengertian Pūjā, Stuti, Stava, Stotra, dan Sêhê
Kata pūjā berasal dari urat kata pūj yang berarti menghormat, memuja, atau memuji. Kata pūjā berarti menghormati, utamanya Tuhan Yang Maha Esa, Para Dewa, dan Roh Suci Leluhur. Kata pūjā di atas menjadi kata puja di Indonesia yang artinya tidak jauh berbeda dengan kata asalnya, yakni Bahasa Sanskerta. Selanjutnya kata stuti atau stava berasal dari urat kata yang sama, yakni stu yang artinya juga sama dengan kata puja dalam Bahasa Indonesia. Di Indonesia terjadi perubahan kata karena kaedah bahasa yang berbeda. Orang Indonesia tidak bisa menyebutkan stava atau stuti (dua konsonan rangkap di depan) maka kata-kata tersebut berubah menjadi astava (astawa), Astuti, sedang kata sthāna menjadi istana dalam Bahasa Indonesia atau astana dalam Bahasa Jawa. Dengan demikian kata pūjā, stuti, stava, termasuk juga kata stotra mengandung arti yang sama yakni pemujaan. Dalam mempraktikkan pemujaan digunakan berbagai sarana, dan salah satu sarana yang terpenting adalah mantra. Oleh karena itu terbentuklah kata pūjāmantra. Oleh karena mantra disamakan dengan stuti, stava, atau stotra maka terbentuk pula kata pūjāstava, pūjāstuti, dan pūjāstotra, yakni memuja Tuhan Yang Maha Esa, Para Dewa, dan Roh Suci Leluhur dengan sarana mantra-mantra yang ditujukan untuk itu.

Selanjutnya adalah kata sêhê. Kata ini adalah kata Bahasa Bali. Di masa yang silam mantra-mantra dalam Bahasa Sanskerta diterjemahkan ke dalam Bahasa Bali dengan maksud memudahkan pemahaman serta memantapkan pemujaan kepada Sang Hyang Widhi, Para Dewa, dan Roh Suci Leluhur. Hampir di seluruh daerah termasuk di India juga mantra-mantra berbahasa Sanskerta itu diterjemahkan ke dalam bahasa lokal. Sêhê di Jawa disebut ujug-ujug merupakan sarana doa untuk mempersembahkan upacara yajña. Dalam pelaksanaan upacara yajña di Bali, umumnya para pandita menggunakan pūjāmantra atau pūjāstava, yakni menggunakan mantra-mantra berbahasa Sanskerta, sedangkan para pamangku menggunakan sêhê dalam Bahasa Bali, yakni doa atau mantra yang bersumber pada lontar Kusumadewa dan Sangkul Putih (Sang Akemul Putih) yang disebut sebagai pegangan (agem-ageman) pamangku.

Pengelompokan Īṣṭadevatāpūjā
Īṣṭadevatāpūjā atau Īṣṭadevatāmantra adalah mantra untuk devatā (Dewa) tertentu yang digunakan juga pada upacara tertentu, misalnya pada hari Sarasvatīpūjā, yakni hari untuk memuja Dewi Sarasvatī yang jatuh pada hari Sabtu Umanis Watugunung, maka mantra yang digunakan dalam upacara pemujaan kepada-Nya adalah mantra Sarasvatīstava atau Sarasvatipūjā. Demikian pula pada hari Śivarātri, yakni pemujaan kepada Dewa Śiva yang jatuh pada hari Purwanining Tilem Kapitu, maka mantra yang digunakan pada upacara tersebut adalah Śivastava atau Stuti Bhaṭāra Śiva. Bila pemujaan dilakukan di tepi pantai, maka mantra yang digunakan adalah Varuṇastava, dan seterusnya sesuai dengan devatā (Dewa) yang dimohon hadir pada saat itu.

Bila melihat perkembangan Agama Hindu di India maka Dewa-Dewa yang umum dipuja sebagai Īṣṭadevatā, yakni Dewa yang dimohon hadir dapat dikelompokan ke dalam 4 kelompok sesuai dengan paksa atau saṁpradaya yang berkembang di India, yaitu:
1). Śivastava yang digunakan untuk memuja Dewa Śiva oleh para penyembah Dewa Śiva yang disebut Śaivapakṣa, Śaivasaṁpradaya atau Śivāgama. Pengikut kelompok ini sangat dominan dan sangatbanyak jumlahnya hampir di seluruh India. Pada kelompok ini juga dipuja para Parivara Devatā, yakni keluarga Dewa Śiva, misalnya Dewi Parvatī atau Umā sebagai saktinya. Dewa Gaṇeśa dan Kumāra sebagai putranya, dan lain-lain, termasuk pula vahana atau kendaraan-Nya. Dewa Śiva juga dikenal memiliki seribu nama, oleh karena itu terdapat mantra Śivasahasranāma.

2). Viṣṇustava yang digunakan untuk memuja Dewa Viṣṇu oleh para penyembah Dewa Viṣṇu yang disebut Vaiṣṇavapakṣa, Vaiṣṇavasaṁpradaya atau Vaiṣṇavāgama yang jumlahnya di India juga hampir sama dengan pengikut Śaivapakṣa. Pada kelompok ini juga memuja para Parivara Devatā, yakni Śrī atau Lakṣmī, para avatara-Nya seperti Rāma, Kṛṣna, pengiringnya yang setia seperti Hanumān, dan kendaraannya seperti Garuda dan sebagainya. Juga terdapat mantra Viṣṇusahasranāma (seribu nama Viṣṇu.

3). Devīstava seperti Durgāstava untuk memuja Dewi Durgā oleh penyembah Dewi Durgā yang disebut pengikut Śakta atau Śaktī yang juga jumlahnya cukup banyak pengikutnya. Berbagai nama Durgā dipuja untuknya. Juga ditemukan Durgāsahasranāma yang lebih populer dengan Lalitāsahasranāma.

4). Brahmāstava digunakan untuk memuja Dewa Brahmā dan di India penyembah dewa ini sangat terbatas. Bahkan di seluruh India, hanya terdapat satu candi untuk memuja Dewa Brahmā terletak di Negara Bagian Maharasthra.

Dalam buku karya T. Goudriaan dan C. Hooykaas ‘Stuti and Stava (Bauddha, Śaiva, and Vaiṣṇava) of Balinese Brahman Priests’ (1971), kini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Penerbit Paramita Surabaya, 2004 ditemukan mantra sesuai dengan pengelompkan para Dewa dalam teologi Hindu, yakni Dewa-Dewa Trimūrti di samping Dewa-Dewa pada kitab suci Veda yang masih dipuja sampai saat ini. Mantra-mantra tersebut antara lain ditujuan kepada:
1) Dewa Brahmā atau Agni sebanyak 18 mantra (Goudriaan, et.al.1971:561, 562).
2) Dewa Viṣṇu sebanyak 17 mantra (Goudriaan, et.al.1971:572).
3) Dewa Śiva dalam bebeberapa jenis:
(1) Īśvara atau Maheśvara sebanyak 8 mantra (Goudriaan, et.al.1971:565).
(2) Maheśvara atau Īśvara sebanyak 38 mantra(Goudriaan, et.al.1971:567,568).
(3) Pasupati sebanyak 7 mantra (Goudriaan, et.al.1971:568).
(4) Rudra sebanyak 52 mantra (Goudriaan, et.al.1971:569,570).
(5) Śiva sebanyak 27 mantra (Goudriaan, et.al.1971:570).
(6) Mahādeva sebanyak 10 mantra (Goudriaan, et.al.1971:566-567).
(7) Gaṇeśa/Gaṇapati sebanyak 5 mantra (Goudriaan, et.al.1971:564).
4) Dewi Durgā sebanyak 11 mantra(Goudriaan, et.al.1971:564).
5) Sūrya atau Āditya sebanyak 43 mantra (Goudriaan, et.al.1971:561, 570, 571).
6) Yama sebanyak 5 mantra (Goudriaan, et.al.1971:572).
7) Ākāśa sebanyak 27 mantra (Goudriaan, et.al.1971:561, 562).
8) Bhairava sebanyak 25 mantra (Goudriaan, et.al.1971:562).
9) Brahmā sebanyak 13 mantra (Goudriaan, et.al.1971:563).
10) Buddha sebanyak 14 mantra (Goudriaan, et.al.1971:563).
11) Candra atau Soma sebanyak 12 mantra (Goudriaan, et.al.1971:563).
12) Devī Śrī/Durgā sebanyak 10 mantra (Goudriaan, et.al.1971:564).
13) Dhyāna sebanyak 9 mantra (Goudriaan, et.al.1971:564).
14) Gaṅgā sebanyak 11 mantra (Goudriaan, et.al.1971:565).
15) Gāyatrī sebanyak 21 mantra (Goudriaan, et.al.1971:565).
16) Kāla sebanyak 8 mantra (Goudriaan, et.al.1971:565-566).
17) Kāma sebanyak 4 mantra (Goudriaan, et.al.1971:566).
18) Kavaca/Pañjara 9 mantra (Goudriaan, et.al.1971:566).
19) Kubera sebanyak 5 mantra(Goudriaan, et.al.1971:566).
20) Liṅga sebanyak 11 mantra(Goudriaan, et.al.1971:566).
21) Pitṛ atau Pitrastava sebanyak 16 mantra (Goudriaan, et.al.1971:568).
22) Pṛthivī sebanyak 12 mantra (Goudriaan, et.al.1971:568).
23) Smara atau Kāma 13 mantra (Goudriaan, et.al.1971:570).
24) Varuṇa/Sāgara/Samudra sebanyak 9 mantra (Goudriaan, et.al.1971:571).
25) Vāsuki/Anantabhoga sebanyak 7 mantra (Goudriaan, et.al.1971:571).
26) Yama-Rāja sebanyak 5 mantra(Goudriaan, et.al.1971:572).

Berdasarkan jumlah mantra tersebut di atas, di samping mantra-mantra yang lepas atau tidak berkaitan langsung dengan devatā tertentu seperti di atas, menunjukkan bahwa mantra pemujaan kepada Dewa Śiva sangat dominan menonjol melebih mantra-mantra kepada Īṣṭadevatā lainnya.

Beberapa Pūjāstava & Makna Simbolis Penggambaran Devatānya
Berikut beberapa mantra yang sering digunakan dalam kegiatan sehari-hari.

4.1 Kramaning Sembah
1). Sembah Puyung (cakupan tangan kosong): Om ātma tattvātma Śuddha māṁ svāhā. - Om ātma, ātmanya kenyataan ini, sucikan hamba)

2). Sūryastava untuk mohon Kesaksian: Oṁ Ādityasya paraṁ jyoti, rakta-teja namo ’stu te, Śveta-paṅkaja-mādhyastha, Bhāskarāya namo ’stu te. - Om Hyang Widhi, sebagai kemegahan yang Agung putra Aditi,Ya Dikau dengan kilauan yang merah, sembah kehadapan-Mu;Dikau yang berdiri di tengah sekuntum teratai putih,sembah kehadapan-Mu, penyebar kesemarakan!

Sūrya adalah dewa matahari, ia dipuja sebagai wajah Agni di angkasa (Ṛgveda X. 7. 3), matanya Mitra dan Varuṇa, sebagai dewanya mata atau maha melihat, sebagai pengukur hari (Ṛgveda 1. 50.7), sebagai pencipta segalanya (Ṛgveda 1. 170. 4), sebagai planet angkasa (Ṛgveda X. 177. 1), sebagai roda (Ṛgveda 1. 175.4), pemusnah kegelapan, penyembuh orang sakit dan sebagai pandita (Purohita) bagi para dewa (Ṛgveda VIII. 90.12). Kata Svar (Svah) sebagai asal kata Sūrya. Ia juga disebut Divākara (Atharvaveda IV. 10. 5. Ia digambarkan sebagai laki-laki berkulit hitam kemerah-merahan, memiliki tiga mata dan bertangan empat, dua tangannya memegang bunga teratai, dan dua yang lainnya dalam sikap memberi anugrah. Ia duduk di atas bunga padma (teratai merah) dan dari seluruh tubuhnya memancar cahaya. Ia dipuja setiap hari oleh para rohaniwan melalui pembacaan Gāyatrī mantram.

Dalam Viṣṇu Purāṇa dinyatakan mempunyai istri bemama Sangnā, saudaranya ViŚvākarma, melahirkan tiga orang putra. Di dalam Bhaviṣya Purāṇa, ia disebut sebagai dewa tertinggi, sedang dalam Brahmā Purāṇa ia disebut memiliki 12 nama, sesuai dengan nama 12 Āditya (Dvadaśāditya). Kusir kreta dewa Sūrya benama Aruṇa, keretanya ditarik dengan 7 ekor kuda (mengingatkan warna cahaya yang dibiaskan) sedang dewi Candrā keretanya ditarik oleh 12 ekor kuda (mengingatkan 12 bulan setahun).

3). Menyembah Tuhan Yang Maha Esa sebagai Īṣṭadedvatā pada hari dan tempat persembahyangan tertentu (lihat mantram-mantram berikutnya): Oṁ nama deva adhisthanāya sarva vyāpi vai Śivāya, Padmāsana ekapratiṣṭhāya ardhanareśvaryai namo’ namaḥ. - (O Tuhan YME yang bersemayam pada tempat yang sangat luhur, kepada Sang Hyang Śiva yang sesungguhnya bersthana di padmāsana, sthana dari bunga teratai, kepada Ardhanarī (Tuhan YME) yang kami sembah).

4). Memohon anugrah-Nya (Tuhan YME sebagai pemberi anugrah: Om anugraha manohara deva dattānugrahaka, arcaṇam sarva pūjanaṁ namaḥ sarvānugrahaka, Deva-devī mahāśiddhi yajñāṅga nirmalātmaka, Lakṣmī Śiddhiśca dīrghāyuḥ nirvighna sukha vṛddhiṣca.- (Om Tuhan YME yang menarik hati pemberi anugrah, anugrah devatā yang maha agung, pujaan semua pujaan, hormat bakti hamba kepada Tuhan YME, sebagai pemberi anugrah)

5).Sembah penutup (cakupan tangan kosong): Oṁ deva s¬ūkṣma paramācintyāya namaḥ svāha. -(Om Hormat kepada devatā yang tidak terpikirkan, yang maha tinggi dan gaib.


4.2 Pemujaan kepada Īṣṭadedvatā tertentu pada pura tertentu.

1).Sembahyang di Pura Pamarajan Kamimitan.

Oṁ brahmā viṣṇu Īśvara devaṁ tripuruṣa Śuddhātmakaṁ
Tri-deva tri-mūrti-lokaṁ sarva vighna vinaŚanam.


(OM Hyang Widhi dalam wujud-Mu sebagai Brahmā, Viṣṇu, Īśvara. Tri Puruṣa Mahasuci, Trideva adalah Tri Mūrti, semoga hamba terbebas dari segala bencana)

2).Sembahyang di Pura Desa.

Om Īśānaḥ sarva-vidyāṇam Īśvaraḥ sarva-bhūtānām
Brahmaṇo ’dhi-patir Brahmā Śivo astu Sadāśiva

(Īśana raja semua pengetahuan, Penguasa atas semua mahluk,[Yang adalah] Brahmā, Raja dari para Brāhmaṇa, menyenangkan,Ya Sang Hyang Śiva yang Kekal !

3).Sembahyang di Pura Puseh

Oṁ Giri-mūrti mahā-vīryaṁ, mādeva-pratiṣṭhā liṅgam
sarva-deva-praṇamyanaṁ, sarva-jagat-pratiṣṭhanam.

(Om Hyang Widhi dalam wujud-Mu sebagai Dewa di Gunung yang suci dan jaya. Lingga adalah sthana Sang Hyang Mahādeva; semua devatā mumuja-Mu, merupakan yang menganugrahkan kepada semua para dewa, dasar-nya seluruh jagat raya).

4). Sembahyang di Pura Dalem atau tempat lainnya untuk memuja Dewi Durgā.

Oṁ Catur-divyā mahā-Śakti, catur-āśrame Bhaṭārī
Śiva-jagat-pati-devī, Durgā-ma-Śarīra-devī.

(Om Yang suci yang berada di empat tingkatan, yang berkekuatan besar, Devī, (untuk disembah) di dalam empat tingkat kehidupan; Śakti Sang Hyang Śiva, Penguasa Dunia, Devī Yang terwujud sebagai dewi Durgā).
Dalam mitologi Hindu Durgā dikenal sebagai dewi yang menyeramkan yang dianggap sebagai penjelmaan Umā atau Pārvatī dalam bentuk krodha. Dalam bentuknya yang menyeramkan Durgā dianggap sebagai manifestasi dari Kali. Di India pemujaan yang dilakukan bagi Durgā umumnya bertujuan untuk mendapatkan kemenangan dan keselamatan.

Durgā tercipta akibat terkumpulnya hawa amarah dan kemurkaan dewa-dewa, dewa Śiva dan Viṣṇu serta para dewa lainnya. Hal ini disebabkan karena ketika terjadi perang yang berlangsung ratusan tahun lamanya, antara para dewa melawan bala tentara asura. Indra adalah raja dari para dewa, sedangkan Mahisa merupakan kepala para asura. Kemudian Mahisa menjadi raja. Selanjutnya dewa-dewa yang kalah tadi mengangkat dewa Brahmā sebagai pemimpin, lalu bersama-sama menghadap Śiva dan Viṣṇu. Setelah mereka mendengar laporan para dewa itu maka murkalah keduanya. Akibat kemurkaan mereka itu, keluarlah suatu kekuatan yang besar dari Śiva dan Viṣṇu serta para dewa lainnya, yang kemudian bersatu sehingga terciptalah seorang wanita cantik (Rao, 1968:237). Dalam mythosnya itu diceritakan bahwa muka wanita itu berbentuk dari tenāga Śiva. Rambut dari tenāga Yama.

Tangan-tangannya timbul dari tenāga Viṣṇu. Dada terbentuk dari tenāga Candra. Perutnya dari Sūrya. Jari berasal dari Vasu. Giginya tumbuh karena kekuatan Prajāpati. Agni menyebabkan mata ketiga. Bulu mata berasal dari kekuatan fajar. Sedangkan Vayu dengan kekuatannya itu menimbulkan telinga (Knebel, 1906:237). Di situ disebutkan juga tentang pergulatan dengan Mahisasura bernama Durgāma, anak Ruru. Dia dapat memaksakan kehendaknya supaya dewa-dewa tinggal di hutan, sedangkan istri-istri Brāhmana diharuskan mempersembahkan mantra-mantra yang isinya memuja-muja dia. Brāhmana-Brāhmana dilarang mengadakan upacara keagamaan membaca kitab-kitab Weda dan lain-lain (Dowson, 1928, 860).

5). Sembahyang di Pura Prajāpati

Oṁ Brahmā Prajā-patiḥ Śreṣṭhaḥ, Svayambhūr Varado Guruḥ
Padma-yoniś Catur-vaktro, Brahmā sakalam ucyate.

(Dewa Brahmā, dewa Semua Mahluk, Dia Yang-Paling-Baik,Dia Yang-dilahirkan-secara-spontan (dengan sendirinya), Pemberi anugerah, Sang Hyang Guru; Dia Yang-dilahirkan dari Bunga-Teratai, Yang berwajah empat, demikianlah Brahmā Yang-Lengkap dan nyata disebutkan).

Pada mantra di atas, Dewa Brahmā disebut pencipta jagat raya (Prajāpati), Sva-yambhu (yang lahir dengan sendirinya). Disebut sebagai Guru pemberi anugrah, yang lahir dari bunga teratai dan memiliki wajah empat (empat arah). Dalam pengarcaanya Brahmā digambarkan dalam sikap berdiri atau duduk di atas padmāsana atau hamsāsana sebagai vāhananya. Brahmā disebut sebagai pencipta keindahan, seni usik, tari dan kerajinan, dan berbagai cabang seni lainnya. Brahmā dengan “catur mukha” (memiliki empat wajah) melambangkan penguasa alam semesta (ke empat penjuru alam semesta di bawah kuasa-Nya). “Catubhuja” (memiliki empat tangan) sebagai pencipta dan penguasa kitab suci (Caturveda). Angsa dewa Brahmā melambangkan penguasaan terhadap Vivekajñāna (yakni kemampuan untuk membedakan yang baik dan buruk, salah dan benar). Disebutkan pula bahwa Brahmā tinggal di hutan Tulasi (Brahmā-Vṛṇda), yang dimaksud tiada lain adalah seluruh alam semesta ini sebagai tempat tinggalnya (Danielou, 1964: 237).

6). Pemujaan kepada Dewa Śiva melalui bangunan Padmāsana

Ākāśaṁ nirmalaṁ Śūnyaṁ, guru-deva vyomãntaram
Śiva-nirvāṇa-vīryaṇaṁ, rekhā Oṁkāra vijayam.
(Penguasa) langit, tak-ternoda dan kosong,Sang Hyang Guru yang suci, di bagian-dalam langit;sorga Sang Hyang Śiva yang tertinggi, berwatak kepahlawanan [dilambangkan dengan] suku-kata Oṁ, yang jaya).

Sang Hyang Śiva digambarkan sebagai penguasa langit yang suci dan kosong, disebut juga sebagai Bhaṭāra Guru. Berdasarkan uraian tersebut dalam gambar (Citradevatā) Sang Hyang Śiva tubuhnya agak kebiru-biruan (warna langit) dan digambarkan juga sebagai Prāṇava atau Omkara.

7). Sembahyang di pura Sagara (Samudra)

Nāgëndra krūra-mūrtiṇaṁ, gajëndra matsya-vaktraṇam
Bruṇa-deva-ma-sārīram, sarva-iagat-Śuddhātmakam.

(Om Hyang Widhi, wujud-Mu menakutkan sebagai raja para ular,Raja para Gajah dengan moncong ikan; yang berwujud sebagai dewa Vāruṇa,Yang Mahasuci, hamba memuja-Mu).

8). Sembahyang di Pura Ulundanu, Ulusui, atau mata air.

Śrī dhana-devīkā ramyā, sarva-rūpavatī tathā
sarva-jñāna-maṇiś cāiva, Śrī Śrī-devī namo ’stu te.

(Om Hyang Widhi sebagai Devī Śrī, Devī kekayaan yang menarik,Yang juga memiliki seluruh keindahan dan kecantikan,Ia adalah benih bagaikan sebutir mutiara dari pengetahuan;Ya Devī Śrī Yang-Patut-Dimuliakan, sembah kehadapanMu)

9). Sembahyang kepada Sang Hyang Sarasvatī

Sarasvatī namas tubhyaṁ varade Kāma-rūpiṇi,
vidyārambhaṁ kariṣyāmi, siddhir bhavatu me sadā

(Om Sang Hyang Sarasvatī, sembah kehadapan-Mu,Yang melimpahkan anugrah, Yang mengubah wujud-Mu atas kemauan, Hamba akan memulai suatu usaha semoga berhasil,Curahkan keberhasilan selalu terjadi pada hamba).

10).Sembahyang kepada Mahārṣi Agung Pemuka Para Pandita (Dvijendra)

Dvijëndra-pūrvaṇaṁ Śivaṁ, Brahmāṇaṁ pūrva-tiṣṭhaṇam
sarva-deva-ma-śarīraṁ, Sūrya-niśākaraṁ devam.

(Om Hyang Widhi. Yang Pertama, Raja dari Yang-Dilahirkan-Dua-Kali, Śiva, Dia adalah Brahmā, yang berdiri di depan; yang berwujud di dalam semua para dewa, Sang Hyang Śiva adalah dewa dari Sūrya candra).

11).Sembahyang kepada Sang Hyang Gaṇa (GaneŚa)

Oṁ Gaṇa-pati rṣi-putraṁ, bhuktyantu veda-tarpaṇam
bhuktyantu jagat-trilokaṁ, Śuddha-pūrṇa-Śarīriṇam.

(Om Hyang Widhi, Rajanya para bhakta, Putranya Åṣi Agung (Sang Hyang Śiva), Menikmati persembahan suci; alam semesta dan jagat raya akan berbahagia,dengan perwujudan suci dan sempurna).

12). Śivastava, mantra memuja Sang Hyang Śiva, seperti pada hari Śivarātri dan lain-
lain.

Oṁ Namaḥ Śivāya Śarvāya, Deva-devāya vai namaḥ
Rudrāya BhuvanëŚāya, Śiva-rūpāya vai namaḥ.

(Sembah kepada Sang Hyang Śiva, kepada sang Sarva, sembah kepada Devatā para dewa; kepada Dewa Rudra Penguasa Dunia, sembah kepadaNya yang berpenampilan yang penuh kebajikan).

Dalam mantra di atas Sang Hyang Śiva sebagai Sarva atau segalanya, sebagai Rudra, Penguasa Kebajikan. Kata Śiva berarti: yang memberikan keberuntungan (kerahayuan), yang baik hati, ramah, suka memaafkan, menyenangkan, memberi banyak harapan, yang tenang, membahagiakan dan sejenisnya (Monier, 1990:1074). Sang Hyang Śiva di dalam menggerakkan hukum kemahakuasaan-Nya didukung oleh Śakti-Nya Durgā atau Pārvatī. Hyang Śiva adalah Tuhan Yang Maha Esa sebagai pelebur kembali (aspek pralaya atau pralina dari alam semesta dan segala isinya). Śiva yang sangat ditakuti disebut Rudra (yang suaranya menggelegar dan menakutkan). Śiva yang belum kena pengaruh Maya (berbagai sifat seperti Guna, Śakti dan Svabhava) disebut Parama Śiva, dalam keadaan ini, disebut juga Acintyarūpa atau Niskala dan Tidak berwujud (Impersonal God).

Berikut adalah nama-nama Śiva yang dikutip dari kitab Mahābhārata oleh Amārasingh dan dimuat dalam kitabnya Amarakoṣa, yang merupakan nama lain dari Śiva, yaitu: Aja, Ambhikāpati, Ananggānggahara. Ananta, Andhakaghāti, Andhakanipātī, Atharva, Bahurūpa, Bhagaghna, Bhava, Bhavaghna, Bhīma, Śangkara, Śarva, Śitikaṇṭha, Śmasānavāī, Śrīkaṇṭha, Śukra, Śūlabhrt, Śūladhara, Śūladhrk, Śūlahasta, Śūlāngka, Śūlapāṇi, Śūlī, Dakṣkratuhara, Dhanvī, Dhruva, Dhūrjati, Digvāsas, Divyagovrṣabhadhvaja, Ekākṣa, Gaṇādhyakṣa, Gaṇesa, Gaurīsa, Gaurīhrdayavallabha, Girīsa, Govrṣāngka, Govrṣbhadhvaja, Govrṣottamavāhana, Hara, Haryakṣa, Jaṭadhara, Jaṭila, Jaṭī, Kāmāngganāsana, Kapālī, Kapardī, Khaṭvaògadhārī, Krttivāsas, Kumārapitā, Lalāṭākṣa, Lelihana, Mahādeva, Mahāgaṇapati, Mahāyogī, Mahesvara, Mahiṣaghna, Maakhaghna, Mīdhvān, Mrgavyādha, Munīndra, Nandiśvara, Nisācarapati, Nīlagrīva, Nīlakaṇṭha, Nīlalohita, Pasubhartā, Pasupati, Pinākadhrk, Pinākagoptā, Pinākahasta, Pinākapāṇi, Pināki, Pinggala, Prajāpati, Rudra, Rṣbhaketu, Śarva, Śarvayogesvaresvara, Sthāṇu, Trisūlahasta, Trisūlapāṇī, Trilocana, Trinayana, Trinetra, Tripuraghātī, Tripuraghna, Tripurahartā, Tripuramardana, Tripuranāsana, Tripurāntaka, Tripurāntakara, tripurārdana, Tryakṣa, Tryambaka, Ugra, Ugresa, Umāpati, Visalākṣa, Vilohita, Virūpākṣa, Vrṣabhadhvaja, Vrṣabhāngka, Vrṣbhavāhana, Vrṣabhaketana, Vrṣavāhana, Yāmya, Yati, Yogesvara, Śambhu, ĪŚa, MaheŚvara, Bhūtesa, Khaṇdhparasu, Mrda, Mrtyuñjaya, Pramathādhipa, Śrīkaṇṭha, Kapālabhrt, Vāmadeva, Krṣānureta, Sarvajña, hara, Smarahara, Bharga, Ganggādhara, Anatakaripu, Kratudhvaṁsī, VyomakeŚa, Airbudhnya, Aṣṭmūrti, Gajāri, Mahānaṭa (Vettam, 1989:723).

13). Viṣṇustava digunakan pada saat pemujaan kepada Dewa Viṣṇu di Pura Puseh, atau Ulunswi, mata air dan sebagainya.
Oṁ Namas te bhagavan Viṣṇo, namas te bhagavan Hare
namas te bhagavan Kåṣṇa, jagad-rakṣa namo ’stu te.

(Sembah kepadamu Sang Hyang Widhi dalam wujud-Mu sebagai Dewa Viṣṇu, sembah kepadamu, Dewa Hari; sembah kepadamu, Bhaṭṭāra Kåṣṇa, Pelindung Dunia, sembah kepada Dikau).

Manifestasi Tuhan Yang Maha Esa memelihara jagat raya dan segala isinya. Ia yang menghidupkan segalanya. Kata Viṣṇu berarti: pekerja, yang meresapi segalanya dan sejenisnya (Monier, 1990: 999). Kemahakuasaan Sang Hyang Viṣṇu dalam memelihara alam semesta beserta segala isinya didukung oleh Śakti-Nya yang bernama Śrī dan Lakṣmī.

Di dalam beberapa kesusastraan dikenal adanya bermacam-macam avatāra Viṣṇu, di antaranya yang terkenal ada sepuluh yang lebih dikenal dengan sebutan daŚāvatāra Viṣṇu seperti yang terdapat dalam kitab Vāraha Purāṇa. Sebaliknya dalam kitab Bhāgavata Purāṇa disebutkan sebanyak dua puluh dua avatāra (Ratnaesih, 1997: 27) Dalam seni arca Sang Hyang Viṣṇu digambarkan dalam sikap berdiri atau terlentang di atas ular nāga (ŚeŚa), bertangan empat membawa Cakram (cakram), Śaòka (terompet kerang), Padma (teratai merah) dan Daṇða (tongkat pemukul).

14). Ganggāstava, pemujaan kepada Dewi Gaògā untuk memohon air suci.

Oṁ Ganggā Sarasvatī Sindhu Vipāsā Kausikī nadī
Tīrtha-tīrthī Śuddhãmalā, nirrogā nirupadravā.

Oṁ Ganggā-devī mahā-punyam, namas te Visva-bhamini
Yamunā parama-pūrṇa, namas te Paramësvari.

Om Apsu deva-pavitrāṇi, Gannggā-devī namo ’stu te
sarva-vighna-vināsanaṁ, toyena pariŚucyate.

Om Pañcãkṣaraṁ mahā-puṇyaṁ, pavitraṁ pāpa-nāsanam
pāpa-koṭi-sahasrāṇām, agādhaṁ bhavet sāgaram.

(Dewi Ganggā , dewi Sarasvatī dan Sindhū, Vipāsā dan Kausikī; Yamunā; Dia yang Agung dan terkenal, Sarayū dan mahā-nadī (adalah tujuh sungai suci tersebut).

(Devī Ganggā memiliki kebaikan yang Agung, sembah untuk Dikau Yang bersinar pada semua sudut; Yamunā yang berkelimpahan tertinggi).

(Ya Dikau Yang menyucikan di dalam air (perairan) Mu, Devī Ganggā, sembah kehadapan Dikau; Dikau menghancurkan semua rintangan, dengan airMu orang disucikan).

(Mantra dari lima buah sukukata, Dia Yang Berjasa besar, penyuci yang menghancurkan kejahatan;[tanpa Itu] akan terdapat sebuah samudera yang tak bisa dilintasi, dari ribuan jutaan perbuatan-perbuatan yang jahat).

Catatan: Umat Hindu yang pernah melakukan Tīrthayātra ke India Utara dan sempat menyucikan diri di Sungai Gaògā sangat merasakan kesucian dan manfaat air suci tersebut.

Simpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas teologi (Brahmavidyā) tentang Pūjāstava tidak dapat dilepaskan dengan teologi Hindu pada umumnya. Untuk itu penguasaan terhadap mantra-mantra Veda maupun pūjā, stuti, stava, stotra atau sêhê sangat mendukung pemahaman terhadap teologi tersebut.

Dalam mantra-mantra pemujaan di Bali ditemukan cukup banyak mantra-mantra yang ditujukan kepada Para Dewa manifestasi-Nya, demikian pula penggambaran masing-masing Dewa yang akan dimohon hadir dalam suatu upacara sangat penting untuk dipahami. Semuanya akan berhasil bila didukung pula oleh kesucian diri seseorang.

Om Santih Santih Santih Om

Daftar Pustaka

Danielou, Allain. 1964. Hindu Polytheism. London, United Kingdom: Routledge & Kegan Paul.
Dowson, John, 1987. A Classical Dictionary of Hindu Mythology and Religion, Geography, History, and Literature. New Delhi, India: Rupa & Co.
Goudriaan T. and C. Hooykaas. 1971. Stuti and Stava (Bauddha, Śaiva, and Vaiṣṇava) of Balinese Brahman Priests.– Amsterdam, London - North-Holland Publishing Company.
Monier, Sir Williams M.M. 1993. Sanskrit-English Dictionary. New Delhi, India: Motilal Banarsidass.
Rao, T. A. Gopinatha, 1968. Elements of Hindu Iconography, 2 Volummes, New Delhi, India: Motilal Banarsidass.
Mani, Vettam. 1989. Puranic Encylopaedia. New Delhi, India: Motilal Banarsidass.

Bali, 12 Desember 2009

SARASVATĪPŪJĀ PENDORONG SEMANGAT BELAJAR DAN CINTA ILMU PENGETAHUAN

Salam Kasih

Kavyaṁ vyākaraṇaṁ tarkam,
Veda śāstraṁ Puraṇakam.
Kalpaśiddhīni tantrāni,
Tvat prasadat samārabhet.
(Atas karunia Hyang Sarasvatī umat manusia mempelajari kitab suci Veda dan sastra, syair, tata-bahasa, logika, berbagai disiplin dan sejarah) Sarasvatīpūjā, 5.


1. Sarasvatī, dewi ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan
Di Indonesia, setiap hari Sabtu Umanis Wuku Watugunung, hari terakhir dari Wuku terakhir dan hari Minggu Pahing Wuku Sinta, hari pertama dari Wuku pertama merupakan hari pemujaan kehadapan dewi Sarasvatī, dewi ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan. Bagi umat Hindu, memuja berbagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang jumlahnya tidak terbatas itu adalah merupakan sarana untuk mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Di antara ribuan manifestasi atau Udbhava-Nya itu terdapat tiga manifestasi utama Sang Hyang Vidhi, Tuhan Yang Maha Esa, yakni Brahma, Viṣṇu dan Śiva sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur alam semesta dan segala isinya. Dalam sekala kecil, dalam setiap sel dari makhluk hidup terjadi proses pencipta, tumbuh dan terpelihara dan lebur dalam bentuk kematian. Kata Brahma dalam bahasa Sanskerta berarti: bertambah besar, meluap, mengembang dan sejenisnya. Brahma disebut Svayambhu, yang artinya tercipta dengan sendiri-Nya karena tidak ada yang menciptakan-Nya. Sakti Brahma adalah Sarasvatī yang artinya yang mengalir tiada hentinya, pencipta huruf, penganugrah ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan, yang menurunkan kitab suci Veda, pemberi inspirasi, pendorong semangat belajar dan sejenisnya. Brahma yang disebut juga Caturmukha dan Caturbhuja menunjukkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa menguasai seluruh alama semesta dengan kemahakuasaan(Cadu Śakti)-Nya yang sangat dahsyat. Kata Viṣṇu berarti: pekerja yang tekun, yang meresapoi segalanya, yang memelihara segala dan sejenisnya. Sakti Viṣṇu adalah Śrī dan Lakṣmī yang di Bali disebut Śrī Sādhanā dan Bhaṭārī Melanting. Kata Śrī berarti kebahagiaan, kemakmuran, keberuntungan, kekayaan, kebesaran, keagungan, kecantikan, kemuliaan dan sejenisnya dan Lakṣmī berarti kesejahtraan, kemakmuran, keberuntungan, kecantikan, keindahan, kenang-kenangan yang indah dan sejenis dengan itu. Sedang Sādhanā berarti merealisasikan, jadi Śrī Sādhanā dimaksudkan mewujudkan atau merealisasikan kesejahtraan dan kebahagiaan dalam diri, keluarga dan lingkungan masyarakat. Selanjutnya Śiva berarti: yang memberikan keberuntungan (kerahayuan), yang baik hati, yang ramah, suka memaafkan, menyenangkan, memberi banyak harapan, membahagiakan dan sejenisnya. Sakti Śiva adalah dewi Durgā dan Parvatī. Kata Durgā berarti yang sulit dilalui, yang sulit di atasi, dibendung dan yang tidak dapat ditentang. Segala kuasanya selalu terjadi, tidak pernah gagal dalam menjalankan missinya sedang Parvatī adalah dewi gunung yang juga bermakna menganugrahkan kemakmuran, sebab pada wilayah yang banyak terdapat gunung, di sanalah sungai-sungai mengalir dan pada wilayah-wilayah itu selalu merupakan daerah-daearh yang subur yang memberikan kemakmuran kepada umat manusia.
Berdasarkan tinjauan etimologis dan makna semantik nama-nama yang ditujukan kepada keagungan dan kemahakuasaan-Nya adalah hal-hal yang sangat didambakan oleh umat manusia. Demikian pula adalah merupakan kewajiban bagi umat manusia untuk mempersembahkan pūjā bhakti atas karunia yang telah dilimpahkan kepada umat-Nya itu. Bagi umat Hindu, perwujudan rasa syukur dan terima kasih yang tulus kepada-Nya dilakukan melalui pemujaan, mempersembahkan kesucian hatinya kepada-Nya melalui peringatan atau perayaan hari-hari besar agama, seperti halnya hari Sarasvatīpūjā yang kita rayakan bersama.


Kini timbul pertanyaan, mengapa hari Sarasvti jatuh pada pertemuan Wuku terakhir dan pertama dalam perhitungan kalender Bali-Jawa, apakah perayaan Sarasvatī di India juga jatuh pada hari yang sama, hari Sabtu Umanis Wuku Watugunung ? Sesuai dengan sejarah perkembangan agama Hindu di India dan di negara-negara lainnya. Kedatangan agama Hindu di daerah-daerah itu tidak mengubah atau menghapuskan pola budaya masyarakat setempat, justru mengangkat (mempermulia) unsur-unsur budaya-budaya setempat dengan memasukkan nilai-nilai ajaran agama Hindu di daerah yang memeluk agama Hindu yang dikenal dengan Sanatana Dharma, yakni ajaran yang beṛṣifat kekal abadi. Di India kita tidak mengenal sistem Wuku (Pawukon) seperti kalender Jawa-Bali (Nusantara) seperti yang kita waris kini. Oleh karena itu perayaan Sarasvatīpūjā di sana tidak bersamaan jatuhnya dengan perayaan Sarasvatīpūjā di Indonesia. Di India pemujaan kepada Hyang Sarasvatī umumnya dikaitkan dengan Durgāpūjā, Dīpavalī dan Rāmanavāmi, yang jatuhnya pada sekita awal bulan Nopember dan April setiap tahun. Dengan demikian, Sarasvatī juga dipūjā dua kali dalam setahun (tahun Masehi) seperti halnya di Indonesia. Mengapa Sarasvatīpūjā jatuh pada hari terakhir dan hari pertama dari tahun Wuku ? Rupanya hal ini dapat dijelaskan bahwa ketika agama Hindu masuk ke Indonesia, orang Nusantara (khususnya Jawa dan Bali) sudah mengenal sistem tahun yang dikenal dengan Wuku atau Pawukon itu. Demikianlah hari-hari pemujaan kepada Iṣṭadevatā-Iṣṭadevatā, yakni manifestasi-manifestasi Tuhan Yang Maha Esa tertentu yang sangat didambakan oleh umat manusia yakni pengetahuan, kesejahtraan, kemakmuran, keberuntungan, keselamatan dan sejenisnya yang terdapat di India dimasukkan dalam sistem kalender Wuku itu. Sebagai contoh, hari-hari pemujaan kepada Iṣṭadevatā-Iṣṭadevatā seperti pemujaan kepada Sarasvatī dijatuhkan pada hari Sabtu Umanis Watugunung dan Minggu Pahing Wuku Sinta, hari Ayuddhapūjā dijatuhkan pada Tumpek Landep, hari Śaṁkarapūjā dijatuhkan pada Tumpek Variga, Śrī Lakṣmīpūjā pada Senin Pon dan Selasa Wage Wuku Sinta, Gurupūjā (Parameṣṭiigurupūjā) pada hari Rabu Kliwon Sinta dan lain-lain.

2. Meningkatkan Semangat Belajar
Adalah sangat memperihatinkan bahwa semangat belajar khususnya semangat membaca buku sebagai dilansir oleh berbagai media massa adalah sangat lemah di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya, khususnya di Asia. Hal ini secara sederhana dapat dilihat dari jumlah penerbitan buku setiap tahunnya dan kebiasaan masyarakat untuk membaca buku sangat jarang kita temukan di tempat-tempat istirahat, di ruang tunggu rumah sakit atau praktek dokter, di taman-taman kota, di kereta api atau dalam perjalan dengan transfortasi lainnya. Gejala ini sebenarnya merupakan kendala dalam meningkatkan kecerdasan bangsa sebagai diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni: melindungi tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahtraan umum dan ikut serta mewujudkan perdamaian dunia. Kondisi ini juga rupanya didukung pula oleh situasi penjajahan dahulu. Di negara-negara bekas jajahan Inggris, pada umumnya masyarakat di sana dengan mudah kita saksikan tradisi mereka membaca buku-buku sebagai pengisi waktu dalam berbagai kesempatan terutama saat menunggu atau saat bepergian dengan berbagai sarana transfortasi.

Belajar atau membaca buku sebenarnya diamanatkan dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu yang lain, sebab tanpa belajar atau membaca bagaimana mungkin kita meningkatkan kecerdasan individu, masyarakat dan bangsa kita. Dengan tekun belajar dewi Sarasvatī akan memberikan inspirasi atau kiat-kiat yang dapat meningkatkan kesejahtraan dan kebahagiaan hidup manusia. Perhatikanlah kutipan-kutipan berikut:
Pāvamānīr yo adhyeti ṛṣibhiḥ saṁbhṛtaṁ rasam, tasmai Sarasvatī duhe kṣiraṁ sarpir madhūdakam - Siapa saja yang senang mempelajari kitab suci Veda, yang terdiri dari inti sari yang dipelajari oleh para rsi. Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud-Nya dewi Sarasvatī akan senantiasa menganugrahkan kesejahtraan (susu,mentega cair, madu dan air Soma (panjang umur dan rejeki) yang berlimpah. Ṛgveda IX.67.32.
Satyaṁ vada dharmaṁ cara svādhyāya mā pramadah - Hendaknya setiap orang berbicara benar/jujur,berbuatlah kebajikan (berdasarkan Dharma),tekunlah belajar/membaca buku dan rajin sembahyang, janganlah lalai. Taittiriya Upanisad I,11,1.

Tad viddhi praṇipātena paripraśnena sevayā, upadekṣyanti te jñānaṁ jñāninas tattvadarśinaḥ. - Belajarlah dengan tekun, sujud dan berdisplin, dengan bertanya-tanya dan bekerja dan berbhakti. Guru yang budiman,yang telah sempurna (yang melihat kebenaran) akan mengajarkan kepadamu kebijaksanaan, ilmu dan budi pekerti yang luhur. Bhagavadgītā IV.34.

Śāstra yonitvāt - Untuk memahami keagungan Tuhan Yang Maha Esa dan segala ciptaan-Nya, tidak ada yang lain sebagai sebagai sumber yang valid yaitu hanya kitab suci Veda dan susastranya. Brahma Sūtra Bhāṣya I.1.3.

Sesungguhnya masih banyak ajaran dalam agama Hindu yang dapat kita jumpai seperti dalam kitab-kitab Upaniṣad, Rāmāyana, Mahābhārata, Nītiśāstra baik yang berbahasa Sanskerta, Jawa Kuno ataupun Bali. Di Bali sebuah pupuh Ginadha yang sangat memasyarakat menekankan sekali supaya setiap orang tiada henti-hentinya belajar:
Eda ngaden awak bisa,depang anake ngadanin, gaginane buka nyampat anak sai tumbuh luhu, hilang luhu, ebuke katah, yadin ririh liu enu, ne pelajahin.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, sebenarnya dengan persembahyangan memuja kebesaran Sang Hyang Vidhi melalui memuja keagungan dewi Sarasvatī kita dituntut untuk belajar terus, satu sarana yang efektif adalah dengan membaca buku-buku yang bermanfaat. Bila yang melakukan Brata Sarasvatī, memang disebutkan adanya pantangan untuk tidak membaca dan menulis selama pemujaan kepada dewi Sarasvatī, namun maknanya dengan kontemplasi pada hari Sarasvatīpūjā kita berhasil lebih terdorong untuk terus dan giat belajar, oleh karena itu membaca adalah salah satu untuk dapat menguasai terangnya pelita ilmu.
Oṁ Kṣama svamām
Oṁ Śāntiḥ Śāntiḥ Śāntiḥ
Oleh: Goes De Tantrayana Gautama

MAKNA SARASWATI DAN APLIKASINYA DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT

Salam Kasih

Pendahuluan
Setiap manusia pada kelahirannya ke dunia selalu ditakdirkan dalam keadaan bodoh/tidak tahu (Avidya). Namun dengan kebesaran Sang Hyang Widhi, Beliau menganugerahkan ilmu pengetahuan kepada umat manusia untuk merubah, melenyapkan ke-Avidya-an/ kebodohan manusia karena kelahirannya itu menjadi Vidya (Tahu).

Dengan ilmu pengetahuan itu manusia menjadi cerdas. Dan kecerdasan itulah yang membuat manusia menjadi bisa mengetahui dan membedakan mana/apa yang baik dan mana/apa yang buruk atau yang di dalam ajaran Hindu dikenal dengan istilah Wiweka.
Dengan kemampuan Wiweka yang dimilikinya itu, hendaknya manusia dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuannya dalam tingkah laku dan perbuatan/sikap yang bersusila tinggi untuk menghindarkannya dari penderitaan dan kesengsaraan dalam kehidupannya.


Namun kenyataan yang terjadi tidaklah sepenuhnya demikian. Berbagai kasus dapat kita jumpai dalam kehidupan kita sehari-hari bahwa tidak semua orang mampu mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang dimilikinya sesuai fungsi dan porsinya.
Penggunaan pestisida yang berlebihan, penyalahgunaan narkoba, seks bebas, kriminalitas, sampai korupsi merupakan segelintir contoh nyata bagaimana ilmu pengetahuan itu tidak digunakan dan diaplikasikan dalam tindakan nyata yang tepat, sesuai fungsinya Padahal sesungguhnya ilmu pengetahuan itu murni, suci dan tidak tercela.

Penyelewengan dan penyalahgunaan seperti itulah yang dapat menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan dalam kehidupan manusia. Untuk menghindari hal seperti itu, diperlukan pemahaman mendalam terhadap makna dari adanya pengetahuan itu sendiri. Dimana pengetahuan dalam agama Hindu disimbolkan sebagai Saraswati. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini saya mencoba mengangkat tema “Makna Saraswati dan Aplikasinya dalam kehidupan bermasyarakat”

Makna Saraswati dan Aplikasinya dalam kehidupan Bermasyarakat
Dalam Hindu, manifestasi Sang Hyang Widhi dalam fungsinya sebagai sumber ilmu pengetahuan digambarkan sebagai seorang dewi yang berparas cantik yaitu Saraswati. Kata Saraswati secara etimologi berasal dari dua urat kata yaitu “Saras” atau “sr” dalam bahasa Sanskerta yang berarti segala sesuatu yang mengalir dan “wati”yang berarti memiliki.

Sehingga Saraswati secara etimologi berarti segala sesuatu yang mengalir. Ini mengandung pengertian bahwa ilmu pengetahuan mengalir terus menerus tanpa hentinya untuk dapat dipergunakan oleh umat manusia dalam menunjang kelangsungan hidupnya.

Personifikasi Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Saraswati yang menguasai ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan mengandung makna turunnya ilmu pengetahuan kedunia. Ilmu pengetahuan dianugerahkan oleh Sang Hyang Widhi kepada seluruh umat manusia di dunia untuk melenyapkan ke-Avidya-an. Dengan lenyapnya kebodohan atau ke-Avidya-an, manusia menjadi cerdas dan bijaksana. Dengan kecerdasan dan kebijaksanaannya itu, keangkuhan seseorang ditekan atau dikendalikan sehingga menjadi lembut dan pemurah. Jika masing-masing individu dapat menekan egonya, maka akan terciptalah keharmonisan dan keserasian hubungan dalam kehidupan bersama yang pada hakekatnya mengantarkan manusia pada kedamaian dan kebahagiaan.

Lalu apa relevansi Saraswati dalam kehidupan bermasyarakat agar tidak terjadi penyimpangan dari pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang?
Seperti diamanatkan dalam kitab suci Weda bahwa setiap orang hendaknya mencari pengetahuan setinggi mungkin untuk kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia. Ilmu pengetahuan itu ibarat pisau bermata dua, dapat berfungsi positif atau negatif tergantung orang yang memanfaatkan. Jika digunakan sesuai dengan fungsi dan kegunaan juga porsinya, ilmu pengetahuan akan mengantarkan kita pada kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Namun jika disalahgunakan, ilmu pengetahuan akan mengantarkan kita pada kesengsaraan dan penderitaan baik di dunia maupun di akhirat. Ilmu pengetahuan yang menjerumuskan nilai-nilai kemanusiaan bukanlah ilmu pengetahuan yang sejati sebab ilmu pengetahuan yang sejati adalah karuniaNya, yang menyadarkan missi penjelmaan manusia didunia ini yaitu untuk mengemban kebenaran, kebaikan, kasih dan kemanusiaan yang secara sederhana disebut Dharma. Ilmu pengetahuan sejati bukanlah sesuatu yang dapat menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan. Sesungguhnya penderitaan dan kesengsaraan itu timbul dari penyalahgunaan ilmu pengetahuan oleh orang yang menggunakannya. Sejatinya ilmu pengetahuan itu adalah murni dan tak ternodai.

Selama umat manusia menyadari bahwa ilmu pengetahuan adalah untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan umat manusia, selama itu pula umat manusia mempergunakan ilmu pengetahuan itu secara benar dan sesuai dengan fungsinya. Dan selama itu pula umat manusia tidak akan tiada hentinya memuja Saraswati sebagai sumber ilmu pengetahuan dengan penuh kesadaran. Sehingga niscaya berbagai kasus yang timbul sebagai bukti adanya penyalahgunaan dan penyelewengan ilmu pengetahuan dapat diminimalisir atau ditekan.

Demikianlah uraian singkat saya tentang makna Saraswati dan aplikasinya dalam kehidupan bermasyarakat. Semoga uraian singkat ini dapat membuka jendela pengetahuan kita dan bermanfaat dalam kehidupan kita.

Kesimpulan :
1. Setiap manusia yang lahir ke dunia selalu berada dalam keadaan Avidya (bodoh). Avidya itu lenyap dan berubah menjadi Vidya (tahu) dengan adanya pengetahuan.

2. Saraswati adalah manifestasi Hyang Widhi dalam fungsinya sebagai sumeber ilmu pengetahuan. Memaknai Saraswati dengan benar dan mengaplikasikannya dalam kehidupan dengan benar pula akan menghindarkan kita dari kesengsaraan dan penderitaan.

3. Pemahaman akan pengetahuan yang sejati sangat diperlukan untuk menghindari penyalahgunaan dan penyelewengan dalam mengaplikasikan pengetahuan itu. Sehingga dapat memberikan penerangan dalam kelangsungan hidup umat manusia.

4. Hendaknya dengan perayaan Saraswati dapat meningkatkan kesadaran rohani untuk dapat mengaplikasikan pengetahuan yang kita miliki sehingga dapat dirasakan manfaatnya.

Salam Rahayu
Bali, 17 Nopember 2011
Oleh: Goes De Tantrayana Gautama

PAGERWESI, Sebuah Kajian Filosofis

Salam Kasih

Ya Tuhan Yang Maha Esa, Engkau adalah Brahma, Visnu dan Śiva,dalam wujud-Mu sebagai guru yang Maha Agung, kami mempersembahkan pūjā dan bhakti kami. Gurupūjā, 2.

Pada hari Budha Kliwon Pagerwesi, hari untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam wujudnya sebagai Parameṣṭi Guru, Guru yang Maha Tinggi atau Maha Agung. Hari yang dirangkaikan pemujaannya dengan Sarasvatī, Śrī Lakṣmī, yang dirayakan berturut-turut selama lima hari, mulai hari sabtu Umanis Watugung.


Bila kita memperhatikan hari-hari raya keagamaan Hindu di India dan di Indonesia sesungguhnya tidak terdapat perbedaan makna dari hari-hari raya keagamaan dimaksud. Umat Hindu di India merayakan upacara Śrāddha Vijaya Dasami atau Durgapūjā, di Indonesia kita merayakan hari raya Galungan dan Kuningan. Demikian pula Sarasvatī, Śivaratri dan lain-lain. Beberapa hari raya namanya sama, tetapi ada juga yang maknanya sama namun namanya berbeda, juga terdapat perbedaan dalam merayakan hari-hari raya keagamaan itu. Di India hari-hari raya keagamaan itu hanya berdasarkan Tahun Surya dan Bulan (Solar dan Lunar System), di Indonesia mempergunakan kedua sistim itu dan juga sistem Pawukon. Sistim Pawukon ini rupanya sistem kalender asli Nusantara dan ketika agama Hindu masuk ke Nusantara, di kepulauan ini penggunaan sistim Pawukon rupanya telah sangat memasyarakat, oleh karena itu, sistim yang merupakan warisan leluhur bangsa ini tetap dilestarikan dengan cara menempatkan hari-hari raya keagamaan Hindu yang datang dari India dalam sistim Pawukon itu. Beberapa hari raya keagamaan Hindu yang dimasukan dalam sistem Pawukon antara lain: Pagerwesi (di India disebut Guru Purnima)ditempatkan pada hari Budha Kliwon Sinta ( hari ketiga dari wuku pertama ), Durgapūjā, Śrāddha Vijaya Dasami atau Navaratri di Bali disebut Galungan-Kuningan pada hari Budha Kliwon Dungulan hingga Saniscara Umanis Kuningan (dirayakan selama 10 hari), hari-hari seperti Ayudhapūjā (pada Saniscara Kliwon atau Tumpek wuku Landep), Sankarapūjā (Tumpek Wariga) dan Sarasvatī pada hari terakhir, Wuku terakhir, yakni Sabtu (Saniscara) Umanis, wuku Watugunung.

Baik di India maupun di Indonesia dalam memperingati hari-hari raya keagamaan umat Hindu melakukan hal yang sama, yakni mempersembahkan sesajen dan melakukan sembahyang baik pada tempat persembahyangan keluarga (biasa berupa altar dengan beberapa arca pada kamar suci), pada mandir, yakni pura terdekat, atau pura-pura yang besar yang sangat terkenal. Bila mereka melakukan persembahyangan pada pura-pura yang letaknya jauh dari rumah, biasanya umat Hindu sekaligus melakukan Tirthayatra yang pada umumnya bermalam di pura dengan melakukan berbagai aktivitas keagamaan seperti Japa, meditasi dan Bhajan atau menyanyikan lagu-lagu keagamaan (kidung).

Di Indonesia, Pagerwesi yang mempunyai makna sama dengan Guru Purnima dirangkaikan perayaannya dengan Sarasvatī dan Banyu Pinaruh (pemujaan kepada Sarasvatī), jatuh pada hari terakhir wuku terakhir, yakni Saniscara Umanis wuku Watugunung dan hari pertama dari wuku pertama, yakni Redite Pahing wuku Sinta, dengan Some Ribek dan Sabuhmas, yang jatuh pada hari Soma Pon dan Anggara Wage wuku Sinta.Hari Sarasvatī dan Banyu Pinaruh (Air Ilmu Pengetahuan) adalah hari untuk memuja dewi Sarasvatī sebagai dewi ilmu pengetahuan, maka pada hari Somaribek dan Sabuhmas adalah hari untuk memuja dewi Śrī Lakṣmī dan Pagerwesi adalah untuk memuja Tuhan Yang Mahaesa dalam wujud-Nya sebagai Śiva Parameṣṭi Guru, yakni guru tertinggi di jagat raya ini. Makna pemujaan kepada Śiva Parameṣṭi Guru ini adalah sama dengan makna hari raya Guru Purnima yang jatuh pada bulan Purnama Sravana (di Indonesia disebut Purnama Kasa) yang jatuh pada bulan Juli-Agustus. Pada hari Guru Purnima di samping memuja Tuhan Yang Mahaesa, juga memuja para ṛṣi dan ṛṣi yang paling agung mendapat penghormatan adalah mahaṛṣi Vyasa yang menghimpun dan mengkodifikasikan kitab suci Veda bersama para siswanya, seperti : Sumantu, Pulaha, Jaimini dan Vaisampayana.
Bila di Indonesia bentuk perayaan berupa persembahyangan terhadap Sang Hyang Parameṣṭi Guru atau guru tertinggi, yang dimaksud tidak lain adalah Sang Hyang Śiva atau Sang Hyang Guru (Mahaguru). Dalam seni arca digambarkan sebagai laki-laki berjanggut dan berkumis lebat (berewok), perutnya gendut, memegang kendi Amrta serta membawa tongkat dengan ujung bercabang tiga (Trisula). Mahaṛṣi Agastya, seorang tokoh penyebar Hindu dari India Utara ke Selatan, bahkan juga sampai Asia Tenggara dan Indonesia, digambarkan juga sebagai Sang Hyang Guru (Mahaguru) oleh karena itu Agastya diidentikan dengan Isadevatanya ini.
Di samping dalam seni arca, mahaṛṣi Agastya disebut-sebut juga sebagai saksi agung perbuatan umat manusia dan dinyatakan dalam sumpah di Pengadilan yang terkenal dengan sumpah Sang Hyang Hari Chandani. Di Bali dan juga di daerah Sulawesi Selatan disebut Bhattara Guru, yakni guru agung umat manusia.
Untuk memahami lebih lanjut tentang makna pemujaan pada hari Guru Purnima di India dan membandingkannya dengan pemujaan hari Pagerwesi di Indonesia, kiranya perlu diinformasikan tentang tata cara pemujaan hari Guru Purnima yang berlangsung di Śivananda Ashram, Rishikesh, Uttar Pradesh, sebagai berikut :
1. Semua siswa dan Sanyasin di ashram telah bangun pagi-pagi benar(saat Brahmuhurta,sekitar jam 04.00).Mereka bermeditasi kepada Guru (Parameṣṭi Guru) dan mengucapkan mantra-mantra Gurupūjā.

2. Selanjutnya mempersembahkan sesaji di kaki Guru dan diiringi mantra Gurugita.
3. Selanjutnya pada siang harinya, para Sadhu dan Sanyasin menerima persembahan sajianberupa hidangan (prasadam di Bali disebut lungsuran).

4. Kemudiandiselenggarakan Satsang atau Dharmatula membahas makna spiritual Gurupūjā khususnya dan topik-topik menarik lainnya.

5. Para siswa yang telah siap untuk diinisiasi (di-Diksa) menjadi Sanyasin dilakasanakanpada hari ini juga.

6. Para siswa umumnya melaksanakan Brata dan Upavasa sepanjang hari untuk kemajuan spiritual.Bagi yang mampu sangat baik melakukan Monabrata(tidak berbicara) dan tidak menikmati makanan danminuman,namun bagi siswa tertentu hanya minum susu segar saja atau hanya buah-buahan sepanjang hari.

Pada malam hari kembali berkumpul di Aula dan melakukan Bhajan (kidung)bersama memuja keagungan-Nya.Bentuk pemujaan yang paling baik adalah dengan mengikuti semua ajarannya, mampu memancarkan dan mewujudkan ajarannya dan senantiasa memajukan dan menjunjung pesan-pesan-Nya.

Demikian antara lain bentuk pemujaan kepada Guru di India, di Indonesia kita mengenal ajaran Tri Guru dan Catur Guru. Yang dimaksud dengan Tri Guru adalah :
1. Guru Rupaka atau Rekha,yakni orang tua,ibu-bapa yang melahirkandanmemelihara kita.
2. Guru Vidya atau Pangajian,yakni para guru yangmemberikan pendidikandan pengajaran.
3. Guru Visesa yakni pemerintah yang bertanggung jawa mensejahtrakan masyarakat.

Sedang yang dimasud dengan Catur Guru adalah Tri Guru tersebut digabungkan dengan Guru yang tertinggi, yakni Parameṣṭi Guru. Guru yang keempat ini disebut Guru Svadhyaya. Di dalam masyarakat Guru Svadhyaya juga diartikan belajar sendiri dan menjadikan Tuhan Yang Mahaesa Esa sebagai pembimbing untuk kemajuan kehidupan spiritual.

Bila di India terutama dalam tradisi Ashram, dilakukan upacara pemujaan kepada Guru sedemikian rupa dipimpin oleh Sanyasi, Swamiji, Sadhu atau Pandit, di Indonesia (Bali) rupanya karena tradisi ashram telah putus digantikan oleh sistem Pasiwan di geria- geria para pandita secara tradisional, maka hari raya Pagerwesi hanya dirayakan dengan persembahan sesajen terutama di pura keluarga seperti pamarajan, panti, paibon dan sejenisnya, sedang makna pemujaan ini tidaklah demikian memasyarakat.

Memperhatikan bentuk-bentuk pemujaan, baik di India maupun di Indonesia (Bali), kiranya makna yang terkandung dalam merayakan hari Pagerwesi adalah untuk mengingatkan kita terhadap keagungan Tuhan Yang Mahaesa serta peranan para mahaṛṣi atau guru-guru agung terutama di bidang spiritual. Pagerwesi juga mengingatkan kita bahwa bahwa proses belajar mengajar berlangsung terus menerus hingga ajal memanggil. Terlebih lagi bila dikaitkan dengan pemujaan sebelumnya, yaitu Sarasvatī dan Śrī Lakṣmī. Di sini aspek kemahakuasaan-Nya didambakan oleh umat manusia untuk pengetahuan, kesejahtraan dan kebahagiaan. Sarasvatī memberikan inspirasi dan membimbing manusia untuk belajar dan terus mengembangkan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan, Śrī Lakṣmī menganugrahkan kesejahtraan dan kemamuran dan Sang Hyang Parameṣṭi Guru menganugrahkan kebahagiaan yang sejati.

Makna Pagerwesi bila dikaitkan dengan perkembangan dunia modern, terlebih lagi dalam usaha meningkatkan sumber daya manusia (SDM) yang dalam era globalisasi kualitas perorangan dan masyarakat sangat diperlukan. Persaingan untuk hidup dan mencari kehidupan akan semakin sulit dan untuk itu peranan pendidikan teristimewa pendidikan mental, moral dan spiritual sangatlah mutlak. Perkembangan dunia menunjukan bahwa manusia yang tidak memiliki kualitas, kemampuan dan kreativitas untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi akan sangat sulit bersaing dan selalu ketinggalan dalam meningkatkan kesejahtraan masyarakatnya.

Pengembangan sumber daya manusia tidak hanya beṛṣifat jasmaniah tetapi juga rohaniah. Untuk itu dalam mengembangkan pendidikan modern dewasa ini, kita tidak dapat melepaskan diri dengan konsepsi pendidikan Ashram yang sangat memperhatikan kualitas pribadi setiap siswa dan kecendrungan manusia untuk bekerja dan bermain ataupun bernyanyi, oleh karena itu perlu dikembangkan sistem pendidikan yang memadukan kecendrungan itu. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah membiasakan diri (Abhyasa), dapat mensyukuri nikmat yang merupakan anugrah-Nya (Santosa) dan mampu melepaskan diri dari keterikatan yang beṛṣifat duniawi (Vairagya/Tyaga) serta hidup berkeseimbangan lahir dan batin (Sthitaprajna).

Demikian antara lain makna yang terkandung dari pemujaan yang dilangsungkan pada hari Pagerwesi, semoga melalui pemujaan kehadapan Sang Hyang Parameṣṭi Gurtu, kita senantiasa dibimbing di jalan yang benar.

Oṁ Asato mā sad gamaya Tāmaso mā jyotir gamaya mṛtyor mā amṛtam gamaya - Ya Tuhan Yang Mahaesa, bimbinglah kami dari yang tidak benar menuju yang benar,dari kegelapan pikiran menuju pikiran yang terang. Jauhkanlah kami dari kematian menuju kehidupan yang abadi.
Salam Rahayu